Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Senin, 04 Desember 2017

Ketika yang Fitrah jadi Bencana



Sumber gambar : http://static.republika.co.id


Lagi-lagi mendung merujuk, bertahtah sedari pagi buta. Aku bergegas menyapa dunia dengan senyuman, berlari kemudian duduk di bangku panjang pinggir taman. Bernapas, menikmati hawa, seakan lupa pada bahara asa. Buku penggugah jiwa kubaca dengan seksama, berharap diksinya menyelapi setiap jalan pikir. Lalu-lalang kaki bersua, menambah romansa di tiap detiknya.
Lelaki paruh baya mengendap duduk di sampingku. Langkahnya lirih sembari tertawa kecil, terhibur oleh ponsel di tangan. Matanya berbinar, sesekali tangan kananya menopang dagu dan ia pun tersipu, lagi, lagi dan tersipu lagi. Seperti sedang jatuh cinta.
Yah, cinta itu memang sebuah hal yang fitrah. Kadang kita tak bisa memilih jatuh cinta pada siapa. Karena hatilah yang berkuasa. Cinta itu adalah permasalahan yang kompleks. Kadang berujung baik, kadang juga tidak. Kalau aku, mungkin hanya akan memilih suka dalam diam, setidaknya DIA-lah yang harus tahu. Dengan begitu, tak perlulah sakit hati sebab cinta. Astaga, karena terlalu penasaran dengan lelaki paruh baya ini, tanpa sadar hatiku nyinyir tak beratur. Biarlah dia menikmati dunianya sendiri.
Dari arah jam dua, wanita paruh baya bersama anak laki-laki yang usianya sekitar empat belas tahun berjalan cepat menuju kemari. Wanita itu mengerutkan dahi, wajahnya nampak merah, dadanya naik turun seperti mau meledak. Lelaki di sampingku tiba-tiba terdiam. Matanya menatap kosong ke depan. Aku menghela napas berat, merinding. Hitamnya langit tiba-tiba menjatuhkan gerimis. Rintik airnya mulai merayap.

“Seperti inikah? Perlakuanmu terhadapku? Istrimu sendiri. Kamu manusia hina yang telah merampas kebahagiaanku. Lihatlah, anak kita masih butuh kasih sayang. Tidakkah kaupikirkan dia juga? Tega sekali kamu terhadapnya. Menelantarkan kami dan malah asik saling jatuh cinta dengan tetangga sendiri. Mulai hari ini, aku akan membawa anak kita pergi. Silakan kaulanjutkan kisah kasihmu itu. Selamat tinggal.” Begitulah ucap perpisahan wanita itu terhadap suaminya yang sedari tadi tak berkutik. Bukan dia tak acuh, hanya saja bimbang terhadap dunianya yang terus berputar paradoks. Dunianya gelap, terjebak dalam lorong tak berujung.

Yang fitrah telah berubah jadi bencana, kelak sang anak yang akan menjadi korbannya. Kehilangan cinta yang utuh, menangis dan terus berulah mencari perhatian. Aku hanya bisa termangu. Berharap tak tergoda akan nikmatnya eksistensi dunia.

2 komentar:

  1. perih mmg ketika laki2 yg awalnya dicintai memilih pergi utk yg lain tanpa pedulikan hati yg ditinggalkan..

    BalasHapus

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...