Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Minggu, 24 Desember 2017

Penyihir (Part 2)





“Luna tidak bisa datang?” tukasnya, mengagetkanku.

“Eh, iya Kak. Dia ditahan Bu Heni. Maaf ya, Kak.” Aku benar-benar gugup.

“Berikan ini padanya!” Kak Alan menyodorkan selembar kertas gambar padaku. Tatapannya masih saja dingin, benar-benar mirip sama tokoh di dalam komik.

Setelah kak Alan membalikkan badan dan pergi, aku membuka selembar kertas gambar itu. Terpesona, sekali lagi mata ini telah dibutakan oleh pesona goresan pensilnya. Padahal ini bukan untukku, ini milik Luna.

***

Mendung hadir mengawal pagi, nuansa yang begitu menjengkelkan. Serasa digantung oleh cuaca. Angin mulai risau, seperti hatiku yang kian terpikat oleh sesuatu yang tak mungkin bisa tersampaikan. Dekat senyum dinginnya sore lalu, membentur, menerpa, dan terus saja menggerogoti pikiran. Menuklik ke dalam hati melebihi kecepatan cahaya dalam ruang vakum. Benar-benar sangat cepat. Membuatku tak tenang.

Di dalam ruang kelas yang dua belas menit lagi akan dimulai pelajaran, aku memberikan gambar yang kak Alan berikan kemarin kepada Luna, “Nih, dari kak Alan.”

“Aaa ... makasih, Lail.” Luna mendekap gambar kak Alan, wajahnya sumringah bahagia.

“Sini Lihat! Wahhhh bagusnya.” Mulut Ema dan Indah menganga, binarnya menatap tajam gambar kak Alan. Sepertinya bukan hanya aku saja yang tersihir oleh gambarnya.

Pagi ini kami belajar matematika dan kewirausahaan, dengan khidmat kami mengikuti pelajaran. Sesekali aku menoleh ke belakang, memarahi Luna yang sedari tadi bisik-bisik dengan Runi. Ah, ya sudahlah namanya juga baru pacaran. Apalagi cowoknya itu kak Alan. Semua juga tahu kalau kak Alan itu tampan. Luna benar-benar beruntung.

Bel istirahat berbunyi, biasanya kami ke kantin bersama. Tapi kali ini aku tak ikut, “Aku nggak ikut, ya. Mau ke perpus balikin buku.”

“Kalau sudah selesai dan belum jam masuk, nanti kamu nyusul ke kantin, ya!” pinta Luna.

Jalan kami berlawanan arah, mereka turun ke lantai satu. Sedangkan aku bergegas menuju perpustakaan dengan sedikit berlari. Ingin cepat-cepat mengembalikan buku ini dan bergabung dengan teman-teman. Mengejutkan, aku terjerembap jatuh menabrak seseorang yang kebetulan keluar dari ruang kelas tiga. Kak Alan?

Kak Alan terhuyung dua langkah ke belakang, “Lain kali hati-hati!” Tiba-tiba kak Alan mengulurkan tangannya kepadaku. Ingin sekali kugapai tangannya itu, tapi ... begitu takut.

Aku memutuskan untuk berdiri sendiri, bersikap tak acuh dengan uluran tangan kak Alan yang bermaksud membantu. Wajahku memerah, tak berani beradu mata dengan kak Alan. Jantung berdetak begitu kencang. Duh ... kenapa harus bertabrakan dengan Kak Alan segala, sih.

“Kamu nggak papa?” tanya kak Alan,  tanpa ekspresi. Sikapnya sunguh dingin.

Sejenak aku melirik kak Alan, lalu kembali tertunduk. Sangat malu, benar-benar mirip dengan kejadian di salah satu komik anime yang kubaca. Sebelum kak Alan mendengar detak jantung yang begitu kencang ini, aku berlari tanpa mengatakan maaf padanya.

Ah, kalau begini aku jadi seperti tokoh antagonis saja. Membiarkan wajah memerah dan jantung berdetak kencang, tanpa memikirkan perasaan Luna. Tak hanya terpikat oleh gambarnya saja, perasaan aneh yang baru pertama kali muncul ini adalah rasa suka. Entah sejak kapan. Sepertinya telah tersihir olehnya, oleh tatapannya.

Debarku masih begitu riuh, tak sanggup mengontrolnya. Perasaan suka ini telah menjalar. Ah, bodoh ... apa yang harus kulakukan?

“Lail, sedang apa kamu?” Gema suara yang tak asing, lagi-lagi menyentakku.

“Hei, Luna.” Aku mengambil napas panjang lalu mengembuskannya.

“Kamu kenapa? Kok kayak habis lari-lari gitu?” tanya Luna, penasaran.

“Nggak papa, Lun. Habis bertemu penyihir tadi, makanya langsung lari. Yuk balik ke kelas!” Luna mengerutkan dahinya, seperti tak puas dengan jawabanku. Senyuman tipis kusuguhkan untuk menanggapi ekspresi Luna. Kemudian menggandeng lengan dan mengajaknya masuk ke dalam kelas.

Sudahlah, mungkin aku hanya nge-fans, tidak lebih. Jadi biarkan rasa ini tersimpan rapat-rapat agar tak siapa pun tahu. Setidaknya untuk terus menjaga persahabatan. Karana percuma juga meski kuungkapkan, karena aku tak akan pernah memutuskan untuk berpacaran.

-Tamat-

#Tantangan ODOP 5
#Cinta Pertama

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...