Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Senin, 18 Desember 2017

Kembali

Sumber gambar : google.com


Lahir dan terikat takdir. 
Yah kalimat itu adalah judul yang sama dengan cerpen yang dulu pernah kutulis. Jika dulu isinya hanyalah fiksi, tentang takdir seorang peri yang jatuh hati kepada seorang pangeran. Maka kali ini, hanya ingin menulis tentang apa yang mau kutulis.

Ada dua takdir yang sama dari semua manusia. Yaitu, lahir dan kematian.
Manusia lahir untuk mati, kembali lagi ke tanah. Aku? Sudah siapkah? Yah, aku hanya akan bertanya pada diri sendiri.

Berjuang sekuat tenaga di dunia ini hanya untuk bahagia, bertahan hidup, dan persiapan mati. Jika saja aku tak coba mengingat mati, maka tak akan ada keinginan untuk dekat denganNya. Konyol sekali, jika hal itu sampai terjadi maka diri ini akan jadi manusia paling merugi di akhirat nanti.

Bicara tentang takdir, memang lahir dan mati itu mutlak. Saat lahir, aku tak bisa memilih di lahirkan oleh siapa, apakah seorang artis, presiden, koruptor, atau bahkan pemulung. Lalu saat mati, aku tak akan bisa mengubahnya. Entah itu tanggal, hari, pukul, di mana, dan mati dengan cara bagaimana.

Lalu apa yang sudah kusiapkan? Sholatkah? Bacaan Alquran? Sedekah? Amal? Atau bahkan sibuk dengan duniawi? Yah, akan kurenungkan semua itu, mencernanya dengan baik lalu mengimplementasikan apa-apa nantinya yang tak merugikan.

Semua telah ada takarannya, itulah yang harus kumaknai dalam-dalam. Mengejar duniawi, tak perlulah berlebihan karena nantinya tidak akan kubawa saat ajal menjemput. Berusaha menjadi pribadi yang selalu ingat, dan melakukan perintahNya serta berusaha menahan dan menjauhi laranganNya. Kata ibuk, itulah taqwa.

“Nak, harta itu tak akan dibawa mati. Berbuat baiklah, karena semua yang akan kaulakukan akan ada pertanggungjawabannya. Kelak bukan mulut yang akan menjawab semua pertanyaanNya, tapi tangan, kaki, mata dan anggota tubuh lainnya yang akan menjawab. Jadi berhati-hatilah dalam berbuat,” tukas ibuk, sembari menjahit rokku yang robek. Jemari kurusnya begitu lentik memainkan jarum dan benang. Matanya teduh, seteduh awan mendung yang akan menuntun kedamaian bagi makhluk bumi dengan hujan.

“Iya Ibuk, akan Ana ingat itu.” Aku menyeringai lebar, merasakan kehangatan melalui semua nasihat-nasihatnya.

5 komentar:

  1. Kalo ini bukan fiksi, sejenis tulisan apa ya kak ??

    Kalo kata kang Heru, kalo tulisannya semi religi. Pnggunaan aku diganti saja dg kata saya, karna sifatnya tidak menggurui.

    Overall, aku suka tulisannya. Slg reminder bgt buat perenungan kmbali. Insyaa Allah

    Utk EBI, pnggunaan kata ibu aja. Jgn ibuk. Maaf yaa ka sebelumnya. 🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahhh makasih mbak Rene. Ak baru tahu, nnt tak coba ganti dengan "saya" ya biar ndak kesan menggurui.

      Makasih banyak mbak 😊. Pengetahuan baru.

      Hapus
    2. Oh kalau ibuk itu emang sengaja mbak, krn Jawa. Tp sebaiknya tak ksh tanda lali ya... 🤔

      Hapus
    3. Maaf bukan lali tapi kali. 😁 typo mbak

      Hapus

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...