Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Sabtu, 02 Desember 2017

Nyanyian dari Surga (bagian 13)



-Kembali pada Mama dan Papa-
“Badan Nay, masih panas, Buk” Asma memegang keningku.
“Nay istirahat di rumah dulu ya, nanti biar Asma yang menelpon ke resto untuk meminta izin” ucap ibuk.
“Nay saja yang telepone, Buk. Kalau Cuma telepone saja Nay masih kuat. Asma lekaslah berangkat dan Ibuk lekas lanjutkan aktivitasnya! Nay masih sanggup berjalan untuk ambil makan maupun ke kamar mandi, Buk.” Aku istirahat bukan karena badanku yang demam, namun hatiku yang terlanjur sakit karena sesal ini, telah menjadi penghalang antara Asma dan Fahri.
Asma kembali melakukan aktivitasnya, sedangkan ibuk lanjut membuat kue yang dipesan oleh toko-toko yang sudah berlangganan pada ibuk. Sekilas teringat, semalam handphone terus saja bergetar, perlahan aku bangun dari tempat tidur dan mengecek hp. Ternyata papalah yang menelpon semalam. Karena ini adalah hal yang diluar kebiasaan. Kuputuskan untuk menelpon balik papa.
“Papa, maaf Nay sakit jadi tidak bisa mengangkat telepone dari Papa semalam.”
“Kamu ini benar-benar sudah tak peduli lagi pada kami? Segeralah ke RS Mitra, Mama-mu sedang di rawat karena mencoba untuk bunuh diri.”
“Astaghfirullah, iya Pa. Nay segera ke sana. Nay tutup dulu teleponnya.”
Tidak ada siapa pun di rumah. Karena panik, aku hanya menulis pada selembar kertas yang kemudian kutempel di pintu kulkas, sebuah pesan untuk ibuk, ‘Nay ada keperluan penting, Nay akan segera pulang’.
Setibanya di Rumah Sakit Mitra, mama sudah terbaring di ruang kelas satu dengan infus di tangan kanannya. Wajahnya sangat pucat, di tangan kirinya ada perban yang melingkar. Rupanya mama hendak memotong pembuluh nadinya.
Assalamualaikum, Mama ... Mama kenapa? Bunuh diri itu dosa besar, Ma” Aku menggenggam tangan mama dan menciuminya.
“Mama sudah tidak memiliki harga diri sebagai orang tua lagi, untuk apa Mama hidup? Nay tidak lagi menghormati Mama sebagai orang tua. Cepat atau lambat, kamu pasti akan melihat mayat Mama yang terbujur kaku.”
“Ma, sudah cukup. Nay sekarang ada di sini.”
“Pulanglah, jika ada Nay di sisih Mama, pasti Mama tidak akan bunuh diri” Suara mama parau. Membuatku sangat hawatir.
Apa yang dikatakan Mama memang benar, sudah tugas seorang anak untuk menjaga mamanya dan terus berada di sisihnya, apalagi saat ini mama sangat membutuhkanku. Setelah mama tertidur, aku mengambil air wudlu dan sholat memantapkan hati untuk segera membicarakan hal ini kepada Asma dan ibuk.
“Papa, Nay pulang ke rumah Ibuk dulu. Nay harus bicara pelan-pelan dengan mereka. In syaa Allah besok Nay akan berkemas dan menemani Mama sampai Mama sembuh”
“Tidak mungkin, sekali Nay meninggalkan kami, Mama pasti akan mencoba bunuh diri lagi.”
Satu masalah belum bisa teratasi, kenapa muncul lagi masalah yang jelas akan sangat tidak mudah untuk kuatasi. Kembali lagi ke rumah mewah itu tanpa ibuk dan Asma. Takut sekali rasanya, takut jika hari-hariku nanti akan bergulir seperti malam yang tak berkesudahan. Kaki terasa ngilu, begitu berat untuk melangkah. Namun aku harus tetap melangkah, meski perjalanan nantinya akan sangat menyiksa. Tak mau melarikan diri dan kuberanikan untuk mengatakan semua yang terjadi hari ini kepada ibuk dan Asma.
Tentu saja mereka sangat sedih mendengar bahwa aku akan kembali ke rumah tanpa mereka. Tapi mendengar bahwa mama mencoba untuk bunuh diri, mau tak mau mereka harus rela.
“Jujur saja, Ibuk sangat sedih melepas Nay” Suara ibuk parau, air mata mulai merebak perlahan.
“Nay, jaga diri ya. Jangan lupa mampir ke sini dan kita tetap akan bertemu di kampus, kan?” Wajah cantik Asma dibasahi oleh air mata. Jelas aku akan sangat merindukan saudaraku ini. Suara lembutnya, senyum manis yang mampu memikat siapa pun yang menatap, hidungnya yang mancung seperti orang Arab, dan bibir mungil yang asli berwarna merah muda. Tuhan betapa sempurnanya wanita ini.
“Nay pamit dulu, assalamualaikum” Dan begitulah, aku melangkah jauh dengan perasaan bagai disayat.
Entah harus dengan kalimat apa kukata, beginilah takdir. Memisahkan dengan mama dan bertemu ibuk. Kemudian kembali mempertemukan dengan mama dan memisahkanku dengan ibuk. Sungguh memilukan. Waktu telah berlalu cukup lama dan aku akan selalu berusaha untuk tak menyia-nyiakannya, meski kelak mata mama dan papa kembali menatap tajam dan berkata, “Kembalilah, ikuti semua aturan-aturan kami!”

***

Yang teramat kutakutkan, telah terjadi. Mama dan papa dengan ideologi mutlaknya telah memaksaku untuk melepas hijab dengan berbagai macam ancaman. Tentu saja tak akan mudah bagi mereka untuk membuatku melepas hijab. Namun, mama kembali dengan aksi bunuh dirinya. Kali ini bukan tangan lagi yang disayat dengan pisau. Mama meminum sebuah racun dan harus dirawat inap hingga 15 hari. Alasannya masih sama, mama malu dengan semua keluarganya jika mereka tahu bahwa anaknya telah melecehkan agama dan keluarganya.
Lusa adalah Hari Natal, semua keluarga akan berkumpul. Mama tak mau melihat hijabku lagi. Saat ini, di ruang tamu sedang duduk bersama mama dan papa.
“Apa kamu masih mau menyiksa Mama setelah semua yang terjadi ini?” hardik papa.
“Nay ...?” Mama menatapku. Mata kami saling beradu, seperti sedang berlomba, wajah melas siapakah yang akan menang.
“Nay sangat pusing Ma, Pa. Nay kembali dulu ke kamar” Aku terus menahan isak tangis yang sejak tadi ingin meledak. Sejak aturan mama dan papa tentang larangan berhijab dikeluarkan, perut semakin menolak terisi berbagai macam makanan, tubuh semakin kurus, bibir pucat seperti mayat. Entah seberapa egois hingga mereka tak pernah mau tahu tentang apa yang sedang terjadi kepadaku.
“Tetap di sini, kami sedang berbicara padamu” Papa membentak begitu keras, seperti sedang memarahi bawahannya yang salah dalam memperhitungkan keuntungan perusahaan. Sontak, langkah kaki yang hendak membawaku kembali ke dalam kamar ini terhenti.
“Selamat Ma, Pa ... kalianlah pemenangnya. Selamat telah berhasil menyiksa batin darah daging kalian sendiri” Aku diam, mengambil jeda untuk menahan ledakan tangis, “Selamat telah membuat Nay takut setengah mati. Nay takut kehilangan Mama dengan cara yang salah. Nay takut jika kelak menyesal karena telah membuat Mama bunuh diri. Nay mencintai kalian. Tapi ... ah sudahlah, selamat kalian menang.” Langkahku kembali bergerak, melangkah menuju kamar.
Aku terbaring lemah, entah apa yang sedang terjadi. Pandanganku mulai samar, perut bagian atas terasa begitu nyeri tapi sama sekali tak merasa lapar. Badan demam dan menggigil. Mungkin ini adalah sebab terlalu stres.

***

“Selamat hari Natal ...” Semua meneriakkan kata-kata itu. Saat ini semua keluarga pihak papa sedang berkumpul di rumahku. Nenek dan kakek pihak papa telah meninggal. Sedangkan keluarga mama sebagian besar ada di Australi. Di sanalah mama dibesarkan. Jadi dengan keluarga pihak mama hanya bisa bertelegram atau by email.
Malam ini rumah sangat ramai. Banyak sekali makanan, baik dari jenis makanan ringan sampai makanan berat seperti steak, keju, burger, pizza dan lain-lain, di letakkan di meja panjang dan ditata dengan teramat rapi. Di sebelah kanan, ada meja kecil, di situ tertata beberapa jenis wine, seperti Bordeaux, Ice Wine, Champagne dan Moscato. Minuman-minuman itu dulunya adalah kesukaanku, tapi tidak untuk sekarang. Pohon natal dan berbagai hadiah berada di tengah-tengah kami. Semua menyapa, tapi aku hanya duduk lemah di pojokan sebab demam yang sedang merajuk tubuh. Rambut tergerai pendek, memakai switer dan rok panjang. Sesuai janjiku pada mama.
“Nay, kamu terlihat pucat, mata kamu juga tidak lagi putih. Kamu kenapa, sayang?” tanya tante Mira, adik papa.
“Nay sakit tante” Suaraku melemah.
“Kembalilah ke kamar, Nay!” pinta tante.
“Iya tante, terima kasih” Aku kembali ke kamar. Membuka leptop, hendak menulis email panjang untuk Asma, meminta maaf padanya karena telah mengabaikan chatt dan telepone-nya, serta tak memberi kabar mengapa aku masih belum masuk kuliah setelah dua bulan pergi dari rumah ibuk.
Assalamualaikum Asma, saudara yang teramat kucintai.
Pertama-tama izinkanlah aku meminta maaf, karena tak membalas chatt juga telepone darimu. Nay tidak sedang membenci maupun menjauh dari Asma dan ibuk. Hanya saja Nay sedang mengalami masa-masa sulit saat ini. Nay dipaksa oleh mama dan papa meninggalkan Islam. Mau tak mau, harus Nay lakukan agar mama tak bunuh diri karena perbuatan anaknya yang selalu membantah. Tapi, Asma dan ibuk tenang saja, Nay tidak benar-benar meninggalkan Islam. Semua hanya berpura-pura. Percayalah ... dan berikan waktu pada Nay untuk menyelesaikan hal-hal yang sedang terjadi saat ini.

Asma, untuk kali keduanya Nay minta maaf perihal Fahri. Menikahlah dengannya, dia mencintai Asma. Cinta adalah sebuah hal yang fitrah, tapi hal itu juga dapat menjadi bencana. Bahagia di atas derita saudara yang teramat kucintai. Bagaimana mungkin? Bagiku kamu sudah seperti ‘Fairy Good Mother’. Perihal rindu dan cinta, jika semuanya menjadi milikku, maka egois namanya. Sebab dibanding Nay, Asma lah yang lebih berharga untuknya ... untuk Fahri.
Fahri adalah sebuah kisah yang salah untuk Nay. Menyakiti Asma adalah rasa sakit jika dibanding rasaku sendiri yang tak berbalas. Mengertilah, kebahagiaanku adalah senyuman saudara yang teramat kucintai.

Wassalamualaikum.”

Kutekan tombol sent. Badan tiba-tiba terasa berat, panas tinggi ini enggan meninggalkan tubuh, semakin menyiksa. Menyiksa hingga aku tak mampu lagi berdiri. Gelap, kenapa semua berubah menjadi gelap.

***
-bersambung-

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...