Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Minggu, 28 Januari 2018

AMBIVALENSI (bagian 2)




Kesadaranku mulai hanyut kala mata ini menangkap Rey dan Eliana yang lagi-lagi berangkat bersama. Jemariku sedikit bergetar, ada rasa yang bercampur antara kesal dan suka.

“Selamat pagi, Rasi” sapa Rey. Seperti biasa, dia selalu saja terlihat tampan.

“Pagi,” jawabku, sedikit tak bersemangat.

Rey menatap tajam, seolah dia tahu ada yang berbeda dari sikapku yang biasanya ceria. Mengerilah Rey, aku selalu ingin lepas dari jeratan rasa ini. Aku benci kisah segitiga yang tak jelas ujungnya. Atau mungkin sudah jelas, bahwa kamu dan Eliana ditakdirkan untuk bersama.

“Eliana, nanti pulanglah lebih dulu! Aku ada rapat dengan anggota club basket,” ujar Rey, sebelum dia meninggalkan kelas kami.

Eliana sungguh lembut, senyumnya sangat manis, ditambah rambut yang tergerai panjang, menjadikan dia sesosok wanita yang diidam-idamkan. Sedangkan aku, sangat berisik. Rambut pendek, sepuluh sentimeter di bawah telinga. Tampak ceria, namun terkesan tomboi. Teman-teman selalu membanding-bandingkan ketika kami berdua jalan bersama.

“Hei, Rasi. Kemarin kamu, kan? Yang sedang bersama Rey di cafe perpustakaan kota. Wah, kalian terlihat akrab sekali,” seru salah seorang teman sembari ia berjalan menuju ke luar kelas. Deg ... jantungku terasa seperti mau berhenti. Mengejutkan.

Bagaimana ini? Apa yang harus kukatakan pada Eliana? Apa aku jujur saja kalau aku menyukai Rey. Tapi Rey juga belum tentu menyukaiku. Rasanya tak berani menatap mata Eliana. Suasana menjadi hening. Di dalam kelas hanya ada aku, Eliana dan satu teman yang asik memainkan gawainya.

“Ibuku sudah meninggal sejak aku masih kecil, aku memiliki tubuh yang lemah dan sering sakit. Ayah jarang di rumah, ia hanya pulang di awal bulan saja. Saat ini yang membuatku bahagia hanyalah berada di sisi Rey. Aku menyukai Rey. Jadi, kumohon kepada Rasi, jangan rebut Rey dariku. Kumohon!” ujar Eliana, matanya sedikit basah, seperti mau menangis.

“Apa yang kamu katakan, sih? Aku kan tidak ada perasaan apa-apa pada Rey. Sejak dulu sudah ada anak laki-laki yang kusuka. Dia jauh lebih keren dari Rey. Hehehe” sergahku.

Sakit sekali, sungguh sakit berbicara seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Eliana memohon sampai seperti itu padaku.

Biarlah aku menenggak sedikit kebahagiaan semu. Cepat atau lambat aku pasti akan melupakan Rey. Segala bentuk arsir senyumannya yang telah tersimpan, sebentar lagi juga akan kuhapus.


***
-Di Perpustakaan kota-

“Woi, woooiiiiiii ...” suara lirih seseorang menggelitik telingaku.

“Aaaa ...” teriakku, terkejut. Semua mata pengunjung perpustakaan menyorot ke arahku. Sungguh memalukan.

“Apa tidur di sini begitu nyaman?” tanya Rey, menggoda.

“Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu ada di sini? Menganggu saja.” Huh, padahal aku sangat ingin sendirian. Sepertinya di luar sedang hujan, terlihat dari rambut keren Rey yang basah. Dia terlihat begitu menawan.

Kusir? Judul buku yang aneh,” kataku. Lagi-lagi dia mengambil buku yang nyeleneh.

“Aa ... sepertinya aku salah ambil buku. Aku kan tadi ingin mengambil buku Syair Anyir milik Destino Richard." 

Kenapa dengannya? Apa dia sengaja ingin mengajakku bercanda.

“Sudah malam, sepertinya aku harus pulang.”

“Tunggu, di luar sedang hujan.” Rey menarik tanganku.

“Tak apa Rey, aku membawa payung. Jadi, lepaskan tanganku!” Karena malu, aku kembali duduk. Setidaknya sampai Rey melepaskan genggamannya.

“Tolong duduklah sebentar dan berbicara denganku. Aku tahu kamu sedang menghindar. Tenang saja, aku tak akan tanya mengapa itu terjadi. Kamu pasti kesal denganku, kan?” Wajah Rey memelas.

“Tidak, aku tidak menghindarimu. Itu hanya perasaan kamu saja, Rey. Hahaha” Hiburku, sembari menepuk-nepuk punggung Rey.

“Pelankan sedikit suaramu itu, dasar berisik.” Rey diam sejenak, mengambil napas panjang kemudian melanjutkan ucapannya, “Papa Eliana adalah teman baik orang tuaku. Saat masih kecil, karena memiliki tubuh yang lemah dia sering dijahili teman satu kelasnya. Semua itu membuatku mengucap janji akan melindunginya sampai kapan pun. Itu artinya ...”

“Rey, maaf memotong. Aku angkat telepone dari Mama dulu, ya.” Lucky ... gawaiku berbunyi tepat sebelum air mata keluar. Aku memutuskan untuk pergi tanpa berpamitan kepada Rey.

Sesak sekali, aku tak ingin mendengar apa pun lagi darinya. Rasa kesal dan suka kembali beradu. Air mata yang jatuh, bersembunyi di balik derasnya hujan. Dia tak boleh melihatku menangis.

“Berhenti! Tetap di situ. Aku tahu kamu pasti akan pergi diam-diam.” Suara Rey sontak membuat langkahku terhenti. Rey tepat berada di belakang, tanpa kutahu berapa jarak kami.

“Mama menyuruhku untuk segera pulang, Rey” kataku, tanpa menoleh sedikit pun.

“Dari dulu sampai sekarang, bagiku Eliana hanyalah teman masa kecil. Gadis yang kusukai itu kamu, Rasi” ungkapnya, mengejutkan. Ada rasa bahagia dan juga kesal karena dia tak pernah bisa bersikap tegas. Haruskah aku berbalik dan memeluknya? Atau mendengarkan kata-kata selanjutnya? “Tapi, aku tak bisa bersamamu. Setidaknya untuk saat ini, sampai aku menemukan waktu yang tepat untuk mengakhiri janjiku pada Eliana. Sampai saat itu tiba, kumohon, tunggulah aku!”

Derasnya hujan meredam pikir. Tapi tidak dengan hatiku, “Seandainya Eliana tak pernah mau melepaskan, apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku, mempertegas.

Pada akhirnya, Rey tak juga bersuara. Entah dia tak memiliki jawaban atau memang enggan memberi jawaban karena takut menyakitiku.

“Sudahlah, Rey. Selamat malam.” Aku berlari di tengah derasanya hujan, tanpa menoleh sedikit pun. Malam ini benar-benar kacau. Rey telah memberikan kenangan buruk saat hujan. Akankah aku terus mengingat rasa sakit ini ketika hujan datang? Jujur saja, aku menyukainya tapi juga membencinya. 

Tamat ...

#13thDay
#30DWC
#OneDayOnePost
#Anyir-Arsir-Kusir

2 komentar:

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...