Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Sabtu, 02 Desember 2017

Nyanyian dari Surga (bagian 14) end



Sumber gambar : www.dakwatuna.com

~Cahaya yang Semakin Padam~
Napas terasa berat, sebuah ventilator terpasang menutup hidung dan mulut. Infus di tangan kanan, menjerat seperti tali yang menghentikan setiap aktivitasku. Selimut putih terbentang menutupi sebagian tubuh. Aroma obat begitu lekat. Aku menoleh ke kiri, ada mama yang sedang tertidur.
“Ma, ini di mana?” Suaraku sangat lemah.
“Nayla, kenapa tak bilang jika selama ini kamu sakit?” Wajah mama hawatir. Tangannya mengelus keningku, kemudian menciumnya.
“Nayla kenapa, Ma?” tanyaku lagi. Tapi mama tak menjawab, ia hanya menangis.
“Maafkan Mama sayang, maafkan Mama” Isak tangis mama meledak. Sejenak terdiam, mama mengusap air matanya, “Nay, tolong katakan kepada Mama. Apa yang paling Nay inginkan saat ini?”
“Ma, Nay ingin berhijab. Boleh?” Aku tersenyum lemah, menahan rasa sakit. Mama hanya mengangguk, air matannya begitu deras hingga jatuh ke wajahku.
Mama dan papa terlihat bingung dan cemas, aku sendiri tak tahu apa yang terjadi. Mereka mengabulkan semua permintaanku untuk shalat dan berhijab meski dalam keadaan terbaring lemah. Munkinkah terjadi sesuatu yang buruk?
“Ma, rasanya sakit. Apa Nay, akan meninggal?”
“Tidak sayang, Nay akan sembuh. Percaya pada Mama!” Mama kembali mengecup keningku.
Entah sudah berapa bulan terbaring lemah, tidak ada pula yang bercerita tentang apa yang terjadi padaku. Tiap malam mama selalu menangis. Sedangkan papa sibuk mengurus perpindahanku ke rumah sakit lain. Ini adalah yang ketiga kalinya. Setelah di Jakarta, kemudian di Gleneagles Hospital Singapura, dan sebentar lagi aku akan di rawat di rumah sakit besar di Jerman, Asklepios Klinik Barmbek, yang kutahu tentang rumah sakit di Jerman ini adalah fasilitas dan peralatan medis yang canggih. Hampir semua peralatan kedokteran yang diproduksi oleh perusahaan Jerman diuji di rumah sakit ini sebelum tersebar ke seluruh dunia.
Setelah beberapa bulan di sana, kondisiku tak juga membaik. Papa membawaku kembali ke rumah sakit di Jakarta. Apa sebenarnya yang mereka ributkan?

***

Waktu terus bergulir, melewati kesedihan, melawan keputusasaan yang mengikat relung hati, terdampar pada harapan yang seakan tak berpihak lagi. Rasa sakit sebab mendapati kenyataan telah mampu mematikan jiwaku dalam waktu yang cukup lama. Terus menerus larut dan tertelan ingatan kusut. Pikiran yang terayun di atas ranah pilu, tak mau redam. Begitulah takdir membawaku hanyut hingga sebuah keajaiban datang bersamanya. Bersama dia, laki-laki yang dulu menjadi cinta pertama.
“Mama, di batu nisan ini tertulis nama yang sama denganku, Asma Nur Aini. Apa ini makam tante Asma yang Mama ceritakan itu?” tanya Asma kecilku, penasaran.
Di bawah pohon yang rindang, makam yang selalu bertabur bunga segar. Di sinilah Asma beristirahat. Waktu itu, delapan tahun yang lalu, saat hepatoma (kanker hati) membuatku terbaring begitu lama dan kritis karena tidak mendapatkan donor hati sebanyak 80%. Setelah kembali dari Jerman, dan tak ada harapan lagi untukku. Mama menelpon Asma dan ibuk. Mereka bergegas ke rumah sakit, namun bus yang dinaiki oleh Asma dan ibuk mengalami kecelakaan. Ibuk meninggal, sedangkan Asma terluka parah, pembuluh darahnya pecah, Asma bisa selamat jika melakukan operasi. Tapi ia menolak, seakan telah siap menjemput ajalnya. 
Asma meminta dokter untuk mengambil hatinya agar diberikan kepadaku. Dan sebuah keajaiban, diameter hatinya sesuai. Dibanding operasi dan selamat, Asma lebih memilih untuk pergi dan mendonorkan hatinya. Demi diriku, orang asing yang sangat dicintainya.
“Iya Asma sayang. Nama kamu ini mirip dengan nama tante Asma sahabat baik Mama. Berharap kelak kamu memiliki hati yang cantik, secantik hati yang dimiliki tante Asma. Dan yang di sebelahnya adalah makam Ibuk, kamu boleh memanggilnya Uti.” tukasku, lirih. Air mata jatuh perlahan.
“Sudah delapan tahun berlalu, dan Asma kecil sekarang sudah berusia empat tahun. Kamu masih saja cantik saat menangis.” katanya, menggoda.
“Fahri, terima kasih. Karena sudah menyelamatkanku dari keputusasaan setelah kepergian Asma dan ibuk. Keputusasaan setelah tahu kenyataan tentang Asma. Dia itu seperti ibu peri yang telah memberiku begitu banyak hati. Hati Mama dan Papa, mereka sekarang seorang muslim yang taat. Mereka berubah setelah melihat pengorbanan yang dilakukan oleh Asma. Dia juga memberikan hatinya untukku. Lalu memberikan hatimu, laki-laki yang sangat kucintai dan dicintai olehnya.”
“Nayla, sudah cukup. Semua ini sudah digariskan olehNya, oleh Dia Yang Maha Agung. Sekarang kita pulang!” Fahri menggadeng tanganku, mengajak kami pulang.
Kami bertiga, ‘aku, Fahri, dan anak kami, Asma’ telah hidup bahagia. Nyanyian surga terus terdengar di dalam rumah. Suaranya yang dulu membuat getar hati melambung, telah bebas berkumandang. Suara yang dulu telah menjerat dan membuat penasaran perihal agama Islam telah menjadi milikku seutuhnya. Terima kasih, Tuhan. Telah Engkau anugerahkan manusia-manusia berhati emas untuk tinggal di sekelilingku.

Tamat

2 komentar:

  1. Wah.....kereeen banget heu heu..

    Ya Alloh, terkadang betapa sulit menerima takdir Tuhan

    BalasHapus

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...