Seperti mimpi,
namun sebenarnya nyata. Kewajiban menulis setiap hari disela-sela rutinitasku
dari pagi hingga pukul 19.30 WIB. Tak pernah terbesit di dalam pikiranku, bahwa
aku akan mengikuti komunitas menulis ODOP. Padahal, biasanya hanya menulis
sekadarnya dan sesempatnya. Menulis hanya karena suka. Tidak lebih.
Ini adalah minggu
pertama tantangan dari ODOP, yaitu menulis tentang diriku. Setelah mengajar les
private dan mengikuti kelas ODOP, aku
duduk di depan leptop. Sesekali kuintip jam di laptop, menunjukkan tepat pukul
23.05 WIB. Ah bingung, apa yang mau kutulis tentang diriku? Tidak ada yang
spesial. Tapi, mau tak mau harus kutulis sesuatu.
Lailatul Isbach, biasa
dipanggil “Laila” dan ada pula yang memenggil “Iis”. Saat ini tinggal di Tambak
Sumur Jalan Saikhoni Waru Sidoarjo. Hemm, apalagi yang harus kutulis tentangku?
30 menit berlalu dan tulisanku hanya sampai nama dan alamat saja.
Tertutup, tidak
banyak bicara, tidak suka keramaian, dan suka berhayal, that’s me. Aku suka membaca dan menulis. Bagiku membaca begitu nikmat,
imajinasiku butuh itu. Sedangkan menulis, seperti mengonsumsi sabu-sabu. Membuat
candu.
Diary, itulah
tempat curhat pertamaku. Sejak kelas 6 SD diriku sudah menjadikan ia teman
untuk menjaga semua rahasiaku. Kata Aoyama Gosho, A secret makes a woman woman (sebuah rahasia membuat wanita menjadi
seorang wanita). Siapa Aoyama Gosho? Dialah penulis komik Detective Conan. Selain membaca dan menulis, aku juga suka menonton
film anime. Hehehe,,
Beberapa menit kemudian, aku seolah kehabisan
ide menulis yang temanya adalah tentang diriku. Kuintip langit dari jendela
kamar, malam ini tak nampak sedikit pun cahaya bulan. Malam dan hampa, seolah
menjadi satu. Ingin kuisi kehampaan itu, tapi siapa aku? Duh, ada-ada saja
pikiranku ini.
Sudah begitu larut.
Ingin kututup leptop dan segera tidur, tapi tak bisa. Insomnia, itu yang kurasa.
Kau potong jam tidurku, padahal esok lagi bisa kulanjut tulisan ini. Kau semakin
menjadi-jadi, kehadiranmu membuat imajiku mengudara melewati batas antar waktu.
Ada rasa penasaran yang begitu besar akan masa lalu, ingin sekali kuintip ulang masa-masa itu. “Kuletakkan di mana ya,
buku diary SMP-ku dulu?” tanyaku
kepada diri sendiri.
Aku mencari-cari
buku itu dan akhirnya kutemukan ditumpukan buku usang. “Dear Diary,” itulah
salam pembukanya, menggemaskan. Ini adalah cerita, kali pertama diriku duduk di
bangku SMP. Suka belajar dan membaca, itulah yang membuatku selalu masuk tiga
besar saat SD. Tentulah ketika SMP, otak ini masih menyimpan begitu banyak
memori tentang pelajaran. Ditambah lagi kebencianku pada keramaian, sehingga saat
jamkos (jam kosong) selalu kugunakan untuk membaca daripada berkumpul bersama
teman-teman. Alhasil, aku tidak mempunyai teman dekat.
Teman-temanku lebih
suka berbagi contekan saat ulangan. Sedangkan aku, dengan songongnya merasa
bisa dan tak mau membagi jawabanku kepada mereka meski hanya satu nomor jawaban.
Seminggu setelah ulangan tengah semester pertama, mereka menjauhiku. Satu pun
tak ada yang mau mengajakku berbicara.
“Apa yang terjadi? Apa
salahku?” tanyaku pada salah satu teman, heran.
“Kamu itu sok
pintar dan pelit ilmu. Kayak nggak butuh teman aja.” jawab temanku, sinis.
Aku terdiam
seketika itu. Berpikir keras sambil melangkah menuju toilet. Menangis, itulah yang
kulakukan di dalam toilet. Tentu saja butuh waktu yang cukup lama untuk sembuh
dari tuduhan mereka atas sifatku ini.
Kuceritakan masalah
ini pada ayah. “Adek kan sekolahnya di sekolah swasta, wajar kalau mereka
nyontek. Ya ndak papa, satu atau dua jawaban saja adek kasih tahu. Atau ajari
saja mereka sebelum ulangan berlansung. Itu sih terserah adek, kalau ndak mau
ya ndak papa. Pikirkan dulu baik-baik. Kalau sudah oke, baru minta maaf dan
ungkapkan isi hatinya adek ke teman-teman.” begitulah kata ayah. Adek adalah nama panggilanku
dari ayah, ibu dan kakak.
Berminggu-minggu
kujalani tanpa bertegur sapa dengan teman-teman. Tak ada yang bertanya padaku, “Apa
PR kamu sudah selesai?” Akhirnya kuputuskan untuk minta maaf kepada mereka,
mencoba berkumpul bersama mereka sesekali, dan belajar bersama.
Yahh, itulah secuil dari
kisahku di masa SMP. Banyak yang menyebutnya, “Jaman Ababil”. Mengingatnya saja masih
terasa sesak, namun itu adalah pelajaran yang berharga. Sejenak pikiranku menerawang,
mencoba memaknai apa yang baru saja kubaca dan kubayangkan. Kututup kembali
buku usang itu, dengan segera kupejamkan mata, berharap mimpi indah. Selamat malam... Sumber gambar : http://static.zerochan.net/600/15/47/429865.jpg
Suka cara penuturan cerita nya. Asik banget...
BalasHapusMakasih kak MS Wijaya sudah mampir :)
Hapus