Sumber gambar : Google.com
Ran menceritakan semua kejadian di dalam
hutan tentang bagaimana ia bertemu dengan Stranger,
memohon kepada kakek dan nenek untuk mengizinkan anak laki-laki itu tinggal
bersama mereka, setidaknya sampai ia bisa berbicara, membaca, menulis dan
melakukan aktivitas normal seperti manusia pada umumnya. Dengan senang hati
kakek Gin dan nenek Runi menerimanya.
***
Detik berganti menit, berganti jam,
berganti hari, dan berganti minggu. Dengan sabar Ran mengajari anak asing itu
berbicara, membaca, menulis, dan cara menjalani kehidupan sehari-hari, seperti
mandi, makan, dan lain-lain. Anak laki-laki itu sangat cerdas hingga ia mudah
sekali mengingat apa yang telah ia terima dari Ran.
“Nah, ini bacanya C-E-R-I-T-A, cerita.
Kalau yang ini C-A-N-T-I-K, cantik.”
“Cantik?” Dengan wajah sangat polos, ia
bertanya.
“Hemm ... cantik itu seperti Ran. Ran
cantik,” ucap Ran, memberi contoh.
“Ran, cantik” ucap anak laki-laki itu
mengulang perkataan Ran.
“Nah, nah itu benar sekali.” Ran
terbahak, tak bisa menahan lucunya ekspresi Strenger. “Nah jadi apa sekarang
kamu sudah ingat nama kamu?”
“Na ... ma? Nama ...” Dia melirik ke
tumpukan buku cerita yang Ran sediakan. “Yoga”
“Yoga? Jadi, nama kamu Yoga? Kalau gini
kan, Ran nggak perlu lagi panggil kamu dengan sebutan Strange.” Ran sangat senang, karena sahabatnya ini telah mengingat
namanya.
Sampai saat ini Yoga tak bisa tersenyum.
Mata ungunya begitu dingin, seperti menanggung beban yang teramat berat. Terkadang
mata ungunya berubah menjadi merah, dan akan kembali tenang ketika melihat Ran.
Bagi Yoga, Ran seperti penenang. Nenek dan kakek kadang sedikit takut dengan
mata merah Yoga, saat itu atmosfer terasa begitu berat dan sesak. Meski begitu,
mereka tak tega membiarkan Yoga sendiri dalam kegelapan dunia yang semakin
menjalar.
Hari ini kedua kalinya Yoga ikut Ran ke
sekolah. Karena Yoga sangat cerdas, ia mudah sekali menerima pelajaran, yang
tak bisa ia lakukan hanyalah berteman. Ia tak pernah mau bicara selain kepada
Ran. Tak pernah menganggap yang lain ada. Kali ini bukan hanya tatapannya saja,
tapi sikapnya juga sangat dingin. Ia seperti makhluk es yang bernyawa, dingin
tanpa ekspresi.
Saat jam olahraga, Ran tak ada di
mana-mana, Yoga bingung kemudian mencarinya di kelas, di lapangan, di
perpustakaan, dan di kantin. Tapi, Ran tetap tak ada. Ia terdiam sejenak,
memejamkan mata, berkonsentrasi pada indra pendengarannya, memusatkan hanya
pada satu suara, yaitu suara Ran. Begitu terdengar, ia tersentak dan berlari
menuju bangunan yang di khususkan untuk para ekskul renang. Ran dijaili oleh
kakak kelas lima, ia didorong ke dalam kolam renang, karena tak bisa berenang
semuanya menenrtawakan Ran. Mereka hanyalah barisan anak perempuan yang iri
terhadap Ran.
Yoga yang saat itu tiba di gedung ekskul
renang langsung melompat ke dalam kolam dan menyelamatkan Ran. Semua kakak
kelas yang menjaili Ran, hanya terdiam ketika melihat Yoga. Beruntung karena
saat itu Ran masih sadar, meski napasnya terengah-engah diikuti dengan tubuh
lemas seperti mau pingsan.
“Apa yang sudah kalian lakukan padanya?”
Tatapan Yoga menatap tajam pada mereka yang menjaili Ran. Matanya berubah
menjadi merah, seperti binatang buas yang hendak memnerkam mangsanya.
“A ... apa urusannya denganmu?” sergah
salah seorang kakak kelas, suaranya terbata, karena merasa takut pada Yoga.
Gerakannya Yoga sangat cepat, hanya
beberapa detik ia telah menggapai leher salah seorang kakak kelas yang baru
saja menjawab perkataan Yoga. Empat anak perempuan lainnya tak bisa berlari,
seolah ada yang menahan langkahnya. Saat ini, tatapan Yoga benar-benar menakutkan.
“Mo ... monster” ucap Erlin, kakak kelas
Ran yang berbadan sedikit gendut. Mendengar ucapannya, Yoga semakin garang.
Tangan kirinya menggapai leher Erlin. Sebuah kekuatan tak terduga keluar dari
tubuh Yoga, angin hitam yang seketika menyedot jiwa-jiwa manusia.
“Yoga, hentikan!” Ran berdiri dan
menampar Yoga.
Wajah Yoga yang tanpa ekspresi itu
tertegun, kemudian melepaskan tangannya dari leher Erlin dan kakak kelas
lainnya. Angin hitam yang hendak menyedot jiwa itu menghilang tiba-tiba. Mata
merahnya juga telah berubah kembali menjadi ungu.
“Kalian tidak apa-apa?” Erlin menepis
tangan Ran yang hendak membantunya. Mereka langsung berlari menjauh.
Ran membalikkan badan, hendak meminta
maaf pada Yoga. Ran sadar tak seharusnya ia menampar sahabatnya itu.
“Yoga? Yoga kamu di mana? Ran berlari
mencari-cari Yoga. Tapi, ia tak menemukannya di mana pun.” Ran kembali pulang, air
matanya terus mengalir tanpa jeda di sepanjang perjanalan. Ada perasaan
menyesal yang begitu besar. Ia berlari di tengah kerumunan hujan yang jatuh.
Dari kejauhan, Ran tampak begitu
terkejut, tatapannya hambar, kosong dan kalut. Rumah-rumah hancur, tanah berbau
seperti darah, sungai tak lagi bening, sawah telah hancur, pepohonan telah
tumbang. Seperti habis terjadi sebuah bencana besar. Tapi mana mungkin, sebab
jarak rumah dan sekolah Ran tak begitu jauh. Mengapa yang mengalami kerusakan
hanyalah Desa Lerna, tempat di mana Ran tinggal.
Ran berlari menuju rumah, semua penduduk
desa telah tergeletak tak bernyawa. Takut, semakin takut ia rasakan. Dan benar,
bahwa semua orang telah mati, begitu pula dengan nenek dan kakek Ran. Tak bisa
dibendung lagi, air matanya jatuh semakin deras, ia menangis sejadi-jadinya. Menangis
karena kehilangan, menangis karena ketakutan, semua beradu menjadi satu. Tatapannya
kosong, menyerana, nanar, jauh dari kata sadar. Kematian yang benar-benar tak
wajar.
Ran melihat ada sebuah lipatan kertas di
tangan kakek, lalu mengambil dan membacanya. Saat itu Ran tersadar, ia harus
bangkit. Secepatnya ia berkemas, mengambil uang yang ada di lemari dan pergi meninggalkan
Desa Lerna.
-Bersambung-
#TantanganFiksi6
0 komentar:
Posting Komentar