Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Minggu, 31 Desember 2017

Plan in 2018


Sumber gambar : google.com




-My Plan in 2018-

Beberapa jam lagi bertemu 2018, bergegas menata segala yang harus ditata untuk menyambutnya. Setiap awal tahun, tentu saja harus membuat target yang akan dicapai nantinya. Kadang kutulis secara sederhana di mading kamar ukuran kertas gambar A3 yang dengan telaten kuberi hiasan dengan goresan-goresan gambar dan warna-warni.

Kadang hanya kutulis di dalam buku diary secara singkat, tak begitu banyak tulisan, hanya butuh selembar untuk menuliskan poin-poinya saja. Kutulis untuk diri sendiri, lebih tepatnya secret. Dan kali ini di group menulis ODOP membuat tantangan dengan tema “impian di tahun 2018”, tentu saja mau tak mau harus menliskannya secara gamblang. Rasanya sedikit berbeda bagi diriku yang memang sedikit tertutup.

Sesuai dengan profesiku, tentu saja berharap menjadi lebih baik. Belajar dari kegagalan yang telah berlalu. Menjadi sosok yang lebih konsisten dan profesional. Tak lagi menyia-nyiakan waktu kosong. Tahun depan harus benar-benar tercapai targetnya.

“Tidak boleh mengeluh”, itulah sifat yang selama ini harus kupertahankan dan tetap menjadi komitmen di tahun 2018. Setidaknya cukuplah Allah yang tahu apa-apa yang menjadi lelahku. Jika sampai “mengeluh” menguasai diri, ah ... apa jadinya aku nanti. Sebelum hal itu terjadi, harus benar-benar self reminder.

Perihal menulis, yah ... karena jadi penulis bukan cita-citaku, jadi tidak ada target untuk itu. Selama ini menulis hanya karena suka. Karena memang tak banyak bicara, jadi lebih suka menulis. Bagiku menulis itu asik, bermain dengan diksi, menyembunyikan maksud dan tujuan di dalam sebuah tulisan. Bahkan tak jarang memfiksikan isi hatiku sendiri, kemudian membungkusnya di dalam sebuah tulisan agar tidak ada yang tahu bahwa itu tentangku. Tapi, di tahun 2018 nanti ingin sekali mengikuti lomba-lomba menulis fiksi. Semoga tetap istiqamah dalam menulis.

Masih begitu banyak planning di tahun 2018, yang jika kutulis secara deskriptif mungkin akan jadi berlembar-lembar folio. Tapi, cukuplah itu yang bisa kutulis secara gamblang. Untuk yang lainnya biar jadi rahasia antara aku dan NYA.

#Tantangan7
#TantanganNo2
Read More

Good Bay 2017


-Good Bay 2017-

“Sudah tercapaikah impian yang kamu ukir di dalam hati dan buku harian, di awal tahun 2017 lalu?”
“Belum, lebih tepatnya tidak semua terealisasi,” jawabku, singkat.

Tahun lalu aku menuliskan garis besar atau poin-poin yang harus dicapai di tahun 2017. Tentu saja hanya sekadar rencana, meski hanya rencana tapi sekuat tenaga berusaha untuk  mewujudkan.  Jalan untuk menuju impian itu tidak selalu mulus, ada banyak yang belum terealisasi dan bahkan pupus sudah. Namun, hal itu tak pernah membuatku patah semangat, karena Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik menurut-Nya.

Impian bekerja sesuai prodi kuliah telah terealisasi, tepat di awal tahun. Hari itu juga proses belajar dan berusaha menuju lebih baik. Belajar, belajar dan belajar, terus belajar mempersiapkan diri untuk ikut pengabdian di luar pulau. Ada alasan tersendiri mengapa aku begitu yakin ingin terjun langsung mengikuti SM3T (mengajar di luar pulau selama kurang lebih dua tahun). Tapi ... hal itu tidak bisa terealisasi. Sedih memang, mungkin itulah yang terbaik untukku.

Gagalnya impian di tahun 2017 memang membuat hati sedih, tapi Allah justru mempertmukanku dengan sesuatu yang berbeda, yaitu dunia menulis. Belajar menjadi lebih tahu, berlatih menulis setiap hari bersama teman-teman komunitas One Day One Post. Dari apa-apa yang tak kutahu, menjadi tahu. Dari tulisan suka-suka (asal), menjadi tulisan yang kian terarah. Dari situlah gambaran impian lain muncul di benak.

Salah satu yang tertulis dalam buku harianku adalah, “memperbaiki diri”. Lebih istiqamah lagi menjalankan perintah-perintahNya. Proses menuju baik akan terus menduduki tingkat pertama dalam daftar targetku setiap tahunnya. Meski perlahan namun pasti.

Menangis, tertawa, kecewa, bahagia, semua ada di tahun 2017. Yah ... sebentar lagi semua itu hanya akan terukir dalam kenangan. Yang baik akan terus dipertahankan, yang buruk akan ditinggalkan, dan yang telah gagal akan menjadi inspirasi untuk berdiri lagi, lagi dan lagi.


#Tantangan7
#no3

Read More

Jumat, 29 Desember 2017

Another (Part 2)

Sumber gambar : Google.com

Ran menceritakan semua kejadian di dalam hutan tentang bagaimana ia bertemu dengan Stranger, memohon kepada kakek dan nenek untuk mengizinkan anak laki-laki itu tinggal bersama mereka, setidaknya sampai ia bisa berbicara, membaca, menulis dan melakukan aktivitas normal seperti manusia pada umumnya. Dengan senang hati kakek Gin dan nenek Runi menerimanya.

***

Detik berganti menit, berganti jam, berganti hari, dan berganti minggu. Dengan sabar Ran mengajari anak asing itu berbicara, membaca, menulis, dan cara menjalani kehidupan sehari-hari, seperti mandi, makan, dan lain-lain. Anak laki-laki itu sangat cerdas hingga ia mudah sekali mengingat apa yang telah ia terima dari Ran.

“Nah, ini bacanya C-E-R-I-T-A, cerita. Kalau yang ini C-A-N-T-I-K, cantik.”

“Cantik?” Dengan wajah sangat polos, ia bertanya.

“Hemm ... cantik itu seperti Ran. Ran cantik,” ucap Ran, memberi contoh.

“Ran, cantik” ucap anak laki-laki itu mengulang perkataan Ran.

“Nah, nah itu benar sekali.” Ran terbahak, tak bisa menahan lucunya ekspresi Strenger. “Nah jadi apa sekarang kamu sudah ingat nama kamu?”

“Na ... ma? Nama ...” Dia melirik ke tumpukan buku cerita yang Ran sediakan. “Yoga”

“Yoga? Jadi, nama kamu Yoga? Kalau gini kan, Ran nggak perlu lagi panggil kamu dengan sebutan Strange.” Ran sangat senang, karena sahabatnya ini telah mengingat namanya.

Sampai saat ini Yoga tak bisa tersenyum. Mata ungunya begitu dingin, seperti menanggung beban yang teramat berat. Terkadang mata ungunya berubah menjadi merah, dan akan kembali tenang ketika melihat Ran. Bagi Yoga, Ran seperti penenang. Nenek dan kakek kadang sedikit takut dengan mata merah Yoga, saat itu atmosfer terasa begitu berat dan sesak. Meski begitu, mereka tak tega membiarkan Yoga sendiri dalam kegelapan dunia yang semakin menjalar.

Hari ini kedua kalinya Yoga ikut Ran ke sekolah. Karena Yoga sangat cerdas, ia mudah sekali menerima pelajaran, yang tak bisa ia lakukan hanyalah berteman. Ia tak pernah mau bicara selain kepada Ran. Tak pernah menganggap yang lain ada. Kali ini bukan hanya tatapannya saja, tapi sikapnya juga sangat dingin. Ia seperti makhluk es yang bernyawa, dingin tanpa ekspresi.

Saat jam olahraga, Ran tak ada di mana-mana, Yoga bingung kemudian mencarinya di kelas, di lapangan, di perpustakaan, dan di kantin. Tapi, Ran tetap tak ada. Ia terdiam sejenak, memejamkan mata, berkonsentrasi pada indra pendengarannya, memusatkan hanya pada satu suara, yaitu suara Ran. Begitu terdengar, ia tersentak dan berlari menuju bangunan yang di khususkan untuk para ekskul renang. Ran dijaili oleh kakak kelas lima, ia didorong ke dalam kolam renang, karena tak bisa berenang semuanya menenrtawakan Ran. Mereka hanyalah barisan anak perempuan yang iri terhadap Ran.

Yoga yang saat itu tiba di gedung ekskul renang langsung melompat ke dalam kolam dan menyelamatkan Ran. Semua kakak kelas yang menjaili Ran, hanya terdiam ketika melihat Yoga. Beruntung karena saat itu Ran masih sadar, meski napasnya terengah-engah diikuti dengan tubuh lemas seperti mau pingsan.

“Apa yang sudah kalian lakukan padanya?” Tatapan Yoga menatap tajam pada mereka yang menjaili Ran. Matanya berubah menjadi merah, seperti binatang buas yang hendak memnerkam mangsanya.

“A ... apa urusannya denganmu?” sergah salah seorang kakak kelas, suaranya terbata, karena merasa takut pada Yoga.

Gerakannya Yoga sangat cepat, hanya beberapa detik ia telah menggapai leher salah seorang kakak kelas yang baru saja menjawab perkataan Yoga. Empat anak perempuan lainnya tak bisa berlari, seolah ada yang menahan langkahnya. Saat ini, tatapan Yoga benar-benar menakutkan.

“Mo ... monster” ucap Erlin, kakak kelas Ran yang berbadan sedikit gendut. Mendengar ucapannya, Yoga semakin garang. Tangan kirinya menggapai leher Erlin. Sebuah kekuatan tak terduga keluar dari tubuh Yoga, angin hitam yang seketika menyedot jiwa-jiwa manusia.

“Yoga, hentikan!” Ran berdiri dan menampar Yoga.

Wajah Yoga yang tanpa ekspresi itu tertegun, kemudian melepaskan tangannya dari leher Erlin dan kakak kelas lainnya. Angin hitam yang hendak menyedot jiwa itu menghilang tiba-tiba. Mata merahnya juga telah berubah kembali menjadi ungu.

“Kalian tidak apa-apa?” Erlin menepis tangan Ran yang hendak membantunya. Mereka langsung berlari menjauh.

Ran membalikkan badan, hendak meminta maaf pada Yoga. Ran sadar tak seharusnya ia menampar sahabatnya itu.

“Yoga? Yoga kamu di mana? Ran berlari mencari-cari Yoga. Tapi, ia tak menemukannya di mana pun.” Ran kembali pulang, air matanya terus mengalir tanpa jeda di sepanjang perjanalan. Ada perasaan menyesal yang begitu besar. Ia berlari di tengah kerumunan hujan yang jatuh.  

Dari kejauhan, Ran tampak begitu terkejut, tatapannya hambar, kosong dan kalut. Rumah-rumah hancur, tanah berbau seperti darah, sungai tak lagi bening, sawah telah hancur, pepohonan telah tumbang. Seperti habis terjadi sebuah bencana besar. Tapi mana mungkin, sebab jarak rumah dan sekolah Ran tak begitu jauh. Mengapa yang mengalami kerusakan hanyalah Desa Lerna, tempat di mana Ran tinggal.

Ran berlari menuju rumah, semua penduduk desa telah tergeletak tak bernyawa. Takut, semakin takut ia rasakan. Dan benar, bahwa semua orang telah mati, begitu pula dengan nenek dan kakek Ran. Tak bisa dibendung lagi, air matanya jatuh semakin deras, ia menangis sejadi-jadinya. Menangis karena kehilangan, menangis karena ketakutan, semua beradu menjadi satu. Tatapannya kosong, menyerana, nanar, jauh dari kata sadar. Kematian yang benar-benar tak wajar.

Ran melihat ada sebuah lipatan kertas di tangan kakek, lalu mengambil dan membacanya. Saat itu Ran tersadar, ia harus bangkit. Secepatnya ia berkemas, mengambil uang yang ada di lemari dan pergi meninggalkan Desa Lerna.

-Bersambung-

#TantanganFiksi6
Read More

Kamis, 28 Desember 2017

Another (Part 1)



Sumber gambar : https://i.pinimg.com/

-Di dunia bawah-

Hanya ada malam, namun begitu kelam lebih dari biasanya. Dunia yang diselimuti kegelapan hingga tak bisa tergambarkan. Gemuruh seperti suara petir menyambar bercampur menjadi satu dengan suara auman, adalah sebuah pertanda. Di sini, di dunia bawah yang tak akan mungkin dapat dijangkau oleh manusia, malam ini semua legion1 sedang berkumpul mengitari sebuah batu besar. Mereka tunduk, bersujud menanti kebangkitan keturunan Raja Satan, Lucifer2. Seorang raja yang sangat ditunggu-tunggu oleh para legion, sebab raja sebelumnya telah tersegel 500 tahun yang lalu. Konon, ketika segel itu rusak maka sang keturunan akan terlahir.

-Dunia manusia-

Silam, pekat, kelam, merengkuh sang malam. Rintik hujan yang kian deras menambah kegalauan. Petir menyambar ke segala arah, merisaukan penduduk bumi. Angin gunung mulai menggila, arahnya tak bersahabat, sangat mengerikan. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari lilin. Para bintang tertelan awan gelap, sedangkan rembulan dilahap habis oleh gerhana, tak bersisa.
Seorang wanita tua tengah mematung di dalam rumah, menanti suaminya yang tak kunjung kembali. Sesekali ia mengintip dari jendela, tatapannya menyebar ke dalam gelapnya malam yang diselubungi hujan. Semua penduduk bumi merasakan hawa yang merisaukan. Ini bukanlah kali pertamanya mereka disambut oleh bencana, namun ada rasa gelisah yang terus memburu dan melesap ke dalam pori, mengalir dalam darah, hingga ke hati dan pikiran mereka.

Sumber gambar : https://assets-a2.kompasiana.com
 
Sebagian dari manusia tahu, bahwa ini adalah peringatan dan pertanda telah lahir sang keturunan. Mereka adalah manusia pilihan yang ditakdirkan melawan para legion bersama tuannya.


-Tujuh tahun kemudian ... -
“Ran, bekalnya sudah nenek siapkan di dalam tas. Jangan berpisah jauh-jauh dari guru, ya! Karena nanti Ran akan belajar di alam liar,” nasihat nenek, sembari menata bekal ke dalam tas.

“Nek, Ran itu hanya belajar di pinggiran gunung, jadi tidak akan tersesat” tukasnya, meyakinkan. Ran mengambil tas ranselnya yang telah siap, kemudian berpamitan kepada nenek dan kakeknya.

Kakek Gin yang sedari tadi sibuk membelah kayu, tiba-tiba berhenti, berdiri menatap wajah istrinya, “Kenapa wajahmu selalu gelisah ketika cucu kecil kita pergi keluar rumah, Runi?”

“Bagaimana aku tak sedih, Gin. Lihatlah cucu kecil kita! Sejak kautemukan dia di dalam hutan tujuh tahun yang lalu, aku sudah tahu dia bukanlah dari jenis kita, manusia. Semakin hari dia semakin cantik, kulitnya sangat putih dan halus meski ia selalu membantuku berkebun. Tubuhnya selalu harum. Rambut hitam pekat, halus, bahkan tak sehelai pun pernah rontok. Dan yang paling mengherankan adalah tanda bulan sabit yang ada di dahinya. Untung saja saat ini rambutnya telah panjang dan ada poni yang menutupinya. Aku tahu dia bukan makhluk yang jahat, tapi aku khawatir jika dia nanti diculik, Gin.” Binar mata wanita tua ini penuh dengan ketakutan.

“Baiklah kalau itu yang kamu takutkan, minggu depan kita bawa Ran ke Timur menemui teman lamaku. Namanya Naff, dia adalah manusia pilihan pembasmi legion dan sejenisnya.

***
Di tepi danau pinggir pegunungan, Ran dan teman-temannya sedang belajar mengenali alam liar. Cara memancing, cara mengenali tumbuhan liar beracun, dan masih banyak hal lagi yang mereka pelajari di sana.

Kecantikan Ran membuat ia sangat dikagumi oleh anak laki-laki, sedangkan hampir seluruh anak perempuan di kelas membencinya. Mau tak mau ia tetap harus satu kelompok dengan pilihan gurunya, dua laki-laki dan tiga perempuan termasuk Ran. Dua temannya yang perempuan sangat membenci Ran, mereka terus-menerus menyuruh Ran.

Ketika semua kelompok tengah mencari macam-macam tanaman untuk membedakan mana tanaman yang beracun dan tidak, Ran dijaili oleh Lucy dan Emily, teman satu kelompoknya. Mereka berdua meminta Ran untuk masuk ke dalam gunung agar mendapatkan tanaman yang lebih beragam. Karena Ran sangat baik, ia bersedia melakukan perintah Lucy dan Emily.

“Bu Iren ... Ran hilang. Bagaimana ini, Bu? Tadi Ran bilang ingin mencari tanamannya sendiri. Lalu saat kami memanggilnya, dia sudah tak ada.” Emily berbohong kepada gurunya, agar ia tak disalahkan. Berpura-pura takut dan khawatir.

“Semuanya tenang! Kita kembali ke sekolah, ya! Bu Iren akan meminta bantuan guru lain untuk mencari Ran,” tukas Bu Iren, mencoba menenangkan anak-anak yang mulai riuh ketakutan.

Di dalam gunung yang penuh dengan pepohonan besar, tanaman dan binatang liar, Ran seorang diri menerobos masuk, sama sekali tak ada rasa takut dalam hatinya. Dengan santainya ia berjalan, tatapannya fokus mencari tanaman-tanaman asing, memetiknya lalu memasukkan tanaman itu ke dalam keranjang yang dijinjingnya.

Ada suara aneh yang membuat Ran penasaran, kemudian mengikuti suara itu, membelah semak-semak yang menghalangi, dan langkahnya berhenti seketika. Tanpa bisa berkedip, ia terpaku dengan apa yang disaksikannya. Ran melihat seorang anak laki-laki tanpa sehelai benang menutupi badannya yang sedang memakan kelinci hidup-hidup. Rambutnya berwarna pirang, tubuh putih pucat seperti orang mati, tapi mata ungu dan bibir kemerahannya begitu hidup, sangat tampan. Tanpa merasakan takut, Ran mendekat, “Apa ... yang sedang kamu lakukan?” Ran terbelalak, hampir tak berkedip selama sepuluh detik.

Anak laki-laki itu berdiri, menatap tajam ke arah Ran. Matanya seperti dipenuhi oleh amarah dan kebencian. Ia mendekat satu langkah ke arah Ran, hendak mencakar dengan kuku panjangnya.

“Siapa namamu? Berapa usiamu? Hemm ... sepertinya kita seusia, ya? Lalu apa yang kamu lakukan di sini? Dan ... wahh kenapa kamu tak mengenakan pakaian?” Dengan keheranan yang teramat besar dan senyuman lebar penuh semangat, Ran menanyakan beberapa pertanyaan sekaligus. Pertanyaan Ran yang seperti menodong itu, menghentikan tangan anak laki-laki asing yang hendak mencakarnya.

Tatapan anak laki-laki yang tadinya berwarna ungu, kini berubah menjadi merah. Ia merasa sangat marah tanpa sebab. Seperti binatang buas yang dibangunkan dari tidurnya. Ran tersentak, ia merasa ada yang aneh dalam diri anak itu. Tanda bulan sabit di keningnya nampak bercahaya, seperti menarik tubuh Ran untuk memeluk anak laki-laki itu.

Sesuatu yang luar biasa terjadi, mata anak itu kembali ungu dan ia menjadi lebih tenang, seolah Ran telah menyucikan hati anak itu dari sikap buas yang entah datangnya dari mana. Di mata Ran, anak itu sama sekali tak menakutkan, justru terlihat begitu malang. Sendirian di dalam hutan, tak tahu cara makan yang benar, dan kedinginan tanpa pakaian. Ran melepas jaket yang ia kenakan, kemudian memakaikannya di tubuh anak itu.

Strange ... hemm saat ini aku akan memanggilmu Strange, karena kamu sedikit aneh dan tak mau menjawab pertanyaanku. Padahal, tadi kamu bisa mengeluarkan suara seperti kucing yang sedang marah. Baiklah Strange, nanti setelah sampai rumah akan kuajari kamu berbicara, membaca, dan menulis. Lalu akan kuberi kamu nama yang bagus.” Anak laki-laki itu hanya terdiam menatap Ran yang sedari tadi mengomel.

Ran menggandeng tangan Strange, mengajaknya pulang. Tanpa disadari, ia berhasil kembali dengan selamat. Di pinggir danau, ia bertemu dengan kakek dan para guru yang sedang dalam perjalanan hendak mencari Ran. Kakek sangat senang, melihat Ran kembali dengan selamat. Berlari dan memeluk cucu tercintanya itu.

***


-Bersambung- 
 #FantasyRomance
#TantanganFiksi6
Read More

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...