Aku kelimpungan, bingung, tersuntuk
bimbang. Inilah hal yang paling kubenci, tak bisa menulis meski kepalaku berisi
puluhan bahkan ratusan aksara yang meronta, ingin dibebaskan dari
jeratan yang kian kuat menyegelnya di ruang 360 derajat. Sudah kucoba untuk menuliskan
aksara-aksara itu pada buku catatan penting. Tapi sialnya, semua yang
kutuliskan ujungnya hanya tentang kamu.
Hari ini kamu bilang, “Rin, aku udah
punya cewek, lho. Besok akan kukenalkan padamu, karena kamu sahabat baikku.”
Lalu bagaimana denganku? Apa harus
menyerah begitu saja? Atau ... ah, sial. Kamu telah berhasil mencarut-marut
warna pelangi pada imajiku. Memberikan
nada-nada beraroma penyesalan.
Yah, mungkin aku akan menyesal dan
terluka karena bersikukuh untuk mengambil alih perhatianmu. Lihat! Detak jam mulai
berbisik, seolah mengajak berdialog tanpa kata, bermigrasi dari angka satu ke
angka dua belas tanpa mencerca jejak, kemudian ia kembali lagi mengeja jalan
yang dilaluinya. Tanpa penyesalan. Bukankah, seharusnya aku juga begitu?
14 September
2017
00.50 WIB
Rin menulis pada buku hariannya,
kemudian ia terlelap dalam gelapnya dunia. Terlalu letih dengan kenyataan yang
didapatinya hari ini di sekolah. Berada di antara sesak-gelisah-sedih-lelah-marah.
***
Bel jam istirahat berbunyi, Rin yang
saat ini sedang duduk di bangku SMA kelas 2-A tengah asik membaca sebuah
artikel yang berisi resep dan rahasia menjadi cantik yang ia selipkan di buku
pelajarannya. Teman-temannya keluar untuk istirahat dan bermain di luar kelas.
“Yah, aku tidak boleh menyerah. Aku harus
menjadi cantik, agar Rio berpaling padaku,” ucap Rin, matanya berbinar seolah hendak
merencanakan sesuatu.
“Woiiii ... Rin. Apa yang kamu baca?”
tanya Rio, mengejutkan.
“Apa sih, Rio. Kamu ini benar-benar
teman satu kelas yang paling resek, ya.” Rin, menutup buku pelajarannya yang
berisi selipan artikel tentang kecantikan.
“Ke sini, Rin!” Rio menarik tangan Rin
menuju jendela kelasnya yang berada di lantai dua, “lihat itu yang berdiri di
depan lapangan basket, namanya Nia, anak 2-B. Dia cewekku.”
Rin hanya mematung, “Jadi itu ceweknya
Rio? Ternyata dia nggak cantik, bahkan aku jauh lebih cantik. Dia juga nggak
langsing-langsing amat. Tapi kenyataannya, yang kalah adalah aku,” Rin menggerutu dalam hati.
“Rinnnn ... woi, Rin.” Rio berteriak tepat
di telinga Rin.
“Gyaaa ... Apa sih, Rio? Mengagetkan
saja.”
“Habisnya kamu diam saja dari tadi, eh
sudah ya. Aku mau menemuinya dulu.” Rio berlari menghampiri Nia yang sedang
menunggunya.
Seperti biasa, Rin tidak pernah patah
semangat mendekati Rio, meski hubungan persahabatan mereka selalu diiringi
dengan candaan dan pertengkaran konyol.
“Rinnnnnn ... woi, Rin.” Rio berteriak
dari luar, tepat di bawah jendela kamar Rin yang ada di lantai dua.
Rin membuka jendela kamarnya yang sejak
tadi masih tertutup, “Rio, berhenti berteriak seperti bebek!” Rin menjawab teriakan Rio dari kamarnya, tatapannya kesal,
padahal dia sangat bahagia karena akan bermain basket dengan Rio.
Mereka berdua menghabiskan waktu sepulang
sekolah dengan bermain basket di taman mini yang tak jauh dari rumah Rin, tertawa
bersama, dan saling menjahili. Bagi yang melihatnya, mereka benar-benar seperti
sepasang kekasih. Saat itu perasaan Rin telah berada di puncak rasa ingin
memiliki. Tak bisa menahannya lagi, tatapannya sangat jelas bahwa ia ingin
sekali menyatakan perasaannya pada Rio.
“Hei, Rin. Apa sudah ada anak laki-laki
yang kausuka? Habisnya akhir-akhir ini Rin terlihat semakin cantik,” Ucap Rio,
lirih. Tatapannya tajam menatap Rin, ia terlihat begitu serius mengucapkannya.
“Apa aku telah berhasil membuat Rio
sedikit tertarik padaku? Hentikan, tatapan itu bisa membuatku menangis, dan semua
perasaanku bisa meluap-luap.” Rin bergumam dalam hati. Ia terus berusaha
menahan semua kata yang meronta untuk keluar.
“Hi .. hi.. tak kusangka gadis penyuka
tikus sepertimu juga bisa jadi cantik,” ucap Rio, memecah suasana.
Tatapan Rin berubah jadi sebal, “Tikus? Maksud
kamu hamster?”
“Ah, ya itu dia. Hmm, aku punya sesuatu
untukmu.” Rio merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah benda, “Nih, buat
kamu.”
“Hah? Gantungan sandal jepit yang hanya satu sisih?” Rin mengernyitkan dahinya.
“Ah ya, sebetulnya sepasang tapi satu
sisihnya lagi untukku.” Rio tertawa lebar. Wajahnya terlihat sangat bersih dan
tampan.
“Habisnya, Rin sangat cantik, sih.” Rio
melanjutkan ucapannya.
Tatapan mereka saling beradu, dari sana
seolah mereka berbicara, berbisik, dan mengajak berdialog. Sungguh, tatapan
yang sangat sulit untuk dijelaskan. Tatapan yang akan menimbulkan banyak kesakitan.
Mereka masih terdiam, menikmati angin yang berderu lirih, seperti alunan musik
romansa. Empat mata teduh bersama pendar keemasan di sore hari, merambat menghalau malam yang hendak berbaur, mereka benar-benar mencuri waktu.
“Nia?” ucap Rin, terkejut. Mata mereka yang tadinya tengah asik berdialog, tak sadar akan kedatangan Nia.
Nia yang memang pemalu, tentu sangat
bingung apa yang harus diperbuat maupun dikatakannya. Tanpa sadar, naluri
membawa tubuhnya berlari. Rin yang merasa tak enak hati, akhirnya mengejar Nia.
Rin berusaha menggapai Nia yang tengah berlari,
“Tunggu, Nia!”
“Lepaskan!” Nia berontak, berusaha
melepaskan tangan Rin yang hendak menghentikannya.
“Awass!” Rio berteriak kepada Rin dan
Nia. Tapi terlambat mereka jatuh karena tak melihat ada dua anak tangga.
“Sudah kuduga, Rio pasti akan berlari ke
arah Nia, seseorang yang berharga baginya. Sadis sekali, mungkin apa yang dia
ucapkan padaku tadi hanya kiasan saja,” gumam Rin, dalam hati.
“Nia, kamu tidak apa-apa?” Rio menggapai
tangan Nia dan membantunya berdiri, wajahnya menjadi pasi, khawatir jika Nia
terluka. Rio membalikkan badan, mencoba menggapai Rin yang saat itu tengah berdiri,
hendak pergi, “Rin, kamu ...”
“Cukup Rio, hentikan!” Rin membentak, tapi suaranya sedikit berat. Mereka terdiam sesaat, “Percuma khawatir, aku kan bukan anak cengeng
dan lemah.” Rin melanjutkan ucapannya. Mencoba tertawa lepas meski hatinya
sangat sakit.
“Rin, kamu mengagetkan saja.” Rio
mengelus dada, wajahnya tampak sangat khawatir.
“Hei, ceweknya Rio. Sebagai ceweknya Rio
harusnya kamu lebih tegas dong! Kalau tidak, nanti kamu bisa kehilangan dia. Haahh
mungkin si pengganggu lebih baik pulang saja.” Rin melangkah pergi, ia hanya
menampakkan punggungnya saja, sedang air matanya tumpah mengguncang segala rasa.
Dinding pertahanannya mulai melemah, ia sadar bahwa menyerah adalah cara
terbaik, agar satu pihak saja yang terluka. Meski begitu ia tak pernah menyesal
telah memotong pendek rambut dan berponi agar terlihat lebih manis, ia tak
segan memakai masker setiap hendak tidur agar wajahnya tetap bersih. Karena
menjadi cantiknya seorang gadis adalah sebuah penghargaan, pertanda bahwa ia telah
memperjuangkan cintanya.
Or any yang kita cinta dan inginkan belumntentu memiliki ASA yang sama. Tapi percsyalah Tuhannakan berikan ganti yang lebih baik.
BalasHapusNyoba bikin cerita remaja mbak. Duh agak susah juga ya...
Hapuscerita romans, bertepuk sebelah tgn kalo kata Dewa, hehehe..
BalasHapuskeren lah, msh ada satu dua kata yg typo: "hawatir", "yes" di-italic aja..
Lanjut (y)
Siap bang.. Segera revisi hehehe. Makasih 😊
HapusBagus, bagus...
BalasHapusPada "aksara yang bersua meronta". Maksudnya bersua apa berusaha ya? Aku agak bingung pemilihan katanya. Hihi.
bersekukuh, bukannya bersikukuh? Hehe.
Berada diantara sesak, diantara atau di antara?
Rin hanya mematung, “Jadi itu ceweknya Rio? Ternyata dia nggak cantik, bahkan aku jauh lebih cantik. Dia juga nggak langsing-langsing amat. Tapi kenyataannya, yang kalah adalah aku,” Rin menggerutu dalam hati. ___Ini senandika ya? Harusnya dimiringkan dan tak perlu pakai tanda petik.
Apalagi ya...
Di antara mas.
HapusKalau pov 1 biasanya sy ndak pakai petik mas. Krn ini pov 3 jd bingung heheh.
Makasih mas wakid krisannya 😊
Jadi Baper, hahaha keren deh...
BalasHapus