Suram, legum, redam, itulah malam yang terpagut
kelamnya mendung. Aku teringa-inga kemudian tertawa tanpa aturan birama. Masih
teringat dengan jelas, Januari dua ribu tiga belas. Aku mereguk bimbang. Mengambang, terpampang bagai tambang-tambang usang.
Sekali-sekala ruang rindang berganti muram. Mataku terbuka, tapi temaram, terpurangah
dalam sesal. Bahkan bagi dua bola mataku, senja telah merupa kesumba. Tak
nyata, hanya terlukis dalam metafora. Pikiran telanjang terkubur dalam bayang
aversi.
Dia,
yah ... dia yang kupilih tapi tak pernah memilihku.
“Ree, sudahlah ... ikhlaskan dia!” hibur
Ayu, sahabatku.
“Ayu, mengertilah dia yang selama ini
kuperjuangkan. Tak semudah itu mengikhlaskannya. Ini adalah kali pertama aku
begitu ingin memiliki seseorang.” Tatapanku menerawang, tak jelas.
“Apa kausudah gila? Haruskah rasa itu
selalu memiliki? Kamu sendiri yang terlarut dalam bimbang. Melepas dia yang
mencintaimu kemudian memilih dia yang kaucinta,” kilah sahabatku, ketus.
“Tenanglah, Ree! Mungkin sukar, mungkin
juga butuh waktu bertahun-tahun. Tapi aku pasti akan melepasnya. Membunuhnya
dalam pikiranku, perlahan,” jawabku, datar.
“Syukurlah, sebab aku takut kamu jadi
gila karena cinta. Seperti tokoh Qais dalam novel Laila Majnun.” Ayu menghela napas panjang. Lega mendengar jawabanku.
“Apa sekarang kausedang bercanda? Menyamakanku
dengan si Qais?” Aku merasa tersindir.
“He ... he ... he” Ayu hanya membalas
dengan tawa tak jelas.
Bukan lagi perihal kasta, tapi dunia.
Dunia kami begitu jauh hingga suara tak mampu menjangkau. Tanpanya, aku sepi,
sendiri dalam dunia yang terisolasi. Begitulah
perumpamaannya.
Aku bukan pujangga, hanya seorang jalang
pecandu sajak. Januari dua ribu sembilan belas, telah kuputuskan untuk membunuh
tokoh “dia” dalam plano sajakku.
#11thDay
#30DWC
#OneDayOnePost
#Kata Kunci : Tambang-bimbang-rindang
#Sumber gambar : google.com
Teringa-inga itu apa maksudnya ya? hhh
BalasHapussuka diksinya
BalasHapus