Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Sabtu, 16 Desember 2017

Pemberhentian Terakhir

Sumber gambar : Google.com



Kesibukan yang kualami di kantor tiga hari ini, benar-benar menyita waktu. Seharusnya pukul 17.00 WIB sudah bersantai sambil meneguk coklat panas kesukaan, membaca novel, bersenda gurau di dunia maya, dan masih banyak hal lagi yang selalu kulakukan sebelum waktu mengajak untuk bercengkrama dalam lelap.

Hari ini adalah malam terakhirku bekerja hingga larut, bergegas dengan lekas sebelum jarum jam menjemput tengah malam. Taksi yang biasa kupesan sudah menunggu di depan kantor, dengan segera melaju di tengah derasnya hujan Desember. Jalanan terlihat begitu silam, hitam, pekat, tak enak dilihat. Aku ciut, tak kuasa melihat kaca jendela yang bahkan tidak bisa menembus pendar lampu jalanan.

Situasi kali ini benar-benar telah mengalahkanku. Menjerat dalam silam hitamnya gradasi. Tubuh telah mencoba berdamai dengan waktu, tapi hati? Masih bersikukuh memberontak, mengapa waktu terasa lama sekali.

“Aduhhhh, apa yang terjadi, Pak?” Decit ban berbunyi keras, tak wajar. Sopir taksi terpaksa berhenti, mengambil payung dan mengecek ban bagian belakang.

“Sebentar Mbak saya periksa dulu.”

“Aduh Pak, ada-ada saja sih,” sergahku, sebal.

Pak sopir mengetuk jendela tepat di samping tempat dudukku, “Mbak, bannya bocor, nih. Kita minggir dulu sebentar untuk mengganti ban.”

“Woi Pak, yang benar saja? Di sini?” Aku melihat sekeliling. Rasanya seperti mau mati saja, terdampar di tempat yang tak berkehidupan sama sekali.
“Mbak turun sebentar, ya!”

Aku terpaksa turun, berteduh di depan sebuah bangunan kosong. Sial banget sih hari ini, empat puluh menit lagi pukul dua belas pula.

Aku membenci jalanan ini. Sepanjang tiga kilometer hanya akan menjumpai pepohonan lebat tanpa peradaban manusia. Lebih mengejutkannya lagi, ada sebuah bangunan di tempat seperti ini. Aku jadi penasaran, bangunan lusuh yang tidak begitu besar ini dulunya tempat untuk apa. Ah, memikirkannya saja membuat nyaliku ciut.

Suasana yang membuatku gerah datang perlahan mengambil alih naluri, resah. Mata yang tadinya tak mau beralih dari jam tangan, kini mulai menatap tajam ke sekeliling. Gelap, hitam, legam, membutakan, hingga sesak merujuk. Pohon yang ada tepat di depanku sangat tinggi dan besar. Dedaunan berserakan, terhanyut derasnya hujan. Rumah lusuh tak berpenghuni dengan pintu sedikit terbuka kira-kira selebar satu jengkal, tepat berada di belakangku.

Denyut jantungku berdetak begitu keras, dingin serasa menggigit tulang, sepi menghambar di mana-mana. Sesekali kudengar suara benda terjatuh dari dalam rumah lusuh itu. Rasanya ingin sekali  beranjak, berteriak dan menangis. Tapi tak bisa kulakukan, karena kaki ini telah tersegel oleh dinginnya hawa yang sangat misterius. Apa, apa yang harus kulakukan?

“Aaaaaa ... suara apa itu tadi?” Aku berteriak keras, terkejut. Sekali lagi terdengar suara benda jatuh, lebih jelas dari suara sebelumnya. Tolong hentikan! Ingin berlari tapi tak bisa, kakiku masih begitu berat.

"hemmm ... hem ... hem ... hemmmmm." Suara lirih bersenandung, sangat lirih dan merdu, mirip sekali dengan irama pengantar tidur.

Siapa? Suara siapa yang sedang bersenandung ini? Sudah sangat jelas ada yang tak beres dengan rumah ini. Aku mencoba sekuat tenaga menggerakkan badan dan kaki, melawan gravitasi. Dan berhasil, aku berhasil melepaskan diri, berlari tanpa sedikit pun menatap ke samping maupun ke belakang.

“Pak Sopir, ada yang tak beres dengan tempat ini. Ayo kita pergi dari sini.” Napasku tak beraturan, naik turun seperti mau meledak. Aku diam sejenak, tapi tak ada jawaban dari pak sopir.

“Pak, Pak Sopir di ... mana? Tolong hentikan lelucon ini, ini nggak lucu.” Aku mencari-cari pak sopir, tapi tak ada. Di dalam taksi pun juga tak ada. Lalu? Di mana? Pikiranku kacau, kalut oleh rasa takut yang tak berkesudahan. Di sini, di tempat ini aku terjebak seorang diri. Apa yang sebenarnya terjadi? Tangisku pecah begitu keras. Bingung, takut, beradu menjadi satu.


#Tantangan 3 ODOP

17 komentar:

  1. Saatnya u pingsan saja seketika...biarkan tubuh kaku yang jadi saksi...hahaha...

    BalasHapus
  2. Seremmmm πŸ™ˆπŸ™ˆπŸ™ˆπŸ™ˆπŸ™ˆ

    BalasHapus
  3. Ihhh serem banget
    Supir taksinya hantu atau diculik hantu?

    BalasHapus
  4. Suaranya itu tak jelas antara seorang ibu yang sedang berdendang menidurkan anaknya dan menangis merintih sendirian, bagai terhipnotis kaki tak mampu melangkah, tercekat tak bersuara bahkan jantung tak mau berdegup lagi. Lebih dari seram ...

    BalasHapus
  5. Nulis fiksi juga harus logis ya mbak say :)

    1. Kepalaku berputar 180 derajat, melihat sekeliling. = apakah manusia bisa memutar kepalanya 180°? Yang bisa kita lakukan menoleh ke kanan, lalu ke kiri kan?

    2. Mata yang tadinya tak mau beralih dari jam tangan, kini mulai menatap tajam 360 derajat. = saya enggak ngerti kalimat ini. 360° itu pandangan yg seperti apa.

    3.Rumah lusuh tak berpenghuni dengan pintu sedikit terbuka selebar lima jangkal tangan, tepat berada di belakangku. = dalam suasana gelap dan ketakutan bisa ngukur bukaan pintu kah?

    :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah makasih mbak uda di ingatkan itu maunya sejangkal buka dikit aja. Tp nulisnya 5 jangka itu keringat sama jariku ada 5. Haha pdhal bayanganku 1 jangan aja. Krn pasti tahu lah ya sejangkal meski ndak diukur.

      360 derajat itu tolah toleh (bahasa jawa yg artinya lihat kanan kiri)

      180 itu maksudnya noleh ke samping aja. Bisa samping kanan atau samping kiri.

      😊 makasih krisannya

      Hapus
    2. Maaf typo, keringat harusnya keingat

      Hapus
    3. Mbak Lail, kepala manusia itu cuma bisa tolah-toleh, ndak bisa muter 180°. Tengok kanan itu kira-kira 90°, tengok kiri juga kira-kira 90°. Coba cek lagi deh. 180° itu kira-kira 1/2 lingkaran tho? Apa bisa leher manusia menoleh sampai ke belakang? Kecuali badannya ikut muter ke belakang. Jadi gak bisa kita sebut kepala berputar 180° :)

      Hapus

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...