Sumber gambar : https://i.pinimg.com/
-Di dunia bawah-
Hanya ada malam, namun begitu kelam lebih
dari biasanya. Dunia yang diselimuti kegelapan hingga tak bisa tergambarkan. Gemuruh
seperti suara petir menyambar bercampur menjadi satu dengan suara auman, adalah
sebuah pertanda. Di sini, di dunia bawah yang tak akan mungkin dapat dijangkau
oleh manusia, malam ini semua legion1
sedang
berkumpul mengitari sebuah batu besar. Mereka tunduk, bersujud menanti
kebangkitan keturunan Raja Satan, Lucifer2.
Seorang raja yang sangat ditunggu-tunggu oleh para legion, sebab raja sebelumnya telah tersegel 500 tahun yang lalu. Konon,
ketika segel itu rusak maka sang keturunan akan terlahir.
-Dunia manusia-
Silam, pekat, kelam, merengkuh sang
malam. Rintik hujan yang kian deras menambah kegalauan. Petir menyambar ke
segala arah, merisaukan penduduk bumi. Angin gunung mulai menggila, arahnya tak
bersahabat, sangat mengerikan. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari lilin. Para
bintang tertelan awan gelap, sedangkan rembulan dilahap habis oleh gerhana,
tak bersisa.
Seorang wanita tua tengah mematung di
dalam rumah, menanti suaminya yang tak kunjung kembali. Sesekali ia mengintip
dari jendela, tatapannya menyebar ke dalam gelapnya malam yang diselubungi hujan.
Semua penduduk bumi merasakan hawa yang merisaukan. Ini bukanlah kali
pertamanya mereka disambut oleh bencana, namun ada rasa gelisah yang terus
memburu dan melesap ke dalam pori, mengalir dalam darah, hingga ke hati dan
pikiran mereka.
Sumber gambar : https://assets-a2.kompasiana.com
Sebagian dari manusia tahu, bahwa ini
adalah peringatan dan pertanda telah lahir sang keturunan. Mereka adalah
manusia pilihan yang ditakdirkan melawan para legion bersama tuannya.
-Tujuh tahun kemudian ... -
“Ran, bekalnya sudah nenek siapkan di
dalam tas. Jangan berpisah jauh-jauh dari guru, ya! Karena nanti Ran akan
belajar di alam liar,” nasihat nenek, sembari menata bekal ke dalam tas.
“Nek, Ran itu hanya belajar di pinggiran
gunung, jadi tidak akan tersesat” tukasnya, meyakinkan. Ran mengambil tas
ranselnya yang telah siap, kemudian berpamitan kepada nenek dan kakeknya.
Kakek Gin yang sedari tadi sibuk membelah
kayu, tiba-tiba berhenti, berdiri menatap wajah istrinya, “Kenapa wajahmu
selalu gelisah ketika cucu kecil kita pergi keluar rumah, Runi?”
“Bagaimana aku tak sedih, Gin. Lihatlah
cucu kecil kita! Sejak kautemukan dia di dalam hutan tujuh tahun yang lalu, aku
sudah tahu dia bukanlah dari jenis kita, manusia. Semakin hari dia semakin
cantik, kulitnya sangat putih dan halus meski ia selalu membantuku berkebun.
Tubuhnya selalu harum. Rambut hitam pekat, halus, bahkan tak sehelai pun pernah
rontok. Dan yang paling mengherankan adalah tanda bulan sabit yang ada di dahinya.
Untung saja saat ini rambutnya telah panjang dan ada poni yang menutupinya. Aku
tahu dia bukan makhluk yang jahat, tapi aku khawatir jika dia nanti diculik,
Gin.” Binar mata wanita tua ini penuh dengan ketakutan.
“Baiklah kalau itu yang kamu takutkan, minggu
depan kita bawa Ran ke Timur menemui teman lamaku. Namanya Naff, dia adalah manusia
pilihan pembasmi legion dan
sejenisnya.
***
Di tepi danau pinggir pegunungan, Ran
dan teman-temannya sedang belajar mengenali alam liar. Cara memancing, cara mengenali
tumbuhan liar beracun, dan masih banyak hal lagi yang mereka pelajari di sana.
Kecantikan Ran membuat ia sangat
dikagumi oleh anak laki-laki, sedangkan hampir seluruh anak perempuan di kelas membencinya.
Mau tak mau ia tetap harus satu kelompok dengan pilihan gurunya, dua laki-laki
dan tiga perempuan termasuk Ran. Dua temannya yang perempuan sangat membenci
Ran, mereka terus-menerus menyuruh Ran.
Ketika semua kelompok tengah mencari
macam-macam tanaman untuk membedakan mana tanaman yang beracun dan tidak, Ran dijaili
oleh Lucy dan Emily, teman satu kelompoknya. Mereka berdua meminta Ran untuk
masuk ke dalam gunung agar mendapatkan tanaman yang lebih beragam. Karena Ran
sangat baik, ia bersedia melakukan perintah Lucy dan Emily.
“Bu Iren ... Ran hilang. Bagaimana ini,
Bu? Tadi Ran bilang ingin mencari tanamannya sendiri. Lalu saat kami memanggilnya,
dia sudah tak ada.” Emily berbohong kepada gurunya, agar ia tak disalahkan.
Berpura-pura takut dan khawatir.
“Semuanya tenang! Kita kembali ke
sekolah, ya! Bu Iren akan meminta bantuan guru lain untuk mencari Ran,” tukas
Bu Iren, mencoba menenangkan anak-anak yang mulai riuh ketakutan.
Di dalam gunung yang penuh dengan
pepohonan besar, tanaman dan binatang liar, Ran seorang diri menerobos masuk,
sama sekali tak ada rasa takut dalam hatinya. Dengan santainya ia berjalan,
tatapannya fokus mencari tanaman-tanaman asing, memetiknya lalu memasukkan
tanaman itu ke dalam keranjang yang dijinjingnya.
Ada suara aneh yang membuat Ran
penasaran, kemudian mengikuti suara itu, membelah semak-semak yang menghalangi,
dan langkahnya berhenti seketika. Tanpa bisa berkedip, ia terpaku dengan apa
yang disaksikannya. Ran melihat seorang anak laki-laki tanpa sehelai benang
menutupi badannya yang sedang memakan kelinci hidup-hidup. Rambutnya berwarna
pirang, tubuh putih pucat seperti orang mati, tapi mata ungu dan bibir
kemerahannya begitu hidup, sangat tampan. Tanpa merasakan takut, Ran mendekat, “Apa
... yang sedang kamu lakukan?” Ran terbelalak, hampir tak berkedip selama
sepuluh detik.
Anak laki-laki itu berdiri, menatap
tajam ke arah Ran. Matanya seperti dipenuhi oleh amarah dan kebencian. Ia mendekat
satu langkah ke arah Ran, hendak mencakar dengan kuku panjangnya.
“Siapa namamu? Berapa usiamu? Hemm ...
sepertinya kita seusia, ya? Lalu apa yang kamu lakukan di sini? Dan ... wahh
kenapa kamu tak mengenakan pakaian?” Dengan keheranan yang teramat besar dan senyuman
lebar penuh semangat, Ran menanyakan beberapa pertanyaan sekaligus. Pertanyaan
Ran yang seperti menodong itu, menghentikan tangan anak laki-laki asing yang
hendak mencakarnya.
Tatapan anak laki-laki yang tadinya
berwarna ungu, kini berubah menjadi merah. Ia merasa sangat marah tanpa sebab.
Seperti binatang buas yang dibangunkan dari tidurnya. Ran tersentak, ia merasa
ada yang aneh dalam diri anak itu. Tanda bulan sabit di keningnya nampak
bercahaya, seperti menarik tubuh Ran untuk memeluk anak laki-laki itu.
Sesuatu yang luar biasa terjadi, mata
anak itu kembali ungu dan ia menjadi lebih tenang, seolah Ran telah menyucikan hati
anak itu dari sikap buas yang entah datangnya dari mana. Di mata Ran, anak itu
sama sekali tak menakutkan, justru terlihat begitu malang. Sendirian di dalam
hutan, tak tahu cara makan yang benar, dan kedinginan tanpa pakaian. Ran
melepas jaket yang ia kenakan, kemudian memakaikannya di tubuh anak itu.
“Strange
... hemm saat ini aku akan memanggilmu Strange, karena kamu sedikit aneh dan
tak mau menjawab pertanyaanku. Padahal, tadi kamu bisa mengeluarkan suara
seperti kucing yang sedang marah. Baiklah Strange, nanti setelah sampai rumah
akan kuajari kamu berbicara, membaca, dan menulis. Lalu akan kuberi kamu nama
yang bagus.” Anak laki-laki itu hanya terdiam menatap Ran yang sedari tadi mengomel.
Ran menggandeng tangan Strange,
mengajaknya pulang. Tanpa disadari, ia berhasil kembali dengan selamat. Di
pinggir danau, ia bertemu dengan kakek dan para guru yang sedang dalam
perjalanan hendak mencari Ran. Kakek sangat senang, melihat Ran kembali dengan
selamat. Berlari dan memeluk cucu tercintanya itu.
***
-Bersambung-
#FantasyRomance
#TantanganFiksi6
Keren euy
BalasHapusiya, keren.. pengen tuh sy bisa bikin fiksi fantasi kayak gini..
BalasHapustop deh (y)
Fantasinya sempurna. Membaca ini serasa nonton film
BalasHapusSaya bacanya tahan napas...seperti Tak may terlewatkan satu katapun saat napas tertarik😀
BalasHapusMantap...krisannya memang terlalu cepat meloncat 7 tahun kemudian nya....
Selalau mantap kalau fantasy buatannya laila (asikk laila kayak judul laguu)
BalasHapus