-Kembali pada Mama
dan Papa-
“Badan
Nay, masih panas, Buk” Asma memegang keningku.
“Nay
istirahat di rumah dulu ya, nanti biar Asma yang menelpon ke resto untuk
meminta izin” ucap ibuk.
“Nay
saja yang telepone, Buk. Kalau Cuma telepone saja Nay masih kuat. Asma lekaslah
berangkat dan Ibuk lekas lanjutkan aktivitasnya! Nay masih sanggup berjalan
untuk ambil makan maupun ke kamar mandi, Buk.” Aku istirahat bukan karena
badanku yang demam, namun hatiku yang terlanjur sakit karena sesal ini, telah
menjadi penghalang antara Asma dan Fahri.
Asma
kembali melakukan aktivitasnya, sedangkan ibuk lanjut membuat kue yang dipesan
oleh toko-toko yang sudah berlangganan pada ibuk. Sekilas teringat, semalam handphone terus saja bergetar, perlahan aku
bangun dari tempat tidur dan mengecek hp. Ternyata papalah yang menelpon semalam.
Karena ini adalah hal yang diluar kebiasaan. Kuputuskan untuk menelpon balik papa.
“Papa,
maaf Nay sakit jadi tidak bisa mengangkat telepone dari Papa semalam.”
“Kamu
ini benar-benar sudah tak peduli lagi pada kami? Segeralah ke RS Mitra, Mama-mu
sedang di rawat karena mencoba untuk bunuh diri.”
“Astaghfirullah,
iya Pa. Nay segera ke sana. Nay tutup dulu teleponnya.”
Tidak
ada siapa pun di rumah. Karena panik, aku hanya menulis pada selembar kertas
yang kemudian kutempel di pintu kulkas, sebuah pesan untuk ibuk, ‘Nay ada keperluan penting, Nay akan segera
pulang’.
Setibanya
di Rumah Sakit Mitra, mama sudah terbaring di ruang kelas satu dengan infus di
tangan kanannya. Wajahnya sangat pucat, di tangan kirinya ada perban yang
melingkar. Rupanya mama hendak memotong pembuluh nadinya.
“Assalamualaikum, Mama ... Mama kenapa?
Bunuh diri itu dosa besar, Ma” Aku menggenggam tangan mama dan menciuminya.
“Mama
sudah tidak memiliki harga diri sebagai orang tua lagi, untuk apa Mama hidup?
Nay tidak lagi menghormati Mama sebagai orang tua. Cepat atau lambat, kamu
pasti akan melihat mayat Mama yang terbujur kaku.”
“Ma,
sudah cukup. Nay sekarang ada di sini.”
“Pulanglah,
jika ada Nay di sisih Mama, pasti Mama tidak akan bunuh diri” Suara mama parau.
Membuatku sangat hawatir.
Apa
yang dikatakan Mama memang benar, sudah tugas seorang anak untuk menjaga mamanya
dan terus berada di sisihnya, apalagi saat ini mama sangat membutuhkanku. Setelah
mama tertidur, aku mengambil air wudlu dan sholat memantapkan hati untuk segera
membicarakan hal ini kepada Asma dan ibuk.
“Papa,
Nay pulang ke rumah Ibuk dulu. Nay harus bicara pelan-pelan dengan mereka. In syaa Allah besok Nay akan berkemas
dan menemani Mama sampai Mama sembuh”
“Tidak
mungkin, sekali Nay meninggalkan kami, Mama pasti akan mencoba bunuh diri
lagi.”
Satu
masalah belum bisa teratasi, kenapa muncul lagi masalah yang jelas akan sangat tidak
mudah untuk kuatasi. Kembali lagi ke rumah mewah itu tanpa ibuk dan Asma. Takut
sekali rasanya, takut jika hari-hariku nanti akan bergulir seperti malam yang
tak berkesudahan. Kaki terasa ngilu, begitu berat untuk melangkah. Namun aku
harus tetap melangkah, meski perjalanan nantinya akan sangat menyiksa. Tak mau
melarikan diri dan kuberanikan untuk mengatakan semua yang terjadi hari ini
kepada ibuk dan Asma.
Tentu
saja mereka sangat sedih mendengar bahwa aku akan kembali ke rumah tanpa mereka.
Tapi mendengar bahwa mama mencoba untuk bunuh diri, mau tak mau mereka harus rela.
“Jujur
saja, Ibuk sangat sedih melepas Nay” Suara ibuk parau, air mata mulai merebak
perlahan.
“Nay,
jaga diri ya. Jangan lupa mampir ke sini dan kita tetap akan bertemu di kampus,
kan?” Wajah cantik Asma dibasahi oleh air mata. Jelas aku akan sangat
merindukan saudaraku ini. Suara lembutnya, senyum manis yang mampu memikat
siapa pun yang menatap, hidungnya yang mancung seperti orang Arab, dan bibir
mungil yang asli berwarna merah muda. Tuhan betapa sempurnanya wanita ini.
“Nay
pamit dulu, assalamualaikum” Dan
begitulah, aku melangkah jauh dengan perasaan bagai disayat.
Entah
harus dengan kalimat apa kukata, beginilah takdir. Memisahkan dengan mama dan
bertemu ibuk. Kemudian kembali mempertemukan dengan mama dan memisahkanku
dengan ibuk. Sungguh memilukan. Waktu telah berlalu cukup lama dan aku akan
selalu berusaha untuk tak menyia-nyiakannya, meski kelak mata mama dan papa
kembali menatap tajam dan berkata, “Kembalilah, ikuti semua aturan-aturan kami!”
***
Yang
teramat kutakutkan, telah terjadi. Mama dan papa dengan ideologi mutlaknya
telah memaksaku untuk melepas hijab dengan berbagai macam ancaman. Tentu saja tak
akan mudah bagi mereka untuk membuatku melepas hijab. Namun, mama kembali
dengan aksi bunuh dirinya. Kali ini bukan tangan lagi yang disayat dengan
pisau. Mama meminum sebuah racun dan harus dirawat inap hingga 15 hari. Alasannya
masih sama, mama malu dengan semua keluarganya jika mereka tahu bahwa anaknya
telah melecehkan agama dan keluarganya.
Lusa
adalah Hari Natal, semua keluarga akan berkumpul. Mama tak mau melihat hijabku
lagi. Saat ini, di ruang tamu sedang duduk bersama mama dan papa.
“Apa
kamu masih mau menyiksa Mama setelah semua yang terjadi ini?” hardik papa.
“Nay
...?” Mama menatapku. Mata kami saling beradu, seperti sedang berlomba, wajah melas
siapakah yang akan menang.
“Nay
sangat pusing Ma, Pa. Nay kembali dulu ke kamar” Aku terus menahan isak tangis
yang sejak tadi ingin meledak. Sejak aturan mama dan papa tentang larangan
berhijab dikeluarkan, perut semakin menolak terisi berbagai macam makanan,
tubuh semakin kurus, bibir pucat seperti mayat. Entah seberapa egois hingga
mereka tak pernah mau tahu tentang apa yang sedang terjadi kepadaku.
“Tetap
di sini, kami sedang berbicara padamu” Papa membentak begitu keras, seperti
sedang memarahi bawahannya yang salah dalam memperhitungkan keuntungan
perusahaan. Sontak, langkah kaki yang hendak membawaku kembali ke dalam kamar ini
terhenti.
“Selamat
Ma, Pa ... kalianlah pemenangnya. Selamat telah berhasil menyiksa batin darah
daging kalian sendiri” Aku diam, mengambil jeda untuk menahan ledakan tangis, “Selamat
telah membuat Nay takut setengah mati. Nay takut kehilangan Mama dengan cara
yang salah. Nay takut jika kelak menyesal karena telah membuat Mama bunuh diri.
Nay mencintai kalian. Tapi ... ah sudahlah, selamat kalian menang.” Langkahku
kembali bergerak, melangkah menuju kamar.
Aku
terbaring lemah, entah apa yang sedang terjadi. Pandanganku mulai samar, perut
bagian atas terasa begitu nyeri tapi sama sekali tak merasa lapar. Badan demam
dan menggigil. Mungkin ini adalah sebab terlalu stres.
***
“Selamat
hari Natal ...” Semua meneriakkan kata-kata itu. Saat ini semua keluarga pihak papa
sedang berkumpul di rumahku. Nenek dan kakek pihak papa telah meninggal. Sedangkan
keluarga mama sebagian besar ada di Australi. Di sanalah mama dibesarkan. Jadi
dengan keluarga pihak mama hanya bisa bertelegram atau by email.
Malam
ini rumah sangat ramai. Banyak sekali makanan, baik dari jenis makanan ringan
sampai makanan berat seperti steak,
keju, burger, pizza dan lain-lain, di letakkan di meja panjang dan ditata
dengan teramat rapi. Di sebelah kanan, ada meja kecil, di situ tertata beberapa
jenis wine, seperti Bordeaux, Ice Wine, Champagne dan Moscato. Minuman-minuman
itu dulunya adalah kesukaanku, tapi tidak untuk sekarang. Pohon natal dan
berbagai hadiah berada di tengah-tengah kami. Semua menyapa, tapi aku hanya
duduk lemah di pojokan sebab demam yang sedang merajuk tubuh. Rambut tergerai
pendek, memakai switer dan rok panjang. Sesuai janjiku pada mama.
“Nay,
kamu terlihat pucat, mata kamu juga tidak lagi putih. Kamu kenapa, sayang?”
tanya tante Mira, adik papa.
“Nay
sakit tante” Suaraku melemah.
“Kembalilah
ke kamar, Nay!” pinta tante.
“Iya
tante, terima kasih” Aku kembali ke kamar. Membuka leptop, hendak menulis email
panjang untuk Asma, meminta maaf padanya karena telah mengabaikan chatt dan telepone-nya, serta tak
memberi kabar mengapa aku masih belum masuk kuliah setelah dua bulan pergi dari
rumah ibuk.
“Assalamualaikum Asma, saudara yang teramat
kucintai.
Pertama-tama
izinkanlah aku meminta maaf, karena tak membalas chatt juga telepone darimu. Nay
tidak sedang membenci maupun menjauh dari Asma dan ibuk. Hanya saja Nay sedang
mengalami masa-masa sulit saat ini. Nay dipaksa oleh mama dan papa meninggalkan
Islam. Mau tak mau, harus Nay lakukan agar mama tak bunuh diri karena perbuatan
anaknya yang selalu membantah. Tapi, Asma dan ibuk tenang saja, Nay tidak
benar-benar meninggalkan Islam. Semua hanya berpura-pura. Percayalah ... dan
berikan waktu pada Nay untuk menyelesaikan hal-hal yang sedang terjadi saat
ini.
Asma, untuk
kali keduanya Nay minta maaf perihal Fahri. Menikahlah dengannya, dia mencintai
Asma. Cinta adalah sebuah hal yang fitrah, tapi hal itu juga dapat menjadi
bencana. Bahagia di atas derita saudara yang teramat kucintai. Bagaimana
mungkin? Bagiku kamu sudah seperti ‘Fairy Good Mother’. Perihal rindu dan
cinta, jika semuanya menjadi milikku, maka egois namanya. Sebab dibanding Nay,
Asma lah yang lebih berharga untuknya ... untuk Fahri.
Fahri adalah
sebuah kisah yang salah untuk Nay. Menyakiti Asma adalah rasa sakit jika
dibanding rasaku sendiri yang tak berbalas. Mengertilah, kebahagiaanku adalah
senyuman saudara yang teramat kucintai.
Wassalamualaikum.”
Kutekan
tombol sent. Badan tiba-tiba terasa
berat, panas tinggi ini enggan meninggalkan tubuh, semakin menyiksa. Menyiksa
hingga aku tak mampu lagi berdiri. Gelap, kenapa semua berubah menjadi gelap.
***
-bersambung-
-bersambung-
0 komentar:
Posting Komentar