Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Jumat, 29 Desember 2017

Another (Part 2)

Sumber gambar : Google.com

Ran menceritakan semua kejadian di dalam hutan tentang bagaimana ia bertemu dengan Stranger, memohon kepada kakek dan nenek untuk mengizinkan anak laki-laki itu tinggal bersama mereka, setidaknya sampai ia bisa berbicara, membaca, menulis dan melakukan aktivitas normal seperti manusia pada umumnya. Dengan senang hati kakek Gin dan nenek Runi menerimanya.

***

Detik berganti menit, berganti jam, berganti hari, dan berganti minggu. Dengan sabar Ran mengajari anak asing itu berbicara, membaca, menulis, dan cara menjalani kehidupan sehari-hari, seperti mandi, makan, dan lain-lain. Anak laki-laki itu sangat cerdas hingga ia mudah sekali mengingat apa yang telah ia terima dari Ran.

“Nah, ini bacanya C-E-R-I-T-A, cerita. Kalau yang ini C-A-N-T-I-K, cantik.”

“Cantik?” Dengan wajah sangat polos, ia bertanya.

“Hemm ... cantik itu seperti Ran. Ran cantik,” ucap Ran, memberi contoh.

“Ran, cantik” ucap anak laki-laki itu mengulang perkataan Ran.

“Nah, nah itu benar sekali.” Ran terbahak, tak bisa menahan lucunya ekspresi Strenger. “Nah jadi apa sekarang kamu sudah ingat nama kamu?”

“Na ... ma? Nama ...” Dia melirik ke tumpukan buku cerita yang Ran sediakan. “Yoga”

“Yoga? Jadi, nama kamu Yoga? Kalau gini kan, Ran nggak perlu lagi panggil kamu dengan sebutan Strange.” Ran sangat senang, karena sahabatnya ini telah mengingat namanya.

Sampai saat ini Yoga tak bisa tersenyum. Mata ungunya begitu dingin, seperti menanggung beban yang teramat berat. Terkadang mata ungunya berubah menjadi merah, dan akan kembali tenang ketika melihat Ran. Bagi Yoga, Ran seperti penenang. Nenek dan kakek kadang sedikit takut dengan mata merah Yoga, saat itu atmosfer terasa begitu berat dan sesak. Meski begitu, mereka tak tega membiarkan Yoga sendiri dalam kegelapan dunia yang semakin menjalar.

Hari ini kedua kalinya Yoga ikut Ran ke sekolah. Karena Yoga sangat cerdas, ia mudah sekali menerima pelajaran, yang tak bisa ia lakukan hanyalah berteman. Ia tak pernah mau bicara selain kepada Ran. Tak pernah menganggap yang lain ada. Kali ini bukan hanya tatapannya saja, tapi sikapnya juga sangat dingin. Ia seperti makhluk es yang bernyawa, dingin tanpa ekspresi.

Saat jam olahraga, Ran tak ada di mana-mana, Yoga bingung kemudian mencarinya di kelas, di lapangan, di perpustakaan, dan di kantin. Tapi, Ran tetap tak ada. Ia terdiam sejenak, memejamkan mata, berkonsentrasi pada indra pendengarannya, memusatkan hanya pada satu suara, yaitu suara Ran. Begitu terdengar, ia tersentak dan berlari menuju bangunan yang di khususkan untuk para ekskul renang. Ran dijaili oleh kakak kelas lima, ia didorong ke dalam kolam renang, karena tak bisa berenang semuanya menenrtawakan Ran. Mereka hanyalah barisan anak perempuan yang iri terhadap Ran.

Yoga yang saat itu tiba di gedung ekskul renang langsung melompat ke dalam kolam dan menyelamatkan Ran. Semua kakak kelas yang menjaili Ran, hanya terdiam ketika melihat Yoga. Beruntung karena saat itu Ran masih sadar, meski napasnya terengah-engah diikuti dengan tubuh lemas seperti mau pingsan.

“Apa yang sudah kalian lakukan padanya?” Tatapan Yoga menatap tajam pada mereka yang menjaili Ran. Matanya berubah menjadi merah, seperti binatang buas yang hendak memnerkam mangsanya.

“A ... apa urusannya denganmu?” sergah salah seorang kakak kelas, suaranya terbata, karena merasa takut pada Yoga.

Gerakannya Yoga sangat cepat, hanya beberapa detik ia telah menggapai leher salah seorang kakak kelas yang baru saja menjawab perkataan Yoga. Empat anak perempuan lainnya tak bisa berlari, seolah ada yang menahan langkahnya. Saat ini, tatapan Yoga benar-benar menakutkan.

“Mo ... monster” ucap Erlin, kakak kelas Ran yang berbadan sedikit gendut. Mendengar ucapannya, Yoga semakin garang. Tangan kirinya menggapai leher Erlin. Sebuah kekuatan tak terduga keluar dari tubuh Yoga, angin hitam yang seketika menyedot jiwa-jiwa manusia.

“Yoga, hentikan!” Ran berdiri dan menampar Yoga.

Wajah Yoga yang tanpa ekspresi itu tertegun, kemudian melepaskan tangannya dari leher Erlin dan kakak kelas lainnya. Angin hitam yang hendak menyedot jiwa itu menghilang tiba-tiba. Mata merahnya juga telah berubah kembali menjadi ungu.

“Kalian tidak apa-apa?” Erlin menepis tangan Ran yang hendak membantunya. Mereka langsung berlari menjauh.

Ran membalikkan badan, hendak meminta maaf pada Yoga. Ran sadar tak seharusnya ia menampar sahabatnya itu.

“Yoga? Yoga kamu di mana? Ran berlari mencari-cari Yoga. Tapi, ia tak menemukannya di mana pun.” Ran kembali pulang, air matanya terus mengalir tanpa jeda di sepanjang perjanalan. Ada perasaan menyesal yang begitu besar. Ia berlari di tengah kerumunan hujan yang jatuh.  

Dari kejauhan, Ran tampak begitu terkejut, tatapannya hambar, kosong dan kalut. Rumah-rumah hancur, tanah berbau seperti darah, sungai tak lagi bening, sawah telah hancur, pepohonan telah tumbang. Seperti habis terjadi sebuah bencana besar. Tapi mana mungkin, sebab jarak rumah dan sekolah Ran tak begitu jauh. Mengapa yang mengalami kerusakan hanyalah Desa Lerna, tempat di mana Ran tinggal.

Ran berlari menuju rumah, semua penduduk desa telah tergeletak tak bernyawa. Takut, semakin takut ia rasakan. Dan benar, bahwa semua orang telah mati, begitu pula dengan nenek dan kakek Ran. Tak bisa dibendung lagi, air matanya jatuh semakin deras, ia menangis sejadi-jadinya. Menangis karena kehilangan, menangis karena ketakutan, semua beradu menjadi satu. Tatapannya kosong, menyerana, nanar, jauh dari kata sadar. Kematian yang benar-benar tak wajar.

Ran melihat ada sebuah lipatan kertas di tangan kakek, lalu mengambil dan membacanya. Saat itu Ran tersadar, ia harus bangkit. Secepatnya ia berkemas, mengambil uang yang ada di lemari dan pergi meninggalkan Desa Lerna.

-Bersambung-

#TantanganFiksi6

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...