Sumber gambar: http://www.glitzmedia.co
“Kenapa aku? Kenapa kalian selalu menjahiliku?
Apa salahku pada kalian? Nggak adil, benar-benar nggak adil.” Ia berteriak keras.
Air matanya pecah, tumpah begitu deras. Suara isak tangis memburu, dan membunuh
sang tawa yang biasanya berpendar.
Tak ada yang hirau, semua yang ada di
sekitarnya hanya bisa ternganga, ada pula yang tertawa licik menganggap anak
itu aneh dan tak pantas berada di tempat yang setara dengan mereka. Tatapan bersorai,
terpejam, kemudian terbelalak tajam kearahnya. Di pagi yang bersimbah tangis
ini, dia, anak laki-laki yang biasa di panggil Lana, kembali menuai afeksi.
Bukan yang pertama kali, ini sudah yang kesekian sejak langkah kakinya bermuara
di dalam diriku.
Dari arah yang berlawanan, seorang guru
datang, “Loh ada apa ini? Lana kenapa? Siapa yang sudah jahil padamu, Nak?” Wajah
bu guru nampak hawatir meski ini bukanlah yang pertama.
“Siapa dari kalian yang telah jahil pada
Lana?” Semua siswa terdiam. Tak ada yang dengan berani mengakui kesalahannya.
“Rio, Bu.”
“Loh kok aku? Bagas tuh.” Mereka hanya
bisa saling tuduh tanpa ada yang benar-benar mengakuinya.
Enam puluh menit lebih lima belas, Lana
kembali tenang. Wajah lugunya masih menyisakan sedikit warna merah. Suaranya
masih diiringi senggukan. Anak laki-laki yang cukup unik dengan kaca mata tebal
dan tangan yang selalu membawa buku ini entah bagaimana dunianya di luar sana, selalu
membuatku ingin mengintai. Tapi tak mungkin, sebab aku hanyalah benda mati,
berdiri tegak sejak berpuluh tahun yang lalu. Menjadi tempat anak-anak menuntut
ilmu. Yah, di sinilah mereka semua belajar, di dalam diriku. Bangunan besar
yang mau tak mau menjadi saksi mereka dalam belajar, bersaing, bersahabat, dan
menemukan jati diri. Tidak sedikit dari mereka yang mencoret-coretiku dengan pensilnya,
menuliskan contekan untuk ujian. Dan mereka sangat berisik, tapi sungguh asik
menikmati beragam kisah mereka.
Aku telah berdiri bepuluh-puluh tahun
dan telah menangkap puluhan bahkan ratusan sepasang mata anak-anak, tapi
tatapan Lana adalah yang paling tulus. Bagi Lana, buku adalah teman sejati,
tidak pernah melukai. Dengan bebas ia berpetualang, bersukacita memeluk
imajinasi. Bahkan ia sampai tersungkur, terpesona dengan dunia yang ada di
dalam buku, melumat habis setiap kalimat dan maknanya. Gelak tawa memecah
suasana, membunuh dan menghipnotis kesedihan yang bersemayam di dalam hati Lana.
“Ahhhhhh apa salahku? Apalagi salahku
ini? Padahal aku tak pernah jahat pada kalian.” Lagi-lagi Lana berteriak
mengaduh sebab sakit hatinya. Di depan pintu gerbang sekolah, Lana duduk
bersimpuh di samping sepeda gayungnya yang roboh. Ingin sekali membantunya
berdiri, tapi maaf Lana, aku hanyalah benda mati.
“Lana, kenapa kamu, Nak? Siapa yang
sudah jahil padamu? Bilang sama ibu guru!” Salah satu guru perempuan yang
terakhir pulang datang menghampiri Lana, mengajaknya masuk ke dalam kantor
guru. Namanya Bu Indah, guru paruh baya yang baru saja mengajar selama tiga
semester.
“Lana jawab jujur ya, siapa yang sudah
melakukan ini kepadamu?” tanya bu Indah, sembari menyodorkan air mineral
kepada Lana.
Lana mengambil gelas yang berisi air
mineral itu kemudian meminumnya, “Bu, salah Lana apa sih? Lana tidak pernah
mengganggu mereka, kenapa mereka selalu menyakiti Lana?” Bu guru terdiam, tatapannya
terpusat, iba. Lana meminum lagi air di dalam gelas dan melanjutkan ucapannya, “Ini
tidak adil, Bu. Benar-benar tidak adil.” Air matanya kembali tumpah.
“Lana, bicara apa kamu, Nak? Tuhan itu
adil, buktikan kepada mereka suatu hari nanti, bahwa Lana yang selama ini
diremehkan bisa jadi orang yang sukses. Sekarang Lana pulang ya,” tukas Bu Indah
memecah suasana haru.
“Lana tidak bisa pulang seperti ini, Bu.
Lana takut.” Suara Lana sangat berat, ia seperti menggigil oleh dinginnya air
mata.
“Kenapa, Lana?” tanya bu Indah,
penasaran.
“Lana akan dipukul Ayah jika ketahuan
menangis. Ayah sangat disiplin dan selalu memukul Lana. Padahal Lana selalu
berusaha untuk tidak mengecewakan Ayah,” ucap Lana, mengejutkan nurani. Bukan hanya
bu Indah, aku pun dibuatnya haru. Merasakan geram pada kehidupannya.
Bagaimana mungkin seorang Ayah tega melakukan
hal semacam itu. Memang betul bahwa Lana tidak seperti teman-teman di
sekitarnya, dia ... berbeda. Seorang ABK (anak berkebutuhan khusus) yang tengah
berjuang agar diakui oleh teman-temannya.
***
Malam, waktu untuk beradu merintangkan
penat telah berpulang, posisinya digantikan lagi oleh pagi nan mendung. Desember
memang begitu, tak pernah mau tahu, terus menerus menghadirkan hujan. Langit di
bulan ini benar-benar mewakili hatinya, hati Lana yang tengah di hadang kepahitan.
Aku sedikit terkejut, melihat ayah dan
ibu Lana datang menemui bu Indah. Sepertinya mereka akan kembali berbicara
perihal Lana. Ini adalah kali keduanya bu Indah memanggil orang tua Lana. Wajah
bu Indah tampak khawatir, ada sedikit perasaan gunda, meski begitu beliau tetap
tegas untuk mengembalikan Lana kepada kedua orang tuanya.
“Mohon maaf Pak, Bu. Kami tak bisa melanjutkan
untuk mendidik Lana. Bapak dan Ibu tentu tahu bahwa Lana itu berbeda. Bukan
maksud saya jelek tapi Lana akan menderita berada di sini. Saran saya, bawalah
Lana ke sekolah khusus Pak, Bu. Di sana ia tidak akan disakiti oleh
teman-temannya.” Mata bu Indah berkaca-kaca hampir saja meneteskan air mata.
Tentu tak tega, tapi sepertinya itu harus dilakukan oleh bu Indah.
Setelah membicarakan hal itu, bu Indah
juga berkata jujur kepada ayah Lana tentang tindakan pemukulan terhadap Lana.
Bu Indah berharap agar hal itu tak terjadi lagi, mengingat Lana bukanlah bocah
nakal yang harus dipukuli.
Meski aku hanyalah pengamat, tak begitu
berperan. Tapi cukup tahu bagaimana situasi yang terjadi di sekeliling.
Akhirnya Lana, ayah dan ibunya berpamit, Lana pergi meninggalkanku. Tangisnya
tak akan lagi terdengar, tawa riang nan polos, hidung pesek yang kadang
beringus. Ocehan dalam lamunan sesekali ia hadirkan, membuatku terpingkal. Lalu
bagaimana nasib buku-buku dalam perpustakaan tanpanya? Buku-buku itu akan
merindukan sentuhan tangan mungil Lana yang terkadang basah karena keringat.
“Lana, selamat tinggal! Kembalilah
berdiri setelah jatuh, teruslah tersenyum meski tersakiti. Jangan menangis
meski kesedihan berusaha menelisik di sudut hatimu. Teruslah berusaha
mencari arti kehidupan, kemudian kubur dalam-dalam kepahitan yang kamu rasakan. Ingatlah
denganku, tempat yang membuatmu memiliki kenangan,” bisikku kepada Lana yang tak
akan mungkin terjamah.
Cukup bikin haru .
BalasHapusKeren tulisannya kak π
Apalagi milik mbak Ren π
Hapustrenyuh
BalasHapusMakasih krisannya mbak wid π
HapusAnak-anak seperti Lana masih banyak yang tidak mendapat perlakuan serta penanganan yang sesuai. Gak cuma peran sekolah, peran orangtua juga punya andil besar utk mengawal tumbuh kembang mereka.
BalasHapusNice story
setuju
HapusIya mbak betul π
Hapusada Buk Dan Bu, mngkn maksudnya sama-sama ibu ya?
BalasHapusTulisannya keren.
Typo mas..
Hapus