Sumber gambar : google.co.id
Merambat, melumat segala yang terjamah. Aku
benci jalanan yang basah akibat langit yang menangis seharian. Membuat sepatu
putihku jadi kotor. Tak jarang bekas hujan di jalanan semburat kemana-mana
sebab kendaraan yang melaju kencang. Bekas hujan memang tak ada
romantis-romantisnya.
Rahangku bergemelutuk pasrah, haruskah kulanjutkan perjalanan ini?
Dibalik kacamata minus dua yang
bertengger di hidung mancung ini, mataku menyorot tajam di sekeliling. Takut
jika ada kendaraan yang melaju lebih kencang lagi hingga membasahi rok selutut
dan kaos biru lautku.
Sebentar lagi malam akan tiba, tapi tak
ada senja yang mengawalinya. Gara-gara awan gelap yang tak kunjung pergi meski
hujan telah berhenti. Kupercepat langkah kaki, tak sabar ingin segera sampai di
tempat tujuan. Dia pasti sudah lelah
menunggu di sana.
Dua puluh delapan menit aku tiba di perpustakaan
kota. Selain terkenal dengan kelengkapan bukunya, juga kenyamanan tempatnya.
Ada cafe, juga taman mini yang memang dikhususkan bagi yang ingin membaca sembari
mengobrol. Mataku mencari-cari di mana dia duduk, sebab tempat duduk yang biasa
kami pakai sudah ada yang menempati.
Berhimpit di antara rak-rak buku, mataku
tak lagi fokus mencarinya. Ada buku yang membuat mata ini beralih.
“Antariksa, jadi buku itu yang ingin
kamu cari?” Suara yang tak asing ini mengejutkanku.
“Rey, kamu di sini? Tadi aku mencarimu.”
“Tapi kamu tak menemukanku, kan?
Bagaimana bisa ketemu, kalau ada yang lebih menarik dariku di matamu?” ucapnya,
menggoda.
“Rey, apa sih kamu ini.” Wajahku
tertunduk malu. “Lalu, mana buku yang mau kamu baca?” tanyaku, mengalihkan
pembicaraan.
“Nih, satu buku dengan tiga sub judul.” Rey
menyodorkan buku yang dibawanya.
“Sungai-Rinai-Pandai.
Itu ... puisi?” Keningku berkerut, heran. Tak ada jawaban, Rey hanya tersenyum.
Okey, anggap saja jawabannya adalah
iya.
Kami memtuskan untuk meminjam buku dan
membacanya di cafe agar bisa mengobrol dan menghangatkan tubuh dengan memesan
kopi panas.
“Pesan apa, Kak?” tanya seorang pelayan.
“Vanilla lette satu dan espresso satu,”
jawabnya.
“Baiklah, tunggu sebentar, Kak!” ucap pelayan
itu.
“Kenapa espresso? Tidak biasanya.”
tanyaku, setelah pelayan itu meninggalkan meja kami.
“Sudah cukup manis menatapmu, mengapa
aku harus pesan yang manis-manis juga,” jawabnya begitu santai, sambil membuka
buku yang baru saja dia pinjam.
Dasar
pria, dengan santainya bicara seperti itu tanpa peduli telah membuat jantungku
berdegup kencang. Rasanya, seperti ada ratusan kupu-kupu beterbangan di
sekeliling.
“Aku penasaran, kenapa kamu meminjam
buku itu? Bukankah buku itu biasa dibaca oleh anak-anak?” tanyamu, menggoda. Dia ini memang suka sekali menjahiliku.
Bibir mengerucut, kemudian menatapnya
dengan mata yang sedikit kusiniskan tanpa menjawab pertanyaanya yang
mengesalkan itu.
“Kamu malah terlihat sangat manis dengan
ekspresi seperti itu. Membuatku tergoda sampai ingin mencubitmu hingga tambah
kesal.” Senyum merekah dari bibir tipisnya. Begitu menggoda, menjeratku hingga terjatuh
sejatuh-jatuhnya.
“Buku ini sangat indah. Sebuah
pemandangan yang tak akan pernah bisa kujangkau, yaitu Antariksa. Warna-warni
dari galaksi, seperti Galaksi Bimasakti yang memiliki 200-400 miliar bintang
dengan diameter 100.000 tahun cahaya. Ada juga Galaksi Cincin yang dikelilingi
oleh bintang-bintang biru terang yang terbentuk bagai cincin raksasa. Ah,
membayangkannya saja sungguh indah apalagi bisa menyaksikannya,” ucapku,
panjang lebar. Awalnya memang berniat mengalihkan pembicaraan untuk menutupi rona
merah di wajah agar tak ketahuan oleh Rey. Tapi malah jadi terbawa suasana dan mengatakan
hal-hal yang tak perlu.
“Jadi, kamu suka bintang? Apa karena itu,
kamu diberi nama Rasi?” Rey menatapku. Tatapanya begitu sejuk dan menawan. Dia
ini benar-benar sempurna, bagiku.
Tubuhnya tinggi, hidung mancung dan memiliki
senyuman yang sangat manis. Kulit putih, bersih dan rambut berponi yang bergaya
ala artis-artis korea ini, semakin membuat Rey terlihat menawan. Benar-benar
idola kampus.
“Lalu, Aurora. Cahayanya sangat indah,
loh. Aurora itu ...”
“Maaf memotong. Ada telepone nih,
sebentar ya!” Gawai milik Rey berbunyi, dia berdiri dan menjauh dari tempat
duduk.
Sebentar lagi, mungkin Rey akan pergi. Aku
yakin akan hal itu. Ekspresinya berubah saat menatap gawai yang tengah
berbunyi.
“Rasi, maaf ya! Aku harus pergi. Eliana baru
saja menelpon dan minta untuk dijemput. Kalau aku tak segera datang, dia nanti
bisa menangis.” Wajah Rey terlihat sedih. Seperti merasa bersalah.
“Pergilah!” Aku tersenyum kepadanya.
Jangan,
jangan pergi, Rey. Jangan pergi, kumohon, tetaplah di sini! Bersamaku.
Itulah kata yang selalu ingin kuucapkan. Tapi tak pernah bisa. Eliana adalah
teman satu kelasku di kampus, sebab berteman baik dengannya aku jadi mengenal Rey.
Eliana dan Rey sudah berteman sejak
kecil, rumah mereka juga berdekatan. Sampai sekarang tak tahu bagaimana
perasaan Rey kepadaku. Apa baginya aku
ini hanya teman yang menghibur? Karena sangat jelas bahwa Rey itu begitu
perhatian kepada Eliana. Bagi Rey, melindungi Eliana adalah sebuah kewajiban. Memangnya siapa sih, Eliana itu? Pacarnya
juga bukan, hanya teman masa kecil apa harus sampai seperti itu? Ah, benar-benar
kacau, hatiku kacau dibuatnya.
“Kak, permisi ini kopinya,” seru pelayan
cafe, menyentakku dari lamunan.
“Iya kak, terima kasih” jawabku, ramah.
Aku meletakkan espresso tepat di depan
tempat duduk Rey.
“Nah, Rey kita lanjutkan lagi ceritanya.”
Haha aku seperti orang gila saja, berbicara dengan kopi.
Bersambung ....
#12thDay
#30DWC
#OneDayOnePost
#Sungai-Rinai-Pandai
gelar tiker lagi ah, nunggu sambungannya..
BalasHapusYey..capcus ke bab 2
BalasHapusGemesgemes manis ceritanyaa.
BalasHapusSaat wanita bilang pergilah, maka seharusnya kamu tetap tinggal.
- (lupa kutipan siapa 😅)