Kesadaranku mulai hanyut kala mata ini menangkap
Rey dan Eliana yang lagi-lagi berangkat bersama. Jemariku sedikit bergetar, ada
rasa yang bercampur antara kesal dan suka.
“Selamat pagi, Rasi” sapa Rey. Seperti
biasa, dia selalu saja terlihat tampan.
“Pagi,” jawabku, sedikit tak
bersemangat.
Rey menatap tajam, seolah dia tahu ada
yang berbeda dari sikapku yang biasanya ceria. Mengerilah Rey, aku selalu ingin lepas dari jeratan rasa ini. Aku benci
kisah segitiga yang tak jelas ujungnya. Atau mungkin sudah jelas, bahwa kamu
dan Eliana ditakdirkan untuk bersama.
“Eliana, nanti pulanglah lebih dulu! Aku
ada rapat dengan anggota club basket,”
ujar Rey, sebelum dia meninggalkan kelas kami.
Eliana sungguh lembut, senyumnya sangat
manis, ditambah rambut yang tergerai panjang, menjadikan dia sesosok wanita
yang diidam-idamkan. Sedangkan aku, sangat berisik. Rambut pendek, sepuluh
sentimeter di bawah telinga. Tampak ceria, namun terkesan tomboi. Teman-teman selalu membanding-bandingkan ketika kami berdua jalan bersama.
“Hei, Rasi. Kemarin kamu, kan? Yang
sedang bersama Rey di cafe perpustakaan kota. Wah, kalian terlihat akrab sekali,”
seru salah seorang teman sembari ia berjalan menuju ke luar kelas. Deg ...
jantungku terasa seperti mau berhenti. Mengejutkan.
Bagaimana
ini? Apa yang harus kukatakan pada Eliana? Apa aku jujur saja kalau aku
menyukai Rey. Tapi Rey juga belum tentu menyukaiku. Rasanya tak berani menatap
mata Eliana. Suasana menjadi hening. Di dalam kelas
hanya ada aku, Eliana dan satu teman yang asik memainkan gawainya.
“Ibuku sudah meninggal sejak aku masih kecil,
aku memiliki tubuh yang lemah dan sering sakit. Ayah jarang di rumah, ia hanya
pulang di awal bulan saja. Saat ini yang membuatku bahagia hanyalah berada di
sisi Rey. Aku menyukai Rey. Jadi, kumohon kepada Rasi, jangan rebut Rey dariku.
Kumohon!” ujar Eliana, matanya sedikit basah, seperti mau menangis.
“Apa yang kamu katakan, sih? Aku kan
tidak ada perasaan apa-apa pada Rey. Sejak dulu sudah ada anak laki-laki yang
kusuka. Dia jauh lebih keren dari Rey. Hehehe” sergahku.
Sakit
sekali, sungguh sakit berbicara seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Eliana
memohon sampai seperti itu padaku.
Biarlah aku menenggak sedikit kebahagiaan
semu. Cepat atau lambat aku pasti akan melupakan Rey. Segala bentuk arsir senyumannya yang telah tersimpan,
sebentar lagi juga akan kuhapus.
***
-Di Perpustakaan kota-
“Woi, woooiiiiiii ...” suara lirih
seseorang menggelitik telingaku.
“Aaaa ...” teriakku, terkejut. Semua
mata pengunjung perpustakaan menyorot ke arahku. Sungguh memalukan.
“Apa tidur di sini begitu nyaman?” tanya
Rey, menggoda.
“Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu
ada di sini? Menganggu saja.” Huh, padahal
aku sangat ingin sendirian. Sepertinya di luar sedang hujan, terlihat dari
rambut keren Rey yang basah. Dia terlihat begitu menawan.
“Kusir?
Judul buku yang aneh,” kataku. Lagi-lagi dia mengambil buku yang nyeleneh.
“Aa ... sepertinya aku salah ambil buku.
Aku kan tadi ingin mengambil buku Syair Anyir milik Destino Richard."
Kenapa dengannya? Apa dia sengaja ingin mengajakku bercanda.
Kenapa dengannya? Apa dia sengaja ingin mengajakku bercanda.
“Sudah malam, sepertinya aku harus
pulang.”
“Tunggu, di luar sedang hujan.” Rey
menarik tanganku.
“Tak apa Rey, aku membawa payung. Jadi,
lepaskan tanganku!” Karena malu, aku kembali duduk. Setidaknya sampai Rey
melepaskan genggamannya.
“Tolong duduklah sebentar dan berbicara
denganku. Aku tahu kamu sedang menghindar. Tenang saja, aku tak akan tanya
mengapa itu terjadi. Kamu pasti kesal denganku, kan?” Wajah Rey memelas.
“Tidak, aku tidak menghindarimu. Itu
hanya perasaan kamu saja, Rey. Hahaha” Hiburku, sembari menepuk-nepuk punggung
Rey.
“Pelankan sedikit suaramu itu, dasar
berisik.” Rey diam sejenak, mengambil napas panjang kemudian melanjutkan
ucapannya, “Papa Eliana adalah teman baik orang tuaku. Saat masih kecil, karena
memiliki tubuh yang lemah dia sering dijahili teman satu kelasnya. Semua itu
membuatku mengucap janji akan melindunginya sampai kapan pun. Itu artinya ...”
“Rey, maaf memotong. Aku angkat telepone
dari Mama dulu, ya.” Lucky ... gawaiku
berbunyi tepat sebelum air mata keluar. Aku memutuskan untuk pergi tanpa
berpamitan kepada Rey.
Sesak sekali, aku tak ingin mendengar
apa pun lagi darinya. Rasa kesal dan suka kembali beradu. Air mata yang jatuh,
bersembunyi di balik derasnya hujan. Dia tak boleh melihatku menangis.
“Berhenti! Tetap di situ. Aku tahu kamu
pasti akan pergi diam-diam.” Suara Rey sontak membuat langkahku terhenti. Rey
tepat berada di belakang, tanpa kutahu berapa jarak kami.
“Mama menyuruhku untuk segera pulang,
Rey” kataku, tanpa menoleh sedikit pun.
“Dari dulu sampai sekarang, bagiku Eliana
hanyalah teman masa kecil. Gadis yang kusukai itu kamu, Rasi” ungkapnya,
mengejutkan. Ada rasa bahagia dan juga kesal karena dia tak pernah bisa
bersikap tegas. Haruskah aku berbalik dan
memeluknya? Atau mendengarkan kata-kata selanjutnya? “Tapi, aku tak bisa
bersamamu. Setidaknya untuk saat ini, sampai aku menemukan waktu yang tepat
untuk mengakhiri janjiku pada Eliana. Sampai saat itu tiba, kumohon, tunggulah
aku!”
Derasnya hujan meredam pikir. Tapi tidak
dengan hatiku, “Seandainya Eliana tak pernah mau melepaskan, apa yang akan
kamu lakukan?” tanyaku, mempertegas.
Pada akhirnya, Rey tak juga bersuara.
Entah dia tak memiliki jawaban atau memang enggan memberi jawaban karena takut
menyakitiku.
“Sudahlah, Rey. Selamat malam.” Aku
berlari di tengah derasanya hujan, tanpa menoleh sedikit pun. Malam ini
benar-benar kacau. Rey telah memberikan kenangan buruk saat hujan. Akankah aku terus mengingat rasa sakit ini
ketika hujan datang? Jujur saja, aku menyukainya tapi juga membencinya.
Tamat ...
#13thDay
#30DWC
#OneDayOnePost
#Anyir-Arsir-Kusir
Keren..suka..
BalasHapusBikin galau
galau deh...
BalasHapus