Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Minggu, 26 November 2017

Nyanyian dari Surga (bagian 12)



 Sumber gambar : google.com
-Kesalahan Besar-
Lima belas menit lagi pelajaran jam ketiga akan segera dimulai. Aku berdebar, melihat Fahri di perpustakaan, di tempat duduk kesayangannya sedang membaca surat dariku. Tatapannya tanpa ekspresi, mungkin sudah terlalu sering ia mendapatkan surat semacam ini dari seorang wanita. Asma duduk dengan tenang, tangannya memegang sebuah buku. Saat itu tidak begitu banyak anak di dalam kelas, hanya ada seorang wanita berambut pendek duduk dekat jendela. Dan seorang wanita non muslim keturunan Inggris duduk di tengah paling belakang, sedang tidur.
“Asma, aku ... aku ...” dadaku naik turun, napas terengah-engah, keringat dingin membasahi tangan dan kaki.
“Nay, istighfar dulu Nay. Ada apa?”Asma bertanya, hawatir.
“Aku menulis surat untuk Fahri, kuletakkan di bukunya dan dia sekarang sedang membacanya. Asma, meski belum tentu terbalas tapi aku sungguh bahagia”
“Nay, benar-benar sudah yakin menyukai Fahri?” Asma mengambil tanganku dan menggenggamnya.
Aku terdiam sejenak, tersenyum tipis, “In Syaa Allah aku yakin Asma”
Hari ini pikiranku sedikit kacau, meski belum tentu terbalas namun senyum cengar-cengir tak bisa tertahan. Di saat pelajaran jam ketiga, sesekali Asma menatapku, kami beradu mata dan sama-sama tersenyum. Asma seperti mendukungku penuh.
“Asma mau ngajar ngaji, kan? Hati-hati, ya!”
“Nay juga hati-hati. Tidak boleh makan sampai terdengar azan maghrib” Asma tertsenyum menggoda.

***
Kejadian yang lalu, ketika kedatangan papa di resto ini, perlahan mulai kulupakan. Meski minggu lalu papa kembali datang bersama teman bisnisnya, tapi aku tak pernah lagi mau mengantar pesananannya. Tak ingin mempermalukan papa dihadapan teman-teman pembisnisnya lagi.
Azan maghrib telah berkumandang. Waktu untuk shalat dan berbuka, aku berpuasa sunnah di hari Kamis. Dengan berpuasa sunnah Senin dan Kamis in syaa Allah tubuh lemahku yang pesakitan karena terbiasa hidup serba ada ini akan selalu diberi kesehatan, itulah nasihat dari Asma. Selain itu untuk menambah imanku kepadaNya dan masih banyak lagi manfaat dari puasa sunnah ini.
“Kak Nayla, maaf ada laki-laki yang ingin bertemu denganmu? Dia menunggu di depan?” kata Andara, salah satu teman kerjaku.
“Mencariku?” tanyaku, heran. “Hemm iya baiklah, aku akan segera menemuinya.” lanjutku.
Rasa heran dan penasaran terus menggelitik di dalam pikiran. Sesegera mungkin kutemui dia. Dari kejauhan, terlihat dia sedang duduk di kursi yang menghadap ke jendela,  memakai hem panjang berwarna abu-abu, celana kain dan sedang mengaduk-aduk kopi yang baru saja dipesannya. Ia Tampak gelisah.
Assalamualaikum, siapa?” tanyaku dari belakang.
Wa’alaikumsalam” Dia menoleh kearahku.
“Fikri? Ada kepentingan apa kamu datang kemari? Bagaimana kamu bisa tahu aku bekerja di sini?” tanyaku penasaran.
“Aku tahu karena sering ke toko buku di sebelah resto ini, dan sering sekali melihatmu. Awalnya kukira kamu suka datang kemari. Dan aku baru tahu kalau kamu bekerja di sini dua minggu yang lalu. Tapi itu bukanlah masalah yang ingin kubahas. Ada hal penting yang ingin kutanyakan kepadamu mengenai Asma.”
“Asma? Ada apa denganya?” tanyaku, semakin penasaran.
“Apa kamu tahu sebab Asma menolak pinangan Ustaz Ahmad kepada Asma untuk Fahri?” tukasnya, serius.
“Apa?” terkejut bukan main, seperti sebuah petir yang menyambar tepat di hadapanku.
“Fahri menyukai Asma, dan Abah hendak meminta Asma kepada Ibuk untuk Fahri. Karena belum sempat bertemu Ibuk, Abah bertanya dulu kepada Asma lima bulan yang lalu. Dan Asma setuju dengan syarat, setelah lulus. Jadi setelah lulus semeseter depan, Fahri akan mengkhitbah Asma. Karena mereka saling menyukai. Lalu siang tadi, Asma datang menemui Abah dan menolak Fahri. Ia melarang Fahri dan Abah menemui Ibuk untuk mengkhitbahnya. Dan Fahri sangat terpukul, Nay. Aku sahabatnya, tahu bagaimana perasaannya kepada Asma.” tukasnya, panjang lebar.
Mataku terbelalak, terasa berat untuk mengedipkannya. Suara mulai menghilang dan semakin lemah. Mataku merebak, perlahan air mata mulai mengalir.
“Sepertinya, aku tahu apa penyebabnya dan maaf tak bisa menceritakannya kepadamu. Tapi aku janji, Asma pasti akan menerima lamaran dari Fahri. Katakan itu juga pada Fahri, sepertinya ini hanya salah paham saja.”
“Kamu? Kenapa menangis?” tanya Fikri, penasaran.
“Siapa? Tidak kok, aku hanya terharu saja dengan kisah mereka berdua.”
Setelah itu Fikri berpamitan pulang. Beginikah rasanya patah hati? Jadi seperti ini yang dirasakan oleh Asma ketika bibir terus-menerus berbicara perihal perasaanku untuk Fahri.
Aku masih terpaku, bersandar pada rasa bersalah yang terus berdesing. Bagaimana bisa, aku mematahkan hati seorang muslimah yang begitu baik seperti Asma. Teman, sahabat juga seorang saudara yang tiada duanya. Sejenak pikiran menerawang, memang mustahil jika seorang pendosa berharap pada laki-laki suci seperti Fahri. Laki-laki yang baik memang harusnya untuk wanita yang baik. Mereka harus bersatu.
Aku kembali ke rumah cukup malam, kendaraan sudah sangat sepi, dan memilih untuk berjalan sepanjang satu kilometer menuju pangkalan ojek. Gerimis kembali hadir, beradu menjadi satu bersama air mata yang sejak tadi terus mengalir mengeluarkan penat rasa bersalah.
“Nayla, kenapa bisa basah kuyup begini? Matanya juga kenapa jadi bengap sekali, Nak?” Ibuk mengusap wajahku yang basah kuyup, hawatir.
“Tadi Nay naik ojek, Buk.” Aku tersenyum tipis.
“Nay, badan kamu panas” Asma memegang keningku, ia terlihat sangat hawatir.
“Tidak apa-apa Asma, besok Nay tidak kuliah dulu ya. Nay sepertinya sangat lelah hari ini. Ibuk boleh temani Nay tidur malam ini?” pintaku.
“Tentu saja, Nak”

Ibuk membuatkan coklat panas dan memberikan sebuah vitamin untuk menguatkan daya tahan tubuhku. Sendainya mama dan papa sedikit punya waktu seperti ibuk, mungkin hatiku tak akan sekosong ini. Malam ini begitu dingin, menyeruak ke dalam jiwa dan raga. Dengan adanya ibuk di sisih, adalah cara untuk menghilangkan hawa dingin yang sejak tadi menggerogoti.
“Sepertinya handpone Nay sejak tadi bergetar” kata ibuk sembari memagang getar hp yang berasal dari dalam tasku.
“Tidak apa-apa, Buk. Ini juga sudah malam. Tidak seharusnya menghubungi seseorang di malam hari begini.

***
-bersambung-

2 komentar:

  1. Wah deg degan nih, udah 12 episode, blm kelar juga...ditunggu lanjutannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak wid. Blm selesai. Tak kusangka blm selesai mbak 😥.

      Hapus

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...