Bolehlah ya
sedikit berbagi bagaimana rasanya jadi guru muda.
Menjadi
guru di usia muda bukanlah hal yang mudah untuk dijalani, juga menurutku adalah
hal yang cukup anti mainstream. Kita
akan dituntut untuk menjaga image, tentu saja bukan tuntutan dari orang lain
tapi timbul dari diri kita sendiri. Mungkin bagi seseorang yang suka pakai celana
pendek, ketika berprofesi sebagai guru celana-celana pendek itu tidak akan lagi
dipakai. Juga yang dulunya suka majang foto bareng pacarnya di sosmed, setelah
jadi guru pasti cepat-cepat ingin menghapus semua foto itu. Yah, karena guru
adalah sosok yang bersahaja dengan tanggung jawab moral. Kita sebagai guru muda
akan tumbuh menjadi lebih sopan dalam banyak hal, bertutur, bersikap, dan
berpakaian tentunya.
Orang
lain pikir menjadi guru itu enak, pekerjaan mudah karena kerjaannya hanya
ngomong saja, atau menyuruh muridnya mengerjakan lalu gurunya bisa santai. Tentu
saja hal itu tidak benar. Apalagi bagi guru muda sepertiku pasti akan cukup
disibukkan oleh setiap kegiatan di sekolah. Hal itu akan menjadikan pengalaman
bagi para guru muda, dan tentunya lebih lincah untuk ke sana dan ke mari
(begitulah kata guru senior).
Aku
juga seorang guru, mengambil keputusan untuk menjadi guru karena kesukaanku
terhadap anak-anak dan rasa penasaran terhadap macam-macam karakter yang ada
pada mereka. Dan sesuai dugaan, bahwa mereka luar biasa. Berbagai macam
karakter yang terkadang susah untuk dipahami dan diluluhkan. Sesekali mereka
akan membuat para guru pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak, terkadang beberapa
dari mereka membuat gaduh dan ketika guru memarahinya, mereka akan ngambek.
Contohnya saja percakapan dengan anak trouble
maker di kelas:
Guru :
Nak, kamu itu jangan rame! Kalau rame sana di luar saja!
Murid :
Selalu aku yang disalahkan.
Guru :
Lah yang rame sejak tadi kan kamu.
Murid :
Gak adil, pilih kasih, yang lain aja rame gak dimarahi. Aku gak mau lagi ikut pelajarannya
ibu.
Guru :
????????????? Speecless *begitulah anak-anak, kadang belum bisa menyedari
kesalahannya sendiri*
Duhh ... (Biasanya terjadi pada murid SD atau
SMP)
Aku
pernah mengajar sebagai guru STM, dengan usia yang tidak berbeda jauh membuatku
harus super ekstra memperoleh rasa percaya diri. Bagaimana rasanya? Ah tentu
luar biasa. Mereka suka sekali ngeles, ngeyel, komentar mengenai hal yang tak
penting dan seringkali ada yang keceplosan memanggil mbak. Bahkan tak sedikit
yang menggoda dengan memanggil “Buchan” artinya Bu Guru Cantik. Hanya contoh:
Guru :
Kita lanjutkan materinya, masih semangat semua?
Murid :
Masih buuuuu ... habisnya yang ngajar bu cantik sih.
Guru :
Hhhhhhhmmmmmmm *menghela napas*
Guru :
Tolong tidak usah celometan!
Murid :
Iya buuuu, apasih yang ndak buat bu cantik.
Guru :
Arrggghhhh ...... *sesak, gak bisa napas*
Selain
masalah dengan hal itu, seorang guru muda apalagi menyandang status “jomlo”,
pasti akan menjadi korban jodoh-jodohan di sekolah. Paling sering adalah dengan
guru olahraga karena kebanyakan guru olahraga itu masih muda-muda. Kadang juga dijodohkan
dengan kerabat para guru. Duh, ada-ada saja.
Tidak
berhenti di situ, menjadi guru berarti menyiapkan handphone untuk terus aktif
karena banyaknya wali murid yang akan curhat mengenai anaknya. Tapi tak
masalah, ini akan jadi hal yang menarik untuk diselesaikan dan membuatku lebih
siap untuk mengurus anak jika sudah berkeluarga nantinya. Selain berkorban
waktu di luar jam sekolah, aku juga merasa korban tempat, di mana kamar tidur
penuh dengan lembar koreksian hasil ulangan anak-anak. Hehe
Sumber gambar : https://marsitariani.files.wordpress.com/2012/02/kertaskertasberserakan.jpg
Untungnya
menjadi guru yang sangat terasa bagiku adalah kesabaran. Melatihku menjadi lebih
sabar saat menyelesaikan masalah perihal anak-anak yang memiliki karakter
bengal. Contohnya ialah, melakukan pendekatan dalam meyelesaikan masalah. Jadi tak
melulu marah-marah.
0 komentar:
Posting Komentar