Kesibukan yang kualami di kantor tiga hari ini,
benar-benar menyita waktu. Seharusnya pukul 17.00 WIB sudah bersantai sambil
meneguk coklat panas kesukaan, membaca novel, bersenda gurau di dunia maya, dan
masih banyak hal lagi yang selalu kulakukan sebelum waktu
mengajak untuk bercengkrama dalam lelap.
Hari ini adalah malam terakhirku bekerja hingga larut,
bergegas dengan lekas sebelum jarum jam menjemput tengah malam. Taksi yang
biasa kupesan sudah menunggu di depan kantor, dengan segera melaju di tengah
derasnya hujan Desember. Jalanan terlihat begitu silam, hitam, pekat, tak enak
dilihat. Aku ciut, tak kuasa melihat kaca jendela yang bahkan tidak bisa
menembus pendar lampu jalanan.
Situasi kali ini benar-benar telah mengalahkanku.
Menjerat dalam silam hitamnya gradasi. Tubuh telah mencoba berdamai dengan
waktu, tapi hati? Masih bersikukuh memberontak, mengapa waktu terasa lama
sekali.
“Aduhhhh, apa yang terjadi, Pak?” Decit ban berbunyi
keras, tak wajar. Sopir taksi terpaksa berhenti, mengambil payung dan mengecek
ban bagian belakang.
“Sebentar Mbak saya periksa dulu.”
“Aduh Pak, ada-ada saja sih,” sergahku, sebal.
Pak sopir mengetuk jendela tepat di samping tempat
dudukku, “Mbak, bannya bocor, nih. Kita minggir dulu sebentar untuk mengganti
ban.”
“Woi Pak,
yang benar saja? Di sini?” Aku melihat sekeliling.
Rasanya seperti mau mati saja, terdampar di tempat yang tak berkehidupan sama sekali.
“Mbak turun sebentar, ya!”
Aku terpaksa turun, berteduh di depan sebuah bangunan
kosong. Sial banget sih hari ini, empat puluh menit lagi pukul dua belas
pula.
Aku membenci jalanan ini. Sepanjang tiga kilometer
hanya akan menjumpai pepohonan lebat tanpa peradaban manusia. Lebih
mengejutkannya lagi, ada sebuah bangunan di tempat seperti ini. Aku jadi
penasaran, bangunan lusuh yang tidak begitu besar ini dulunya tempat untuk apa.
Ah, memikirkannya saja membuat nyaliku ciut.
Suasana yang membuatku gerah datang perlahan mengambil
alih naluri, resah. Mata yang tadinya tak mau beralih dari jam tangan, kini
mulai menatap tajam ke sekeliling. Gelap, hitam, legam, membutakan, hingga sesak
merujuk. Pohon yang ada tepat di depanku sangat tinggi dan besar. Dedaunan
berserakan, terhanyut derasnya hujan. Rumah lusuh tak berpenghuni dengan pintu
sedikit terbuka kira-kira selebar satu jengkal, tepat berada di belakangku.
Denyut jantungku berdetak begitu keras, dingin serasa
menggigit tulang, sepi menghambar di mana-mana. Sesekali kudengar suara benda
terjatuh dari dalam rumah lusuh itu. Rasanya ingin sekali beranjak, berteriak dan
menangis. Tapi tak bisa kulakukan, karena kaki ini telah tersegel oleh dinginnya hawa yang sangat misterius. Apa, apa yang
harus kulakukan?
“Aaaaaa ... suara apa itu tadi?” Aku berteriak keras, terkejut. Sekali lagi terdengar suara benda jatuh, lebih jelas dari suara sebelumnya. Tolong hentikan! Ingin berlari tapi tak bisa, kakiku masih
begitu berat.
"hemmm ... hem ... hem ... hemmmmm." Suara
lirih bersenandung, sangat lirih dan merdu, mirip sekali dengan irama pengantar tidur.
Siapa? Suara siapa yang sedang bersenandung ini?
Sudah sangat jelas ada yang tak beres dengan rumah ini. Aku mencoba sekuat
tenaga menggerakkan badan dan kaki, melawan gravitasi. Dan berhasil, aku
berhasil melepaskan diri, berlari tanpa sedikit pun menatap ke samping maupun ke
belakang.
“Pak Sopir, ada yang tak beres dengan tempat ini. Ayo
kita pergi dari sini.” Napasku tak beraturan, naik turun seperti mau meledak.
Aku diam sejenak, tapi tak ada jawaban dari pak sopir.
“Pak, Pak Sopir di ... mana? Tolong hentikan lelucon
ini, ini nggak lucu.” Aku mencari-cari pak sopir, tapi tak ada. Di dalam taksi
pun juga tak ada. Lalu? Di mana? Pikiranku kacau, kalut oleh rasa takut yang
tak berkesudahan. Di sini, di tempat ini aku terjebak seorang diri. Apa yang
sebenarnya terjadi? Tangisku pecah begitu keras. Bingung, takut, beradu menjadi
satu.
#Tantangan 3 ODOP
Ikut deg degan
BalasHapusHmm...bagus idenya...
BalasHapusikutan takutttttt
BalasHapusSereeeeemmπ
BalasHapusSaatnya u pingsan saja seketika...biarkan tubuh kaku yang jadi saksi...hahaha...
BalasHapusNgeriiiiii..
BalasHapusKeren
Seremmmm πππππ
BalasHapusIhhh serem banget
BalasHapusSupir taksinya hantu atau diculik hantu?
Tokoh aku nya juga bingung mbak hehe
HapusSuaranya itu tak jelas antara seorang ibu yang sedang berdendang menidurkan anaknya dan menangis merintih sendirian, bagai terhipnotis kaki tak mampu melangkah, tercekat tak bersuara bahkan jantung tak mau berdegup lagi. Lebih dari seram ...
BalasHapusKeren mbak diksinya π
HapusDegdegan π
BalasHapusSereeeem
BalasHapusNulis fiksi juga harus logis ya mbak say :)
BalasHapus1. Kepalaku berputar 180 derajat, melihat sekeliling. = apakah manusia bisa memutar kepalanya 180°? Yang bisa kita lakukan menoleh ke kanan, lalu ke kiri kan?
2. Mata yang tadinya tak mau beralih dari jam tangan, kini mulai menatap tajam 360 derajat. = saya enggak ngerti kalimat ini. 360° itu pandangan yg seperti apa.
3.Rumah lusuh tak berpenghuni dengan pintu sedikit terbuka selebar lima jangkal tangan, tepat berada di belakangku. = dalam suasana gelap dan ketakutan bisa ngukur bukaan pintu kah?
:)
Wah makasih mbak uda di ingatkan itu maunya sejangkal buka dikit aja. Tp nulisnya 5 jangka itu keringat sama jariku ada 5. Haha pdhal bayanganku 1 jangan aja. Krn pasti tahu lah ya sejangkal meski ndak diukur.
Hapus360 derajat itu tolah toleh (bahasa jawa yg artinya lihat kanan kiri)
180 itu maksudnya noleh ke samping aja. Bisa samping kanan atau samping kiri.
π makasih krisannya
Maaf typo, keringat harusnya keingat
HapusMbak Lail, kepala manusia itu cuma bisa tolah-toleh, ndak bisa muter 180°. Tengok kanan itu kira-kira 90°, tengok kiri juga kira-kira 90°. Coba cek lagi deh. 180° itu kira-kira 1/2 lingkaran tho? Apa bisa leher manusia menoleh sampai ke belakang? Kecuali badannya ikut muter ke belakang. Jadi gak bisa kita sebut kepala berputar 180° :)
Hapus