Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Minggu, 28 Januari 2018

AMBIVALENSI (bagian 1)




 Sumber gambar : google.co.id

Merambat, melumat segala yang terjamah. Aku benci jalanan yang basah akibat langit yang menangis seharian. Membuat sepatu putihku jadi kotor. Tak jarang bekas hujan di jalanan semburat kemana-mana sebab kendaraan yang melaju kencang. Bekas hujan memang tak ada romantis-romantisnya.

Rahangku bergemelutuk pasrah, haruskah kulanjutkan perjalanan ini?

Dibalik kacamata minus dua yang bertengger di hidung mancung ini, mataku menyorot tajam di sekeliling. Takut jika ada kendaraan yang melaju lebih kencang lagi hingga membasahi rok selutut dan kaos biru lautku.

Sebentar lagi malam akan tiba, tapi tak ada senja yang mengawalinya. Gara-gara awan gelap yang tak kunjung pergi meski hujan telah berhenti. Kupercepat langkah kaki, tak sabar ingin segera sampai di tempat tujuan. Dia pasti sudah lelah menunggu di sana.

Dua puluh delapan menit aku tiba di perpustakaan kota. Selain terkenal dengan kelengkapan bukunya, juga kenyamanan tempatnya. Ada cafe, juga taman mini yang memang dikhususkan bagi yang ingin membaca sembari mengobrol. Mataku mencari-cari di mana dia duduk, sebab tempat duduk yang biasa kami pakai sudah ada yang menempati.

Berhimpit di antara rak-rak buku, mataku tak lagi fokus mencarinya. Ada buku yang membuat mata ini beralih.

“Antariksa, jadi buku itu yang ingin kamu cari?” Suara yang tak asing ini mengejutkanku.

“Rey, kamu di sini? Tadi aku mencarimu.”

“Tapi kamu tak menemukanku, kan? Bagaimana bisa ketemu, kalau ada yang lebih menarik dariku di matamu?” ucapnya, menggoda.

“Rey, apa sih kamu ini.” Wajahku tertunduk malu. “Lalu, mana buku yang mau kamu baca?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

“Nih, satu buku dengan tiga sub judul.” Rey menyodorkan buku yang dibawanya.

Sungai-Rinai-Pandai. Itu ... puisi?” Keningku berkerut, heran. Tak ada jawaban, Rey hanya tersenyum. Okey, anggap saja jawabannya adalah iya.

Kami memtuskan untuk meminjam buku dan membacanya di cafe agar bisa mengobrol dan menghangatkan tubuh dengan memesan kopi panas.

“Pesan apa, Kak?” tanya seorang pelayan.

“Vanilla lette satu dan espresso satu,” jawabnya.

“Baiklah, tunggu sebentar, Kak!” ucap pelayan itu.

“Kenapa espresso? Tidak biasanya.” tanyaku, setelah pelayan itu meninggalkan meja kami.

“Sudah cukup manis menatapmu, mengapa aku harus pesan yang manis-manis juga,” jawabnya begitu santai, sambil membuka buku yang baru saja dia pinjam.

Dasar pria, dengan santainya bicara seperti itu tanpa peduli telah membuat jantungku berdegup kencang. Rasanya, seperti ada ratusan kupu-kupu beterbangan di sekeliling.

“Aku penasaran, kenapa kamu meminjam buku itu? Bukankah buku itu biasa dibaca oleh anak-anak?” tanyamu, menggoda. Dia ini memang suka sekali menjahiliku.

Bibir mengerucut, kemudian menatapnya dengan mata yang sedikit kusiniskan tanpa menjawab pertanyaanya yang mengesalkan itu.

“Kamu malah terlihat sangat manis dengan ekspresi seperti itu. Membuatku tergoda sampai ingin mencubitmu hingga tambah kesal.” Senyum merekah dari bibir tipisnya. Begitu menggoda, menjeratku hingga terjatuh sejatuh-jatuhnya.

“Buku ini sangat indah. Sebuah pemandangan yang tak akan pernah bisa kujangkau, yaitu Antariksa. Warna-warni dari galaksi, seperti Galaksi Bimasakti yang memiliki 200-400 miliar bintang dengan diameter 100.000 tahun cahaya. Ada juga Galaksi Cincin yang dikelilingi oleh bintang-bintang biru terang yang terbentuk bagai cincin raksasa. Ah, membayangkannya saja sungguh indah apalagi bisa menyaksikannya,” ucapku, panjang lebar. Awalnya memang berniat mengalihkan pembicaraan untuk menutupi rona merah di wajah agar tak ketahuan oleh Rey. Tapi malah jadi terbawa suasana dan mengatakan hal-hal yang tak perlu.

“Jadi, kamu suka bintang? Apa karena itu, kamu diberi nama Rasi?” Rey menatapku. Tatapanya begitu sejuk dan menawan. Dia ini benar-benar sempurna, bagiku.

Tubuhnya tinggi, hidung mancung dan memiliki senyuman yang sangat manis. Kulit putih, bersih dan rambut berponi yang bergaya ala artis-artis korea ini, semakin membuat Rey terlihat menawan. Benar-benar idola kampus.

“Lalu, Aurora. Cahayanya sangat indah, loh. Aurora itu ...”

“Maaf memotong. Ada telepone nih, sebentar ya!” Gawai milik Rey berbunyi, dia berdiri dan menjauh dari tempat duduk.

Sebentar lagi, mungkin Rey akan pergi. Aku yakin akan hal itu. Ekspresinya berubah saat menatap gawai yang tengah berbunyi.

“Rasi, maaf ya! Aku harus pergi. Eliana baru saja menelpon dan minta untuk dijemput. Kalau aku tak segera datang, dia nanti bisa menangis.” Wajah Rey terlihat sedih. Seperti merasa bersalah.

“Pergilah!” Aku tersenyum kepadanya.

Jangan, jangan pergi, Rey. Jangan pergi, kumohon, tetaplah di sini! Bersamaku. Itulah kata yang selalu ingin kuucapkan. Tapi tak pernah bisa. Eliana adalah teman satu kelasku di kampus, sebab berteman baik dengannya aku jadi mengenal Rey.

Eliana dan Rey sudah berteman sejak kecil, rumah mereka juga berdekatan. Sampai sekarang tak tahu bagaimana perasaan Rey kepadaku. Apa baginya aku ini hanya teman yang menghibur? Karena sangat jelas bahwa Rey itu begitu perhatian kepada Eliana. Bagi Rey, melindungi Eliana adalah sebuah kewajiban. Memangnya siapa sih, Eliana itu? Pacarnya juga bukan, hanya teman masa kecil apa harus sampai seperti itu? Ah, benar-benar kacau, hatiku kacau dibuatnya.

“Kak, permisi ini kopinya,” seru pelayan cafe, menyentakku dari lamunan.

“Iya kak, terima kasih” jawabku, ramah.

Aku meletakkan espresso tepat di depan tempat duduk Rey.
“Nah, Rey kita lanjutkan lagi ceritanya.” Haha aku seperti orang gila saja, berbicara dengan kopi.


Bersambung ....


#12thDay
#30DWC
#OneDayOnePost
#Sungai-Rinai-Pandai

3 komentar:

  1. gelar tiker lagi ah, nunggu sambungannya..

    BalasHapus
  2. Gemesgemes manis ceritanyaa.

    Saat wanita bilang pergilah, maka seharusnya kamu tetap tinggal.
    - (lupa kutipan siapa 😅)

    BalasHapus

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...