Sumber gambar : https://i0.wp.com/
“Berapa
sih harga sebuah kenangan itu? Biar kubeli,” Mataku terbelalak, binarnya tajam
menatap ke arahmu.
Kamu
diam sejenak, mengernyitkan dahi, memainkan mata, menatap ke atas, bawah,
kanan, dan kiri.
“Hmmm,
ya tergantung,” jawabmu, singkat.
“Kamu,
apaan sih, serius dong kalau jawab,” tanyaku lagi, tak puas.
Kamu
menatap tajam, jarak tatapan kita hanya dua jangkal. Seperti sengaja memamerkan
wajah tampanmu, atau bisa jadi hanya ingin menggodaku. Tolong hentikan! Aku benar-benar tak kuasa melihat bola mata teduh
itu. Sangat menggoda, ingin sekali tinggal di dalamnya.
Aku
benar-benar takluk, malu.
Pertanyaan
yang tadi dengan gencar kulontarkan, kini enyah terlupakan, kalah dengan sikapmu.
“Aku
suka kamu,” katamu, singkat dan tiba-tiba. Pipiku merona, seperti senja yang baru saja dilahap pekat. Apaan sih laki-laki ini, tiba-tiba bicara seperti
itu, padahal bukan itu yang aku tanyakan.
Tiga
menit kita habiskan sia-sia dalam lengang. Aku mematung, sedang kamu asik menikmati
coklat panas buatanku. Yah, di sabtu malam ini tiba-tiba kamu datang tanpa izin.
Muncul di depan pintu dengan tubuh basah yang habis dijamah hujan. Rambut legammu
meneteskan air, ingin sekali menggapai dan menyentuhnya.
“Untuk
apa kamu datang? Jika pada akhirnya kamu hanya ingin membatalkan pernikahan
kita.” Aku merunduk, hati ini terasa rubuh bersama gerimis yang kian meninggalkan
jejak asa. Terdiam sejenak, menghela napas panjang, berusaha menahan air mata,
“Datang dan berbicara perihal kenangan yang ingin kauciptakan meski hanya dalam
sehari. Saat kutanya tentang harga sebuah kenangan kaumalah diam saja. Apa
maksudmu? Melambungkan hatiku, lalu menjatuhkannya. Aku bukan hujan, yang akan
kembali lagi meski jatuh berkali-kali.”
“Kenangan
itu ada yang berarti dan ada yang tidak. Saat ini, kenangan yang ingin kuciptakan
hanya dalam sehari bersamamu, sangat berharga bagiku, tak ternilai seberapa pun
harganya. Karena esok, aku tak akan bisa melihatmu lagi. Aku akan menikah
dengan wanita pilihan keluarga. Tak mau membuat ibuku sakit lagi karena melawan
titahnya. Malam ini, hanya ingin bertemu dan menatapmu sedikit lebih lama.
Tolong izinkan!” Tatapan teduhmu menitikkan air mata, menerjang luka yang
terselip di dalam dada. Bibirku kelu, resah datang mengendap-endap,
menggerayangi malam sabtu ini.
“Lakukan
sesukamu!” Aku pasrah, karena aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita yang ingin
menjadi istri orang yang kucintai. Kita ini hanyalah kisah tragedi. Tapi ... ah
sudahlah.
Jahatnya 😭😭😭😭
BalasHapusSediiih..very broken
BalasHapus