Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Selasa, 26 Desember 2017

Apa Arti Hidupku?


Sumber gambar : pinterest

Sampailah aku di ujung jalan yang menyayat. Patah, karam, atmaku dilumat waktu. Hancur, tanpa ampun. Ah, sungguh tragis. Berharap tetap tegak. Mampukah? Aku selalu terperanjat, ketika menatap mereka yang mampu bersembunyi dari hal ihwal, mereka yang mengembara tanpa beban. Aku hanya menyerana tak jelas. Tersegel dalam ilusi yang mengikat.

Gelap, kelam, silam, aku terkatung-katung di dalamnya. Terpaku oleh usangnya masa lalu yang terpantul tanpa menyisakan belas kasih. Aku harus apa? Tolonglah! Datang dan beri sedikit kekuatan. Ingin berdiri tegak pada pendirian, tapi mana bisa? Harapan saja tak berpihak padaku. Lihat ... ! Bahkan, cahaya juga ikut mencerca dalam lirih, datang bersilir-silir menerobos udara hingga sampai ke telinga. Kejam!

Lalu? Apalah arti hidupku jika begini? Raga terasa kelu. Semakin patah, terbengkelai di ruang vakum. Tak perlu kauberi makan aku, pasti hidup pun tetap berlanjut. Cukup beri sedikit harapan. Sedikit saja, tak masalah.

Harapan memberontak, menjauh meninggalkan kata “kita”. Terpisah menjadi dua kata, “aku dan kamu”

Berusaha menggapai, hingga akhirnya aku menemukanmu. Menemukan sedikit harapan. Kudekati lalu menyapanya. Tapi, lagi-lagi kausedang berpaling.

Lalu? Untuk apa aku hidup?

“Abel, bangun! Sampai kapan kamu mau tidur?” Teriakan seseorang membangunkanku.

“Ah, Syifa? Ternyata kamu? Syukurlah ternyata aku hanya bermimpi?” tangan kananku mengelus dada, merasa lega.

“Mimpi apa kamu sampai nangis gitu?” tanya Syifa, penasaran.

“Mimpi hidupku berada dalam fase klimaks,” jawabku. Gelisah masih melambai-lambai bahkan setelah kuterbangun.

“Hah ... apa?” tanya Syifa, tak paham dengan apa yang kukatakan.

“Entahlah ...” Aku diam sejenak, berasa dibuat bingung oleh sang mimpi. Mengusap-usap kedua mata, “Eh, bukannya kamu mau nraktir aku makan, ya?” lanjutku, mengalihkan pembicaraan.

“Iya, tapi kamu malah tidur.” Sahabatku ini mengernyitkan dahi, bibirnya manyun. Membuat pipi tembemnya semakin terlihat mirip bakpau.

3 komentar:

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...