Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Jumat, 15 Desember 2017

Alusio



Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/598064025540388811/



Aku kelimpungan, bingung, tersuntuk bimbang. Inilah hal yang paling kubenci, tak bisa menulis meski kepalaku berisi puluhan bahkan ratusan aksara yang meronta, ingin dibebaskan dari jeratan yang kian kuat menyegelnya di ruang 360 derajat. Sudah kucoba untuk menuliskan aksara-aksara itu pada buku catatan penting. Tapi sialnya, semua yang kutuliskan ujungnya hanya tentang kamu.
Hari ini kamu bilang, “Rin, aku udah punya cewek, lho. Besok akan kukenalkan padamu, karena kamu sahabat baikku.”
Lalu bagaimana denganku? Apa harus menyerah begitu saja? Atau ... ah, sial. Kamu telah berhasil mencarut-marut warna pelangi pada imajiku. Memberikan nada-nada beraroma penyesalan.
Yah, mungkin aku akan menyesal dan terluka karena bersikukuh untuk mengambil alih perhatianmu. Lihat! Detak jam mulai berbisik, seolah mengajak berdialog tanpa kata, bermigrasi dari angka satu ke angka dua belas tanpa mencerca jejak, kemudian ia kembali lagi mengeja jalan yang dilaluinya. Tanpa penyesalan. Bukankah, seharusnya aku juga begitu?

14 September 2017
00.50 WIB

Rin menulis pada buku hariannya, kemudian ia terlelap dalam gelapnya dunia. Terlalu letih dengan kenyataan yang didapatinya hari ini di sekolah. Berada di antara sesak-gelisah-sedih-lelah-marah.

***

Bel jam istirahat berbunyi, Rin yang saat ini sedang duduk di bangku SMA kelas 2-A tengah asik membaca sebuah artikel yang berisi resep dan rahasia menjadi cantik yang ia selipkan di buku pelajarannya. Teman-temannya keluar untuk istirahat dan bermain di luar kelas.

“Yah, aku tidak boleh menyerah. Aku harus menjadi cantik, agar Rio berpaling padaku,” ucap Rin, matanya berbinar seolah hendak merencanakan sesuatu.
“Woiiii ... Rin. Apa yang kamu baca?” tanya Rio, mengejutkan.
“Apa sih, Rio. Kamu ini benar-benar teman satu kelas yang paling resek, ya.” Rin, menutup buku pelajarannya yang berisi selipan artikel tentang kecantikan.
“Ke sini, Rin!” Rio menarik tangan Rin menuju jendela kelasnya yang berada di lantai dua, “lihat itu yang berdiri di depan lapangan basket, namanya Nia, anak 2-B. Dia cewekku.”
Rin hanya mematung, “Jadi itu ceweknya Rio? Ternyata dia nggak cantik, bahkan aku jauh lebih cantik. Dia juga nggak langsing-langsing amat. Tapi kenyataannya, yang kalah adalah aku,” Rin menggerutu dalam hati.
“Rinnnn ... woi, Rin.” Rio berteriak tepat di telinga Rin.
“Gyaaa ... Apa sih, Rio? Mengagetkan saja.”
“Habisnya kamu diam saja dari tadi, eh sudah ya. Aku mau menemuinya dulu.” Rio berlari menghampiri Nia yang sedang menunggunya.  

Seperti biasa, Rin tidak pernah patah semangat mendekati Rio, meski hubungan persahabatan mereka selalu diiringi dengan candaan dan pertengkaran konyol. 
“Rinnnnnn ... woi, Rin.” Rio berteriak dari luar, tepat di bawah jendela kamar Rin yang ada di lantai dua.
Rin membuka jendela kamarnya yang sejak tadi masih tertutup, “Rio, berhenti berteriak seperti bebek!” Rin menjawab teriakan Rio dari kamarnya, tatapannya kesal, padahal dia sangat bahagia karena akan bermain basket dengan Rio.

Mereka berdua menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan bermain basket di taman mini yang tak jauh dari rumah Rin, tertawa bersama, dan saling menjahili. Bagi yang melihatnya, mereka benar-benar seperti sepasang kekasih. Saat itu perasaan Rin telah berada di puncak rasa ingin memiliki. Tak bisa menahannya lagi, tatapannya sangat jelas bahwa ia ingin sekali menyatakan perasaannya pada Rio.

“Hei, Rin. Apa sudah ada anak laki-laki yang kausuka? Habisnya akhir-akhir ini Rin terlihat semakin cantik,” Ucap Rio, lirih. Tatapannya tajam menatap Rin, ia terlihat begitu serius mengucapkannya.

“Apa aku telah berhasil membuat Rio sedikit tertarik padaku? Hentikan, tatapan itu bisa membuatku menangis, dan semua perasaanku bisa meluap-luap.” Rin bergumam dalam hati. Ia terus berusaha menahan semua kata yang meronta untuk keluar.

“Hi .. hi.. tak kusangka gadis penyuka tikus sepertimu juga bisa jadi cantik,” ucap Rio, memecah suasana.
Tatapan Rin berubah jadi sebal, “Tikus? Maksud kamu hamster?”
“Ah, ya itu dia. Hmm, aku punya sesuatu untukmu.” Rio merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah benda, “Nih, buat kamu.”
“Hah? Gantungan sandal jepit yang hanya satu sisih?” Rin mengernyitkan dahinya.
“Ah ya, sebetulnya sepasang tapi satu sisihnya lagi untukku.” Rio tertawa lebar. Wajahnya terlihat sangat bersih dan tampan.
“Habisnya, Rin sangat cantik, sih.” Rio melanjutkan ucapannya.

Tatapan mereka saling beradu, dari sana seolah mereka berbicara, berbisik, dan mengajak berdialog. Sungguh, tatapan yang sangat sulit untuk dijelaskan. Tatapan yang akan menimbulkan banyak kesakitan. Mereka masih terdiam, menikmati angin yang berderu lirih, seperti alunan musik romansa. Empat mata teduh bersama pendar keemasan di sore hari, merambat menghalau malam yang hendak berbaur, mereka benar-benar mencuri waktu.
“Nia?” ucap Rin, terkejut. Mata mereka yang tadinya tengah asik berdialog, tak sadar akan kedatangan Nia.
Nia yang memang pemalu, tentu sangat bingung apa yang harus diperbuat maupun dikatakannya. Tanpa sadar, naluri membawa tubuhnya berlari. Rin yang merasa tak enak hati, akhirnya mengejar Nia.
Rin berusaha menggapai Nia yang tengah berlari, “Tunggu, Nia!”
“Lepaskan!” Nia berontak, berusaha melepaskan tangan Rin yang hendak menghentikannya.
“Awass!” Rio berteriak kepada Rin dan Nia. Tapi terlambat mereka jatuh karena tak melihat ada dua anak tangga.

“Sudah kuduga, Rio pasti akan berlari ke arah Nia, seseorang yang berharga baginya. Sadis sekali, mungkin apa yang dia ucapkan padaku tadi hanya kiasan saja,” gumam Rin, dalam hati.


“Nia, kamu tidak apa-apa?” Rio menggapai tangan Nia dan membantunya berdiri, wajahnya menjadi pasi, khawatir jika Nia terluka. Rio membalikkan badan, mencoba menggapai Rin yang saat itu tengah berdiri, hendak pergi, “Rin, kamu ...”
“Cukup Rio, hentikan!” Rin membentak, tapi suaranya sedikit berat. Mereka terdiam sesaat, “Percuma khawatir, aku kan bukan anak cengeng dan lemah.” Rin melanjutkan ucapannya. Mencoba tertawa lepas meski hatinya sangat sakit.
“Rin, kamu mengagetkan saja.” Rio mengelus dada, wajahnya tampak sangat khawatir.
“Hei, ceweknya Rio. Sebagai ceweknya Rio harusnya kamu lebih tegas dong! Kalau tidak, nanti kamu bisa kehilangan dia. Haahh mungkin si pengganggu lebih baik pulang saja.” Rin melangkah pergi, ia hanya menampakkan punggungnya saja, sedang air matanya tumpah mengguncang segala rasa. Dinding pertahanannya mulai melemah, ia sadar bahwa menyerah adalah cara terbaik, agar satu pihak saja yang terluka. Meski begitu ia tak pernah menyesal telah memotong pendek rambut dan berponi agar terlihat lebih manis, ia tak segan memakai masker setiap hendak tidur agar wajahnya tetap bersih. Karena menjadi cantiknya seorang gadis adalah sebuah penghargaan, pertanda bahwa ia telah memperjuangkan cintanya.

7 komentar:

  1. Or any yang kita cinta dan inginkan belumntentu memiliki ASA yang sama. Tapi percsyalah Tuhannakan berikan ganti yang lebih baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nyoba bikin cerita remaja mbak. Duh agak susah juga ya...

      Hapus
  2. cerita romans, bertepuk sebelah tgn kalo kata Dewa, hehehe..

    keren lah, msh ada satu dua kata yg typo: "hawatir", "yes" di-italic aja..

    Lanjut (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap bang.. Segera revisi hehehe. Makasih 😊

      Hapus
  3. Bagus, bagus...

    Pada "aksara yang bersua meronta". Maksudnya bersua apa berusaha ya? Aku agak bingung pemilihan katanya. Hihi.

    bersekukuh, bukannya bersikukuh? Hehe.

    Berada diantara sesak, diantara atau di antara?

    Rin hanya mematung, “Jadi itu ceweknya Rio? Ternyata dia nggak cantik, bahkan aku jauh lebih cantik. Dia juga nggak langsing-langsing amat. Tapi kenyataannya, yang kalah adalah aku,” Rin menggerutu dalam hati. ___Ini senandika ya? Harusnya dimiringkan dan tak perlu pakai tanda petik.

    Apalagi ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di antara mas.

      Kalau pov 1 biasanya sy ndak pakai petik mas. Krn ini pov 3 jd bingung heheh.

      Makasih mas wakid krisannya 😊

      Hapus

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...