Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Sabtu, 08 September 2018

LEGUM



google.com

Embus remang angin malam datang perlahan
Menggulung segala suara dari terka
Wanita berambut panjang, berbaju mini
menyuruk, menuju gelap dunia.

Senyum dari bibir merahnya menyambar; semburat
Semu merupa kesumba
Gemulai tubuhnya menari, menyeduh rintik resah
Menyuap mata para hidung belang

Raganya terus saja mengundang tumpah serapah
Tapi tak peduli, dia tetap menyua pada takdir
Air mata telah kering, tertahan dalam jurang terjal yang luruh

Tentangnya yang membunuh relungku, menusuk mata hingga basah; lengas
Wanita itu adalah ibuku
Tengah mengais tuk menyambung nyawa
Read More

Senin, 07 Mei 2018

Karang

Sumber gambar : google.com 

Waktu menengadah tepat di ujung ingatan. Mencoba merengkuh segurat senyum yang selalu ingin kugenggam. Tapi, terlambat. Aku terlambat. Senyuman itu telah pecah; semburat, temaram lalu meremang. Hilang...

Bibir ini bergetar, tantrum terjegal eluh. Aku termangu dalam angan yang entah bagaimana cara menggambarkannya. Sekarang, senyumnya telah kulupakan. Tak mampu berkata lagi karena tak tahu harus berkata apa. 

Malam lalu, wajah tuanya begitu dingin. Seperti aku akan segera kehilangan dia, bukan hanya senyumnya. Sesak, sangat sesak meski berada di hamparan luas. Saat ini analogi bahkan tak mampu menggambarkannya. Air mataku yang jatuh, luruh tak mampu mengubah apa pun. 

Mencoba merajut pecahan-pecahan senyum yang telah karang. Perlahan dan tak pernah pasti. Pada akhirnya aku memilih menyerah. Memilih untuk  melepasnya, menyibak rindu-rindu yang tak berkesudahan. Dan ...
Kutulis paragraf ini bersama kesedihan. 

Selamat Tinggal_Ibu
Read More

Minggu, 04 Februari 2018

Platonis

Sumber gabar : google.com



Hujan, riuhnya menjadi irama akustik nan merdu. Sepasang sahabat mencoba menepi, berlindung dari derasanya. Yah, sepasang sahabat itu adalah aku dan kamu.

“Alin, coba tebak! Apa yang lebih riuh dari suara tangis anak kecil?” tanyamu, main-main. Coba memecah suasana.

“Hujan,” jawabku, sembari menyeruput minuman hangat rasa kunyit yang baru saja kupesan.

“Hemmm tebak lagi! Apa yang lebih hangat dari perapian?” Kedua taganmu menyentuh gelas kopi yang juga baru saja kaupesan.

Sentuhanmu, Ren. Yang hangat adalah tanganmu. Karena itu, semua yang kamu sentuh pasti akan menjadi hangat.

“Gelas kopimu,” jawabku singkat, dengan ekspresi datar sambil memainkan gawai.

“Sekali lagi, ya! Apa yang lebih teduh dari pepohonan di desa?” Sekali lagi kamu menanyakan hal yang bagiku jawabannya sungguh rumit.

Tentu saja jawabannya adalah tatapanmu, Ren. Tidak ada yang lebih teduh dari tatapanmu. Bahkan teduhnya awan pun tak sebanding dengan tatapanmu. Bagiku.

“Mungkin itu, di belakangmu.” Kamu menoleh ke belakang, penasaran dengan apa yang kukatakan.

“Haloo ... Alin, aku bukan laki-laki mata keranjang.” Kamu mendengus kesal, kemudian melanjutkan kalimatmu, “Okay, ini yang terakhir! Apa yang lebih pekat dari warna rambutmu?”

Waktu terasa berhenti, tatapanku fokus mengarah padamu, “Malam ... seribu malam tanpamu.”

“Apa?” tanyamu, seolah tak paham dengan ucapanku.

“Sepertinya buku ini bagus, judulnya Seribu Malam Tanpamu.” Perasaanku tak karuan. Atmosfer terasa begitu berat. Tak tahu harus bagaimana bereaksi agar tetap terlihat tenang.

Ya Tuhan, beberapa detik rasanya rumah makan ini sempit sekali. Sesak, seperti tak ada udara untuk bernapas. Beruntungnya aku yang sedang memainkan gawai, jadi bisa kugunakan untuk membuat alasan.

“Alin, kamu ini ...” Ucapanmu terpotong begitu saja, saat mendengar nada romantis diiringi getar dari gawai yang sedari tadi kausimpan di dalam saku baju.

Kamu     : Hallo Risa, ada apa?

Risa         : ...

Kamu     : Hujannya sangat deras, aku masih di rumah makan.

Risa         : ...

Kamu     : Iya, memangnya kenapa?

Risa         : ...

Kamu     : Alin adalah sahabatku sejak kecil. Di antara kami tidak akan, dan tidak boleh ada perasaan seperti yang kamu katakan itu. Hubungan kami selamanya akan seperti ini. Persahabatanku dengan Alin tidak akan terpisahkan sampai kapan pun. Karena itu, tak akan kubiarkan perasaan seperti yang kamu tuduhkan tadi muncul di antara aku dan Alin.

Kamu menutup telpon, kemudian menghela napas panjang.
“Risa barusan menelepone, sepertinya dia sedikit cemburu dengan ... ”

“Apa yang dia khawatirkan?” ucapku, memotong kalimatmu.

“Dia bilang, persahabatan dengan lawan jenis itu pasti salah satunya ada yang menyimpan perasaan lebih.”

“Dan kaupercaya itu?” ucapku. Lagi-lagi memotong, sebelum kamu melanjutkan kalimat berikutnya.

Percayalah, apa yang dikatakan kekasihmu itu benar. Aku menyukaimu, dengan sangat. Tak ada yang boleh tahu. Bahkan aku juga berharap, Tuhan tak tahu. Tapi itu mustahil.
Persahabatan kita telah terjalin selama dua puluh satu tahun, bagaimana mungkin seseorang dengan hati rapuh sepertiku tak jatuh hati pada laki-laki ideal sepertimu. Tak apa, biarkan saja tetap seperti ini.
Katamu, dengan mengatasnamakan persahabatan, kita tidak akan terpisah. Nyatanya, kamulah yang pergi bersama dia. Dan kelak, akan meninggalkanku juga. Terserah kamu saja. Begini juga sudah cukup. Bagiku, kamu adalah seorang kekasih ... dalam imajinasi.

Yah, selamanya akan tetap seperti itu.


#14thDay
#30DWC
#Kunyit-sempit-rumit
#OneDayOnePost


Read More

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...