Lahir dan terikat takdir.
Yah kalimat itu adalah judul yang sama dengan cerpen yang dulu pernah kutulis. Jika dulu
isinya hanyalah fiksi, tentang takdir seorang peri yang jatuh hati kepada
seorang pangeran. Maka kali ini, hanya ingin menulis tentang apa yang mau
kutulis.
Ada dua takdir yang sama dari semua manusia. Yaitu, lahir dan kematian.
Manusia
lahir untuk mati, kembali lagi ke tanah. Aku? Sudah siapkah? Yah, aku hanya
akan bertanya pada diri sendiri.
Berjuang
sekuat tenaga di dunia ini hanya untuk bahagia, bertahan hidup, dan persiapan
mati. Jika saja aku tak coba mengingat mati, maka tak akan ada keinginan untuk
dekat denganNya. Konyol sekali, jika hal itu sampai terjadi maka diri ini akan
jadi manusia paling merugi di akhirat nanti.
Bicara
tentang takdir, memang lahir dan mati itu mutlak. Saat lahir, aku tak bisa
memilih di lahirkan oleh siapa, apakah seorang artis, presiden, koruptor, atau
bahkan pemulung. Lalu saat mati, aku tak akan bisa mengubahnya. Entah itu
tanggal, hari, pukul, di mana, dan mati dengan cara bagaimana.
Lalu
apa yang sudah kusiapkan? Sholatkah? Bacaan Alquran? Sedekah? Amal? Atau bahkan
sibuk dengan duniawi? Yah, akan kurenungkan semua itu, mencernanya dengan baik
lalu mengimplementasikan apa-apa nantinya yang tak merugikan.
Semua
telah ada takarannya, itulah yang harus kumaknai dalam-dalam. Mengejar duniawi,
tak perlulah berlebihan karena nantinya tidak akan kubawa saat ajal menjemput. Berusaha
menjadi pribadi yang selalu ingat, dan melakukan perintahNya serta berusaha
menahan dan menjauhi laranganNya. Kata ibuk, itulah taqwa.
“Nak,
harta itu tak akan dibawa mati. Berbuat baiklah, karena semua yang akan
kaulakukan akan ada pertanggungjawabannya. Kelak bukan mulut yang akan menjawab
semua pertanyaanNya, tapi tangan, kaki, mata dan anggota tubuh lainnya yang
akan menjawab. Jadi berhati-hatilah dalam berbuat,” tukas ibuk, sembari
menjahit rokku yang robek. Jemari kurusnya begitu lentik memainkan jarum dan
benang. Matanya teduh, seteduh awan mendung yang akan menuntun kedamaian bagi
makhluk bumi dengan hujan.
“Iya
Ibuk, akan Ana ingat itu.” Aku menyeringai lebar, merasakan kehangatan melalui semua
nasihat-nasihatnya.
Kalo ini bukan fiksi, sejenis tulisan apa ya kak ??
BalasHapusKalo kata kang Heru, kalo tulisannya semi religi. Pnggunaan aku diganti saja dg kata saya, karna sifatnya tidak menggurui.
Overall, aku suka tulisannya. Slg reminder bgt buat perenungan kmbali. Insyaa Allah
Utk EBI, pnggunaan kata ibu aja. Jgn ibuk. Maaf yaa ka sebelumnya. 🙏
Wahhh makasih mbak Rene. Ak baru tahu, nnt tak coba ganti dengan "saya" ya biar ndak kesan menggurui.
HapusMakasih banyak mbak 😊. Pengetahuan baru.
Oh kalau ibuk itu emang sengaja mbak, krn Jawa. Tp sebaiknya tak ksh tanda lali ya... 🤔
HapusMaaf bukan lali tapi kali. 😁 typo mbak
HapusSelf reminder mksdnya teh
BalasHapus