Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Sabtu, 30 September 2017

Sang Penari






 Tubuh gemulai, jemari yang lentik, ditambah lagi tersibak rambut pendekmu ketika angin datang hendak menyapa, sungguh cantik. Inilah pemandangan yang selalu memotong jam kerjaku. Melihat pesan estetik yang kamu sampaikan melalui tarian-tarian indah di gallery taman mini.
"Selamat pagi, Rani," ucapku dalam diam. Ah, andai saja aku mampu menyapamu dengan kalimat itu. Sayangnya tak cukup berani kubayangkan kamu untuk masa depan. Jantung berdetak begitu cepat, telinga serasa berdesing keras. Seolah terperangkap oleh rasa yang kuciptakan sendiri.
Jika kamu adalah tokoh utama dalam drama, maka aku hanyalah seorang cameo. Memilikimu tentu akan merusak jalan cerita. Aku muncul, tertangkap kamera. Lalu terlupakan. Temaram di bagian naskah tanpa dialog. Mengenaskan.
Kulihat jam di tanganku, tepat pukul 07.00 WIB. "Huhh telat lagi. Sudahlah, pemandangan ini jauh lebih berharga daripada bertemu pria botak yang baru saja diangkat menjadi general manager." Logika tak lagi berfungsi, saat ini hanya ada kamu diperasaanku.
"Mas Rey, kenapa di situ? Ayo kemari!" teriakmu lembut, entah kepada siapa. Aku menengok ke kanan dan ke kiri. Mencari-cari siapa pria bernama Mas Rey itu.
"Itu kan Rian? Ya Tuhan, dia adalah teman satu kelas semasa SMP-ku." Rasa penasaran menjalar, mengalir lewat pembuluh darah menuju otakku.
"Diakah laki-laki yang akan menjadi calonmu, Ran?" aku melanjutkan ucapanku. Lagi-lagi hanya berbisik pada angin. “Aku merasa seperti penguntit. Jika kamu tahu apa yang kulakukan, kamu pasti akan marah, Ran.” Tiba-tiba muncul perasaan takut.
Aku bergegas pergi sebelum mereka melihatku. Pandangan terasa samar, taman mini terlihat begitu luas hingga tak bisa kutemukan pintu keluarnya. Tempat ini mulai menyimpan lara. Aku memang tak punya ruang di dalam hatimu. Bagaimana tidak? Sekali pun tak pernah kucoba ucapkan “aku mencintaimu”. Bodoh sekali.
“Hei Pras, kamu Pras kan?” Suara laki-laki menyapa.
Aku terkejut, “Rian? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku seolah tak tahu apa-apa.
“Aku mau mengambil sesuatu yang tertinggal di mobil untuk seseorang. Oh ya, Pras kamu mengenal Rani? Gadis paling cantik di SMP kita dulu? Sebentar lagi dia akan kujadikan istri.”
“Tuhan tolong hentikan, aku tak ingin dialog ini menjadi lebih panjang lagi,” bisikku dalam hati.
“Benarkah? Semoga lancar. Sorry aku terlambat masuk kerja, jadi buru-buru. Lain kali aku akan menghubungimu.” Suaraku parau. 
Aku harus cepat pergi dari sini sebelum semuanya terbongkar. Cinta yang menyakitkan ini sama banyaknya dengan jumlah molekul air yang turun kala hujan. Walau tak terbalas, asalkan kamu tersenyum. Aku bahagia, Ran. Kurasa. 
Berlagak baik-baik saja, itulah cara yang kulakukan saat ini. Memang melelahkan, jika dibanding meluapkan semuanya kemudian menyakiti beberapa pihak. Masih seperti yang lalu-lalu, sosokmu bersama egonya terus menempati ruang terdepan di hatiku. Kubiarkan cerita ini menggantung pada sederet kalimat yang belum terselesaikan. Kemudian kuberkata, “Aku telah kalah”.

*Fiksi kilat
Sumber gambar : Foto teman kuliah (Rafsaharani Syawalucky)

9 komentar:

  1. Balasan
    1. makasih uda mampir mbak nana, mohon koreksiannya ya :)

      Hapus
  2. Armadanya puter tuh bang, asalkan kau bahagia.. Hhuhu. Ngena banget hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehhehe iya mbak Rene,,, cewek ini hihihi
      makasih mbak sudah mampir

      Hapus
  3. Udah keren ini, Lis.
    Tinggal benerin tanda baca titik dan koma di akhir dialog. Belajar PUEBI yuk.
    Aku juga!

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya pak Her, bakal belajar, belajar, dan belajar :D

      Hapus

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...