Sumber gambar : www.dakwatuna.com
~Cahaya yang Semakin
Padam~
Napas
terasa berat, sebuah ventilator terpasang
menutup hidung dan mulut. Infus di tangan kanan, menjerat seperti tali yang
menghentikan setiap aktivitasku. Selimut putih terbentang menutupi sebagian
tubuh. Aroma obat begitu lekat. Aku menoleh ke kiri, ada mama yang sedang
tertidur.
“Ma,
ini di mana?” Suaraku sangat lemah.
“Nayla,
kenapa tak bilang jika selama ini kamu sakit?” Wajah mama hawatir. Tangannya
mengelus keningku, kemudian menciumnya.
“Nayla
kenapa, Ma?” tanyaku lagi. Tapi mama tak menjawab, ia hanya menangis.
“Maafkan
Mama sayang, maafkan Mama” Isak tangis mama meledak. Sejenak terdiam, mama
mengusap air matanya, “Nay, tolong katakan kepada Mama. Apa yang paling Nay
inginkan saat ini?”
“Ma,
Nay ingin berhijab. Boleh?” Aku tersenyum lemah, menahan rasa sakit. Mama hanya
mengangguk, air matannya begitu deras hingga jatuh ke wajahku.
Mama
dan papa terlihat bingung dan cemas, aku sendiri tak tahu apa yang terjadi. Mereka
mengabulkan semua permintaanku untuk shalat dan berhijab meski dalam keadaan
terbaring lemah. Munkinkah terjadi sesuatu yang buruk?
“Ma,
rasanya sakit. Apa Nay, akan meninggal?”
“Tidak
sayang, Nay akan sembuh. Percaya pada Mama!” Mama kembali mengecup keningku.
Entah
sudah berapa bulan terbaring lemah, tidak ada pula yang bercerita tentang
apa yang terjadi padaku. Tiap malam mama selalu menangis. Sedangkan papa sibuk mengurus
perpindahanku ke rumah sakit lain. Ini adalah yang ketiga kalinya. Setelah di
Jakarta, kemudian di Gleneagles Hospital Singapura, dan sebentar lagi aku akan
di rawat di rumah sakit besar di Jerman, Asklepios Klinik Barmbek, yang kutahu
tentang rumah sakit di Jerman ini adalah fasilitas dan peralatan medis yang
canggih. Hampir semua peralatan kedokteran yang diproduksi oleh perusahaan Jerman
diuji di rumah sakit ini sebelum tersebar ke seluruh dunia.
Setelah
beberapa bulan di sana, kondisiku tak juga membaik. Papa membawaku kembali ke
rumah sakit di Jakarta. Apa sebenarnya yang mereka ributkan?
***
Waktu
terus bergulir, melewati kesedihan, melawan keputusasaan yang mengikat relung
hati, terdampar pada harapan yang seakan tak berpihak lagi. Rasa sakit sebab mendapati
kenyataan telah mampu mematikan jiwaku dalam waktu yang cukup lama. Terus
menerus larut dan tertelan ingatan kusut. Pikiran yang terayun di atas ranah
pilu, tak mau redam. Begitulah takdir membawaku hanyut hingga sebuah keajaiban
datang bersamanya. Bersama dia, laki-laki yang dulu menjadi cinta pertama.
“Mama,
di batu nisan ini tertulis nama yang sama denganku, Asma Nur Aini. Apa ini
makam tante Asma yang Mama ceritakan itu?” tanya Asma kecilku, penasaran.
Di
bawah pohon yang rindang, makam yang selalu bertabur bunga segar. Di sinilah
Asma beristirahat. Waktu itu, delapan tahun yang lalu, saat hepatoma (kanker
hati) membuatku terbaring begitu lama dan kritis karena tidak
mendapatkan donor hati sebanyak 80%. Setelah kembali dari Jerman, dan tak ada
harapan lagi untukku. Mama menelpon Asma dan ibuk. Mereka bergegas ke rumah
sakit, namun bus yang dinaiki oleh Asma dan ibuk mengalami kecelakaan. Ibuk
meninggal, sedangkan Asma terluka parah, pembuluh darahnya pecah, Asma bisa selamat jika melakukan operasi. Tapi ia menolak, seakan telah siap menjemput ajalnya.
Asma meminta
dokter untuk mengambil hatinya agar diberikan kepadaku. Dan sebuah keajaiban,
diameter hatinya sesuai. Dibanding operasi dan selamat, Asma lebih memilih untuk pergi dan mendonorkan hatinya. Demi diriku, orang asing yang sangat dicintainya.
“Iya
Asma sayang. Nama kamu ini mirip dengan nama tante Asma sahabat baik Mama. Berharap
kelak kamu memiliki hati yang cantik, secantik hati yang dimiliki tante Asma.
Dan yang di sebelahnya adalah makam Ibuk, kamu boleh memanggilnya Uti.” tukasku,
lirih. Air mata jatuh perlahan.
“Sudah
delapan tahun berlalu, dan Asma kecil sekarang sudah berusia empat tahun. Kamu
masih saja cantik saat menangis.” katanya, menggoda.
“Fahri,
terima kasih. Karena sudah menyelamatkanku dari keputusasaan setelah kepergian
Asma dan ibuk. Keputusasaan setelah tahu kenyataan tentang Asma. Dia itu
seperti ibu peri yang telah memberiku begitu banyak hati. Hati Mama dan Papa, mereka
sekarang seorang muslim yang taat. Mereka berubah setelah melihat pengorbanan
yang dilakukan oleh Asma. Dia juga memberikan hatinya untukku. Lalu memberikan
hatimu, laki-laki yang sangat kucintai dan dicintai olehnya.”
“Nayla,
sudah cukup. Semua ini sudah digariskan olehNya, oleh Dia Yang Maha Agung.
Sekarang kita pulang!” Fahri menggadeng tanganku, mengajak kami pulang.
Kami
bertiga, ‘aku, Fahri, dan anak kami, Asma’ telah hidup bahagia. Nyanyian
surga terus terdengar di dalam rumah. Suaranya yang dulu membuat
getar hati melambung, telah bebas berkumandang. Suara yang dulu telah menjerat dan membuat penasaran perihal agama Islam telah menjadi milikku seutuhnya. Terima kasih, Tuhan. Telah Engkau anugerahkan manusia-manusia berhati emas untuk tinggal di sekelilingku.
Tamat
Wah.....kereeen banget heu heu..
BalasHapusYa Alloh, terkadang betapa sulit menerima takdir Tuhan
Mbak wid makasih uda mampir 😊😊
Hapus