Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Jumat, 22 Desember 2017

Membunuh Ingatan Tentang Ibu

Sumber gambar: Google.com



Bukan aku tak mau menulis dengan tema tentang “Ibu”. Hanya saja, tak mampu menyelesaikannya hingga akhir. Ada sejuta perasaan yang terus meluap tanpa bisa kutuliskan. Penaku ... selalu berjeda di setiap susunan pola kalimatnya, dan jeda itu merisak miris.

Satu kalimat berhasil kutuliskan, maka akan butuh waktu berjam-jam untuk menuliskan kalimat kedua. Begitulah seterusnya hingga tak pernah bertemu dengan bagian akhir. Butuh waktu cukup lama untuk kembali mengingat bagaimana ekspresi ibu. Bukan lupa, hanya saja begitu sulit untuk kujelaskan. Meski air mata selalu menghalangi pandangan, terus mengalir hingga akhirnya terlelap, bukanlah hal yang menyakitkan. Hanya rindu, teramat rindu.

Lalu kapan tulisan dengan tema “Ibu” akan selesai jika terus seperti itu?

“Bagaimana ekspresi ibumu ketika marah?” tanya seseorang.
“Aku tidak tahu, bukan lupa, tapi butuh banyak sekali waktu untuk mengingatnya. Dan bertahan dalam ingatan itu cukup menyesakkan” jawabku, dalam hati. Sedang Ragaku hanya terdiam dengan tatapan yang mengambang.

Dari sini, apa lagi yang bisa kautuliskan, Lail? Tak bisa, aku tak sanggup lagi menuliskannya. Mengingat kapan ibu terakhir kali marah saja aku tak mampu. Apalagi megingat macam-macam eksprsinya, saat marah, tersenyum, semangat, dan menangis.

Kadang aku menangis saat memasak. Berharap merasakan masakan ibu meski hanya sekali saja. Pernah kucoba memasak dengan bumbu-bumbu seperti yang diajarkan ibu dulu, tapi rasanya tak pernah bisa sama. Alat-alat masak pun mulai tak terurus, karena aku lebih sering beli makan di luar. Sepeda yang biasa dipakai ibu untuk memboncengku pun telah berkarat. Menyisakan begitu banyak kenangan.

Ah, tiba-tiba muncul ingatan itu ... ingatan menyebalkan yang ingin kubunuh. Membunuh kenangan tentang ibu. Tentang semua kenangan pahitnya, agar yang tersisa dalam ingatan hanyalah senyum dan tawanya. Pernah kulihat ibu menderita, dan hatiku terasa sakit. Rasanya lebih sakit dari sakit tak berdarah yang sering dikatakan oleh para pujangga.

Lima puluh empat menit, aku kembali tersadar dari lamunan, mengusap genangan air mata yang terus berjatuhan membasahi buku. Menyandarkan tubuh dan kembali lagi menulis. Benar-benar jeda yang cukup lama. Begitu lama hingga mata perlahan mulai temaram. Sudah cukup, kuakhiri saja. Tak sanggup lagi menuliskannya.



0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...