Bukan aku tak mau menulis dengan tema
tentang “Ibu”. Hanya saja, tak mampu menyelesaikannya hingga akhir. Ada sejuta
perasaan yang terus meluap tanpa bisa kutuliskan. Penaku ... selalu berjeda di
setiap susunan pola kalimatnya, dan jeda itu merisak miris.
Satu kalimat berhasil kutuliskan, maka
akan butuh waktu berjam-jam untuk menuliskan kalimat kedua. Begitulah
seterusnya hingga tak pernah bertemu dengan bagian akhir. Butuh waktu cukup
lama untuk kembali mengingat bagaimana ekspresi ibu. Bukan lupa, hanya saja
begitu sulit untuk kujelaskan. Meski air mata selalu menghalangi pandangan,
terus mengalir hingga akhirnya terlelap, bukanlah hal yang menyakitkan. Hanya
rindu, teramat rindu.
Lalu kapan tulisan dengan tema “Ibu”
akan selesai jika terus seperti itu?
“Bagaimana ekspresi ibumu ketika marah?”
tanya seseorang.
“Aku tidak tahu, bukan lupa, tapi butuh
banyak sekali waktu untuk mengingatnya. Dan bertahan dalam ingatan itu cukup
menyesakkan” jawabku, dalam hati. Sedang Ragaku hanya terdiam dengan tatapan yang
mengambang.
Dari
sini, apa lagi yang bisa kautuliskan, Lail? Tak bisa, aku tak sanggup lagi
menuliskannya. Mengingat kapan ibu terakhir kali marah
saja aku tak mampu. Apalagi megingat macam-macam eksprsinya, saat marah,
tersenyum, semangat, dan menangis.
Kadang aku menangis saat memasak. Berharap
merasakan masakan ibu meski hanya sekali saja. Pernah kucoba memasak dengan
bumbu-bumbu seperti yang diajarkan ibu dulu, tapi rasanya tak pernah bisa sama.
Alat-alat masak pun mulai tak terurus, karena aku lebih sering beli makan di
luar. Sepeda yang biasa dipakai ibu untuk memboncengku pun telah berkarat. Menyisakan begitu banyak kenangan.
Ah,
tiba-tiba muncul ingatan itu ... ingatan menyebalkan yang ingin kubunuh. Membunuh
kenangan tentang ibu. Tentang semua kenangan pahitnya, agar yang tersisa dalam
ingatan hanyalah senyum dan tawanya. Pernah kulihat ibu menderita, dan hatiku
terasa sakit. Rasanya lebih sakit dari sakit tak berdarah yang sering dikatakan
oleh para pujangga.
Lima puluh empat menit, aku kembali
tersadar dari lamunan, mengusap genangan air mata yang terus berjatuhan membasahi
buku. Menyandarkan tubuh dan kembali lagi menulis. Benar-benar jeda yang cukup
lama. Begitu lama hingga mata perlahan mulai temaram. Sudah cukup, kuakhiri
saja. Tak sanggup lagi menuliskannya.
0 komentar:
Posting Komentar