Beginilah
cara menjamu sang Malam. Kubawakan secangkir kopi hitam kesukaannya, kuajak
ia bercengkrama.
Kurangkaikan
diksi-diksi pada secarik kertas, lalu kubacakan dengan mesrah,
"Hai
Malam, rasanya baru kemarin aku singgah
menyapa dan menemani harimu yang hampa." kataku.
"Mengapa
kamu datang lagi? Bukankah semua orang takut dengan gelap?" ucapnya,
sinis.
"Memang,
dan aku sudah paham pun mengerti perihal kamu. Tapi bagiku kamu indah,"
rayuku, menggoda.
Malam
selalu saja sendiri, aku takut jika kelak ia jenuh dan pergi.
Jika
ia pergi, maka selamanya aku tak akan bisa menatap sang Bulan.
Aku benar-benar licik.
Demi
menjaga sang Bulan, aku rela mendekati Malam yang tak pernah kucintai.
"Jika
memang rasamu bukan untukku, jangan pernah lambungkan harapku," ucapnya
lirih seolah akan menangis. "Aku di sini baik-baik saja. Tanpa kamu temani
pun, aku tak akan pergi. Berbahagialah dengan pilihanmu, kuharap dia tidak
merasakan sakitnya mencintaimu." Malam melanjutkan ucapannya.
Mengejutkanku.
"Maaf,
kita memang sesuatu yang tak mungkin. Maaf,
telah membuat getar hatimu melambung dan terabaikan." ucapku,
egois.
Aku
melangkah dan pergi. Ini adalah kali pertama Malam menangis.
Dekapan sesak menghantamku.
Rasa
bersalah ini ... ah sial, aku tak bisa lagi berkata-kata.
Sumber gambar : http://2.bp.blogspot.com/-bUrqhv9BeCU/VTtZ8ab42KI/AAAAAAAAFOk/76Ipi4MFE_E/s1600/tips%2Bfoto%2Bmalam%2Bhari.jpg
Perasaannya mungkin sama dengan perasaanku 😁
BalasHapusSakit mbak 😭
Hapuskerenn, ini pasti nggak pernah alpa nih masuk kelas fiksi hahaha
BalasHapusHihih iya bang, ndak pernah alpa masuk kelas.
HapusKeren nih...suka..
BalasHapusTapi sediiih
makasih mbak wid, sudah mampir
Hapus"Gile lu, Ndro!" Kata Om Kasino.
BalasHapus🤔🤔🤔😂
HapusPuitis mbak 😁
BalasHapusmakasih mbak sudah mampir hehe
Hapus