Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Sabtu, 30 September 2017

It's Me






Seperti mimpi, namun sebenarnya nyata. Kewajiban menulis setiap hari disela-sela rutinitasku dari pagi hingga pukul 19.30 WIB. Tak pernah terbesit di dalam pikiranku, bahwa aku akan mengikuti komunitas menulis ODOP. Padahal, biasanya hanya menulis sekadarnya dan sesempatnya. Menulis hanya karena suka. Tidak lebih.
Ini adalah minggu pertama tantangan dari ODOP, yaitu menulis tentang diriku. Setelah mengajar les private dan mengikuti kelas ODOP, aku duduk di depan leptop. Sesekali kuintip jam di laptop, menunjukkan tepat pukul 23.05 WIB. Ah bingung, apa yang mau kutulis tentang diriku? Tidak ada yang spesial. Tapi, mau tak mau harus kutulis sesuatu.
Lailatul Isbach, biasa dipanggil “Laila” dan ada pula yang memenggil “Iis”. Saat ini tinggal di Tambak Sumur Jalan Saikhoni Waru Sidoarjo. Hemm, apalagi yang harus kutulis tentangku? 30 menit berlalu dan tulisanku hanya sampai nama dan alamat saja.
Tertutup, tidak banyak bicara, tidak suka keramaian, dan suka berhayal, that’s me. Aku suka membaca dan menulis. Bagiku membaca begitu nikmat, imajinasiku butuh itu. Sedangkan menulis, seperti mengonsumsi sabu-sabu. Membuat candu.
Diary, itulah tempat curhat pertamaku. Sejak kelas 6 SD diriku sudah menjadikan ia teman untuk menjaga semua rahasiaku. Kata Aoyama Gosho, A secret makes a woman woman (sebuah rahasia membuat wanita menjadi seorang wanita). Siapa Aoyama Gosho? Dialah penulis komik Detective Conan. Selain membaca dan menulis, aku juga suka menonton film anime. Hehehe,,
 Beberapa menit kemudian, aku seolah kehabisan ide menulis yang temanya adalah tentang diriku. Kuintip langit dari jendela kamar, malam ini tak nampak sedikit pun cahaya bulan. Malam dan hampa, seolah menjadi satu. Ingin kuisi kehampaan itu, tapi siapa aku? Duh, ada-ada saja pikiranku ini.
Sudah begitu larut. Ingin kututup leptop dan segera tidur, tapi tak bisa. Insomnia, itu yang kurasa. Kau potong jam tidurku, padahal esok lagi bisa kulanjut tulisan ini. Kau semakin menjadi-jadi, kehadiranmu membuat imajiku mengudara melewati batas antar waktu. Ada rasa penasaran yang begitu besar akan masa lalu, ingin sekali kuintip ulang masa-masa itu. “Kuletakkan di mana ya, buku diary SMP-ku dulu?” tanyaku kepada diri sendiri.
Aku mencari-cari buku itu dan akhirnya kutemukan ditumpukan buku usang. “Dear Diary,” itulah salam pembukanya, menggemaskan. Ini adalah cerita, kali pertama diriku duduk di bangku SMP. Suka belajar dan membaca, itulah yang membuatku selalu masuk tiga besar saat SD. Tentulah ketika SMP, otak ini masih menyimpan begitu banyak memori tentang pelajaran. Ditambah lagi kebencianku pada keramaian, sehingga saat jamkos (jam kosong) selalu kugunakan untuk membaca daripada berkumpul bersama teman-teman. Alhasil, aku tidak mempunyai teman dekat.
Teman-temanku lebih suka berbagi contekan saat ulangan. Sedangkan aku, dengan songongnya merasa bisa dan tak mau membagi jawabanku kepada mereka meski hanya satu nomor jawaban. Seminggu setelah ulangan tengah semester pertama, mereka menjauhiku. Satu pun tak ada yang mau mengajakku berbicara.
“Apa yang terjadi? Apa salahku?” tanyaku pada salah satu teman, heran.
“Kamu itu sok pintar dan pelit ilmu. Kayak nggak butuh teman aja.” jawab temanku, sinis.
Aku terdiam seketika itu. Berpikir keras sambil melangkah menuju toilet. Menangis, itulah yang kulakukan di dalam toilet. Tentu saja butuh waktu yang cukup lama untuk sembuh dari tuduhan mereka atas sifatku ini.
Kuceritakan masalah ini pada ayah. “Adek kan sekolahnya di sekolah swasta, wajar kalau mereka nyontek. Ya ndak papa, satu atau dua jawaban saja adek kasih tahu. Atau ajari saja mereka sebelum ulangan berlansung. Itu sih terserah adek, kalau ndak mau ya ndak papa. Pikirkan dulu baik-baik. Kalau sudah oke, baru minta maaf dan ungkapkan isi hatinya adek ke teman-teman.”  begitulah kata ayah. Adek adalah nama panggilanku dari ayah, ibu dan kakak.
Berminggu-minggu kujalani tanpa bertegur sapa dengan teman-teman. Tak ada yang bertanya padaku, “Apa PR kamu sudah selesai?” Akhirnya kuputuskan untuk minta maaf kepada mereka, mencoba berkumpul bersama mereka sesekali, dan belajar bersama.
            Yahh, itulah secuil dari kisahku di masa SMP. Banyak yang menyebutnya, “Jaman Ababil”. Mengingatnya saja masih terasa sesak, namun itu adalah pelajaran yang berharga. Sejenak pikiranku menerawang, mencoba memaknai apa yang baru saja kubaca dan kubayangkan. Kututup kembali buku usang itu, dengan segera kupejamkan mata, berharap mimpi indah. Selamat malam... 

Sumber gambar : http://static.zerochan.net/600/15/47/429865.jpg
Read More

Sang Penari






 Tubuh gemulai, jemari yang lentik, ditambah lagi tersibak rambut pendekmu ketika angin datang hendak menyapa, sungguh cantik. Inilah pemandangan yang selalu memotong jam kerjaku. Melihat pesan estetik yang kamu sampaikan melalui tarian-tarian indah di gallery taman mini.
"Selamat pagi, Rani," ucapku dalam diam. Ah, andai saja aku mampu menyapamu dengan kalimat itu. Sayangnya tak cukup berani kubayangkan kamu untuk masa depan. Jantung berdetak begitu cepat, telinga serasa berdesing keras. Seolah terperangkap oleh rasa yang kuciptakan sendiri.
Jika kamu adalah tokoh utama dalam drama, maka aku hanyalah seorang cameo. Memilikimu tentu akan merusak jalan cerita. Aku muncul, tertangkap kamera. Lalu terlupakan. Temaram di bagian naskah tanpa dialog. Mengenaskan.
Kulihat jam di tanganku, tepat pukul 07.00 WIB. "Huhh telat lagi. Sudahlah, pemandangan ini jauh lebih berharga daripada bertemu pria botak yang baru saja diangkat menjadi general manager." Logika tak lagi berfungsi, saat ini hanya ada kamu diperasaanku.
"Mas Rey, kenapa di situ? Ayo kemari!" teriakmu lembut, entah kepada siapa. Aku menengok ke kanan dan ke kiri. Mencari-cari siapa pria bernama Mas Rey itu.
"Itu kan Rian? Ya Tuhan, dia adalah teman satu kelas semasa SMP-ku." Rasa penasaran menjalar, mengalir lewat pembuluh darah menuju otakku.
"Diakah laki-laki yang akan menjadi calonmu, Ran?" aku melanjutkan ucapanku. Lagi-lagi hanya berbisik pada angin. “Aku merasa seperti penguntit. Jika kamu tahu apa yang kulakukan, kamu pasti akan marah, Ran.” Tiba-tiba muncul perasaan takut.
Aku bergegas pergi sebelum mereka melihatku. Pandangan terasa samar, taman mini terlihat begitu luas hingga tak bisa kutemukan pintu keluarnya. Tempat ini mulai menyimpan lara. Aku memang tak punya ruang di dalam hatimu. Bagaimana tidak? Sekali pun tak pernah kucoba ucapkan “aku mencintaimu”. Bodoh sekali.
“Hei Pras, kamu Pras kan?” Suara laki-laki menyapa.
Aku terkejut, “Rian? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku seolah tak tahu apa-apa.
“Aku mau mengambil sesuatu yang tertinggal di mobil untuk seseorang. Oh ya, Pras kamu mengenal Rani? Gadis paling cantik di SMP kita dulu? Sebentar lagi dia akan kujadikan istri.”
“Tuhan tolong hentikan, aku tak ingin dialog ini menjadi lebih panjang lagi,” bisikku dalam hati.
“Benarkah? Semoga lancar. Sorry aku terlambat masuk kerja, jadi buru-buru. Lain kali aku akan menghubungimu.” Suaraku parau. 
Aku harus cepat pergi dari sini sebelum semuanya terbongkar. Cinta yang menyakitkan ini sama banyaknya dengan jumlah molekul air yang turun kala hujan. Walau tak terbalas, asalkan kamu tersenyum. Aku bahagia, Ran. Kurasa. 
Berlagak baik-baik saja, itulah cara yang kulakukan saat ini. Memang melelahkan, jika dibanding meluapkan semuanya kemudian menyakiti beberapa pihak. Masih seperti yang lalu-lalu, sosokmu bersama egonya terus menempati ruang terdepan di hatiku. Kubiarkan cerita ini menggantung pada sederet kalimat yang belum terselesaikan. Kemudian kuberkata, “Aku telah kalah”.

*Fiksi kilat
Sumber gambar : Foto teman kuliah (Rafsaharani Syawalucky)

Read More

Kamis, 28 September 2017

CUKUP





Beginilah cara menjamu sang Malam. Kubawakan secangkir kopi hitam kesukaannya, kuajak ia bercengkrama.
Kurangkaikan diksi-diksi pada secarik kertas, lalu kubacakan dengan mesrah,
"Hai Malam,  rasanya baru kemarin aku singgah menyapa dan menemani harimu yang hampa." kataku.

"Mengapa kamu datang lagi? Bukankah semua orang takut dengan gelap?" ucapnya, sinis.

"Memang, dan aku sudah paham pun mengerti perihal kamu. Tapi bagiku kamu indah," rayuku, menggoda.

Malam selalu saja sendiri, aku takut jika kelak ia jenuh dan pergi.
Jika ia pergi, maka selamanya aku tak akan bisa menatap sang Bulan.
Aku benar-benar licik.
Demi menjaga sang Bulan, aku rela mendekati Malam yang tak pernah kucintai.

"Jika memang rasamu bukan untukku, jangan pernah lambungkan harapku," ucapnya lirih seolah akan menangis. "Aku di sini baik-baik saja. Tanpa kamu temani pun, aku tak akan pergi. Berbahagialah dengan pilihanmu, kuharap dia tidak merasakan sakitnya mencintaimu." Malam melanjutkan ucapannya. Mengejutkanku.

"Maaf, kita memang sesuatu yang tak mungkin. Maaf,  telah membuat getar hatimu melambung dan terabaikan." ucapku, egois.

Aku melangkah dan pergi. Ini adalah kali pertama Malam menangis. 
Dekapan sesak menghantamku.
Rasa bersalah ini ... ah sial, aku tak bisa lagi berkata-kata.

Sumber gambar : http://2.bp.blogspot.com/-bUrqhv9BeCU/VTtZ8ab42KI/AAAAAAAAFOk/76Ipi4MFE_E/s1600/tips%2Bfoto%2Bmalam%2Bhari.jpg
Read More

Rabu, 27 September 2017

Seperti Qais kepada Laila


 


Aku menutup buku favoritku yang baru saja selesai kubaca, ini adalah yang ke 1800 kalinya.  Aku yang sedang merenung berjam-jam lamanya di atap rumah, mendengar ocehan orang-orang di bawah sana. Mereka bilang malam ini langit dan benda-benda di sekitarnya nampak begitu indah, namun aku tak bisa melihat keindahannya. Tatapanku hampa. 

Pandangan pun mulai samar,
Bagaimana mungkin aku terus menunggu sosok yang telah meninggalkanku dua puluh tahun yang lalu,” gumamku dalam lamunan. “Bagaimana mungkin aku begitu tergila-gila layaknya Qais kepada Laila dalam cerita novel “Laila Majnun” yang telah kubaca lebih dari 1000 kali.”

“Kamu yang telah berhasil mengoyak hatiku, lihatlah! aku hancur sebab merindumu. Sembabku ini akibat terkikis karena terjaga. Terjaga dari semua lamunan tentangmu. Kembalilah sebelum aku benar-benar gila. Kembalilah sebelum aku benar-benar menjadi Qais yang gila karena Laila. Ah, Sial... Sepertinya aku memang bernasib sama dengan Qais.” Aku tertawa, sinis.

Telah begitu lama aku menahan rindu tentangmu. Hingga detik ini, aku masih mencintai sosok dirimu. Kau seolah menahanku, menjadikan pikiranku semakin keruh, setidaknya tinggallah lebih lama lagi. Dulu kau bilang, “Jangan menungguku, lupakan aku!”
“BEDEBAH!!!! Apa kau ingin membunuhku dengan kata-kata itu?” teriakku begitu keras hingga semua orang mencari-cari dari mana asal suara itu. Tanpa sadar, air mata mulai membanjiri pipiku.
Apa kau tahu? Bahwa dirimu telah mengakar begitu dalam di sudut hatiku. Rinduku kepadamu seperti candu, begitu nikmat.” aku terdiam lagi, dan kututup kalimat itu dengan 1 kata, “kurasa”
Waktu terasa berhenti dan aku masih di sini. Menunggu, terus saja menunggu. Sesekali aku berhayal, melihat bayanganmu menerobos imajiku. Bayangan itu, telah mendoktrin otakku. “Bersajak” hanya itu yang kini menjadi rutinitasku. Sekedar menyatukan aksara-aksara bernada, berharap kamu yang entah di mana mampu mendengarnya.
 
Inspirasi : Novel Laila Majnun 
Sumber gambar : https://hatefsvoice.files.wordpress.com/2011/02/images13.jpg
Read More

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...