Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Rabu, 13 Desember 2017

Apa Salahku?


Sumber gambar: http://www.glitzmedia.co


“Kenapa aku? Kenapa kalian selalu menjahiliku? Apa salahku pada kalian? Nggak adil, benar-benar nggak adil.” Ia berteriak keras. Air matanya pecah, tumpah begitu deras. Suara isak tangis memburu, dan membunuh sang tawa yang biasanya berpendar.

Tak ada yang hirau, semua yang ada di sekitarnya hanya bisa ternganga, ada pula yang tertawa licik menganggap anak itu aneh dan tak pantas berada di tempat yang setara dengan mereka. Tatapan bersorai, terpejam, kemudian terbelalak tajam kearahnya. Di pagi yang bersimbah tangis ini, dia, anak laki-laki yang biasa di panggil Lana, kembali menuai afeksi. Bukan yang pertama kali, ini sudah yang kesekian sejak langkah kakinya bermuara di dalam diriku.

Dari arah yang berlawanan, seorang guru datang, “Loh ada apa ini? Lana kenapa? Siapa yang sudah jahil padamu, Nak?” Wajah bu guru nampak hawatir meski ini bukanlah yang pertama.

“Siapa dari kalian yang telah jahil pada Lana?” Semua siswa terdiam. Tak ada yang dengan berani mengakui kesalahannya.
“Rio, Bu.”
“Loh kok aku? Bagas tuh.” Mereka hanya bisa saling tuduh tanpa ada yang benar-benar mengakuinya.

Enam puluh menit lebih lima belas, Lana kembali tenang. Wajah lugunya masih menyisakan sedikit warna merah. Suaranya masih diiringi senggukan. Anak laki-laki yang cukup unik dengan kaca mata tebal dan tangan yang selalu membawa buku ini entah bagaimana dunianya di luar sana, selalu membuatku ingin mengintai. Tapi tak mungkin, sebab aku hanyalah benda mati, berdiri tegak sejak berpuluh tahun yang lalu. Menjadi tempat anak-anak menuntut ilmu. Yah, di sinilah mereka semua belajar, di dalam diriku. Bangunan besar yang mau tak mau menjadi saksi mereka dalam belajar, bersaing, bersahabat, dan menemukan jati diri. Tidak sedikit dari mereka yang mencoret-coretiku dengan pensilnya, menuliskan contekan untuk ujian. Dan mereka sangat berisik, tapi sungguh asik menikmati beragam kisah mereka.

Aku telah berdiri bepuluh-puluh tahun dan telah menangkap puluhan bahkan ratusan sepasang mata anak-anak, tapi tatapan Lana adalah yang paling tulus. Bagi Lana, buku adalah teman sejati, tidak pernah melukai. Dengan bebas ia berpetualang, bersukacita memeluk imajinasi. Bahkan ia sampai tersungkur, terpesona dengan dunia yang ada di dalam buku, melumat habis setiap kalimat dan maknanya. Gelak tawa memecah suasana, membunuh dan menghipnotis kesedihan yang bersemayam di dalam hati Lana.

“Ahhhhhh apa salahku? Apalagi salahku ini? Padahal aku tak pernah jahat pada kalian.” Lagi-lagi Lana berteriak mengaduh sebab sakit hatinya. Di depan pintu gerbang sekolah, Lana duduk bersimpuh di samping sepeda gayungnya yang roboh. Ingin sekali membantunya berdiri, tapi maaf Lana, aku hanyalah benda mati.
“Lana, kenapa kamu, Nak? Siapa yang sudah jahil padamu? Bilang sama ibu guru!” Salah satu guru perempuan yang terakhir pulang datang menghampiri Lana, mengajaknya masuk ke dalam kantor guru. Namanya Bu Indah, guru paruh baya yang baru saja mengajar selama tiga semester.

“Lana jawab jujur ya, siapa yang sudah melakukan ini kepadamu?” tanya bu Indah, sembari menyodorkan air mineral kepada Lana.
Lana mengambil gelas yang berisi air mineral itu kemudian meminumnya, “Bu, salah Lana apa sih? Lana tidak pernah mengganggu mereka, kenapa mereka selalu menyakiti Lana?” Bu guru terdiam, tatapannya terpusat, iba. Lana meminum lagi air di dalam gelas dan melanjutkan ucapannya, “Ini tidak adil, Bu. Benar-benar tidak adil.” Air matanya kembali tumpah.

“Lana, bicara apa kamu, Nak? Tuhan itu adil, buktikan kepada mereka suatu hari nanti, bahwa Lana yang selama ini diremehkan bisa jadi orang yang sukses. Sekarang Lana pulang ya,” tukas Bu Indah memecah suasana haru.
“Lana tidak bisa pulang seperti ini, Bu. Lana takut.” Suara Lana sangat berat, ia seperti menggigil oleh dinginnya air mata.
“Kenapa, Lana?” tanya bu Indah, penasaran.
“Lana akan dipukul Ayah jika ketahuan menangis. Ayah sangat disiplin dan selalu memukul Lana. Padahal Lana selalu berusaha untuk tidak mengecewakan Ayah,” ucap Lana, mengejutkan nurani. Bukan hanya bu Indah, aku pun dibuatnya haru. Merasakan geram pada kehidupannya.

Bagaimana mungkin seorang Ayah tega melakukan hal semacam itu. Memang betul bahwa Lana tidak seperti teman-teman di sekitarnya, dia ... berbeda. Seorang ABK (anak berkebutuhan khusus) yang tengah berjuang agar diakui oleh teman-temannya.

***
Malam, waktu untuk beradu merintangkan penat telah berpulang, posisinya digantikan lagi oleh pagi nan mendung. Desember memang begitu, tak pernah mau tahu, terus menerus menghadirkan hujan. Langit di bulan ini benar-benar mewakili hatinya, hati Lana yang tengah di hadang kepahitan.

Aku sedikit terkejut, melihat ayah dan ibu Lana datang menemui bu Indah. Sepertinya mereka akan kembali berbicara perihal Lana. Ini adalah kali keduanya bu Indah memanggil orang tua Lana. Wajah bu Indah tampak khawatir, ada sedikit perasaan gunda, meski begitu beliau tetap tegas untuk mengembalikan Lana kepada kedua orang tuanya.

“Mohon maaf Pak, Bu. Kami tak bisa melanjutkan untuk mendidik Lana. Bapak dan Ibu tentu tahu bahwa Lana itu berbeda. Bukan maksud saya jelek tapi Lana akan menderita berada di sini. Saran saya, bawalah Lana ke sekolah khusus Pak, Bu. Di sana ia tidak akan disakiti oleh teman-temannya.” Mata bu Indah berkaca-kaca hampir saja meneteskan air mata. Tentu tak tega, tapi sepertinya itu harus dilakukan oleh bu Indah.
Setelah membicarakan hal itu, bu Indah juga berkata jujur kepada ayah Lana tentang tindakan pemukulan terhadap Lana. Bu Indah berharap agar hal itu tak terjadi lagi, mengingat Lana bukanlah bocah nakal yang harus dipukuli.

Meski aku hanyalah pengamat, tak begitu berperan. Tapi cukup tahu bagaimana situasi yang terjadi di sekeliling. Akhirnya Lana, ayah dan ibunya berpamit, Lana pergi meninggalkanku. Tangisnya tak akan lagi terdengar, tawa riang nan polos, hidung pesek yang kadang beringus. Ocehan dalam lamunan sesekali ia hadirkan, membuatku terpingkal. Lalu bagaimana nasib buku-buku dalam perpustakaan tanpanya? Buku-buku itu akan merindukan sentuhan tangan mungil Lana yang terkadang basah karena keringat.

“Lana, selamat tinggal! Kembalilah berdiri setelah jatuh, teruslah tersenyum meski tersakiti. Jangan menangis meski kesedihan berusaha menelisik di sudut hatimu. Teruslah berusaha mencari arti kehidupan, kemudian kubur dalam-dalam kepahitan yang kamu rasakan. Ingatlah denganku, tempat yang membuatmu memiliki kenangan,” bisikku kepada Lana yang tak akan mungkin terjamah.

9 komentar:

  1. Cukup bikin haru .
    Keren tulisannya kak πŸ‘

    BalasHapus
  2. Anak-anak seperti Lana masih banyak yang tidak mendapat perlakuan serta penanganan yang sesuai. Gak cuma peran sekolah, peran orangtua juga punya andil besar utk mengawal tumbuh kembang mereka.

    Nice story

    BalasHapus
  3. ada Buk Dan Bu, mngkn maksudnya sama-sama ibu ya?

    Tulisannya keren.

    BalasHapus

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...