Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Rabu, 17 Januari 2018

Dewi





 Sumber gambar : https://i1.wp.com/

Berbalut kerudung panjang, berbusana muslimah, lembut dalam berkata, sopan dalam berlaku. Dia yang sedang duduk di kursi panjang, tersenyum manis menatap buku bacaannya. Menambah indah taman bunga ini. Enam puluh dua menit berlalu, sedang aku masih saja diam-diam mencuri pandang. Hatiku begitu riuh seperti kesurupan, berjingkrak mengudara. Biarlah embusan dersik, napas yang tengah berbaur dengan udara, dan Tuhan yang mengetahui tentang apa yang kurasa.

Dewi Mar’atus Shalihah, nama yang hingga kini tak henti kusebut dalam doa. Meski belum pantas untuk menyatakan hal ihwalku, tapi sungguh perasaan ini tak akan berujung pada permainan semata. Rasa yang merambat, kemudian melumat habis nurani. Mengitari semesta dalam diri. Ah, mungkin aku terlalu berlebihan menggambarkannya.

Assalamualaikum, Ali.”

Wa’alaikumsalam.” Suara seseorang yang tak asing menyentakku dari lamunan indah. “Eh, Fatih ... kenapa kamu ada di sini?” lanjutku.

“Aku kemari sebab rasa ingin tahu,” jawabnya sembari cengar-cengir tak jelas.

“Ingin tahu? Tentang?” tanyaku, penasaran.

“Tentang seorang bidadari yang singgah di taman ini setiap Sabtu dan Minggu sore untuk membaca buku.” Tangannya menunjuk ke arah wanita yang sedari tadi menjadi tema dalam lamunanku. “Dia, wanita yang akan mejadi istriku. Kau tahu? Aku telah jatuh cinta padanya sejak pertama kali berjumpa. Aku lekas mengkhitbahnya sebelum keduluan orang lain. Memang mendadak, tapi aku sangat bersyukur karena dia dan keluarganya menerimaku dengan senang hati. Tentu saja aku tak mau berlama-lama, bulan depan kami akan menikah. Karena kamu adalah sahabat baikku, jadi kuceritakan kisah mendadak yang romantis ini,” terangnya.

Apa yang Fatih terangkan tadi terasa begitu panjang, membosankan hingga ingin sekali kuhentikan waktu. Kata-katanya bagai sumpah serapah, menguliti nurani hingga ke dasarnya. Mengganti puisi menjadi elegi. Menggeser memoar hingga temaram. Ah sudahlah, intinya itu aku sakit hati. Sekarang bagaimana caranya bertahan hidup, jika napas telah direnggut.

#6thDay
#30DWC
#Enam-kesurupan
#OneDayOnePost

6 komentar:

  1. Ah, kenapa hanya memandang saja? Ah, sudahlah ... :)

    BalasHapus
  2. Oooh sakit hati
    Jatuh cinta pada gadis yang sama?

    BalasHapus
  3. pendek, tapi hati seperti tersayat jarum yang abis masuk ke rebusan sayur :(

    BalasHapus
  4. Tidak sendiri mengalami itu, banyak yang masih mengamati atau menyiapkan amunisi tapi tiba2 sasaran direnggut orang. Maka judulnya belum berjodoh....

    BalasHapus
  5. Ngenes ending.. sabar ya mas ali.. semoga segera bertemu dengan dewi yang lain.. 😀

    BalasHapus
  6. Jika memang berjodoh, pasti dipertemukan. Jika bukan, maka akan dipertemukan dengan yang lain kok ...

    BalasHapus

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...