Sumber gambar : google.com
Waktu menengadah tepat di ujung ingatan. Mencoba merengkuh segurat senyum yang selalu ingin kugenggam. Tapi, terlambat. Aku terlambat. Senyuman itu telah pecah; semburat, temaram lalu meremang. Hilang...
Bibir ini bergetar, tantrum terjegal eluh. Aku termangu dalam angan yang entah bagaimana cara menggambarkannya. Sekarang, senyumnya telah kulupakan. Tak mampu berkata lagi karena tak tahu harus berkata apa.
Malam lalu, wajah tuanya begitu dingin. Seperti aku akan segera kehilangan dia, bukan hanya senyumnya. Sesak, sangat sesak meski berada di hamparan luas. Saat ini analogi bahkan tak mampu menggambarkannya. Air mataku yang jatuh, luruh tak mampu mengubah apa pun.
Mencoba merajut pecahan-pecahan senyum yang telah karang. Perlahan dan tak pernah pasti. Pada akhirnya aku memilih menyerah. Memilih untuk melepasnya, menyibak rindu-rindu yang tak berkesudahan. Dan ...
Kutulis paragraf ini bersama kesedihan.
Selamat Tinggal_Ibu