Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Sabtu, 25 November 2017

Nyanyian dari Surga (bagian 10)



***

Setelah pelajaran jam ketiga selesai, aku bergegas ke perpustakaan menemui Fahri. Rasa aneh apa lagi ini, tangan gemetar, jantung berdetak cepat dan tak beraturan. Aku panik seketika. Di perpustakaan, dia terlihat duduk berdua dengan teman laki-lakinya di pojok dekat rak yang hanya berisi buku islami. Di depannya ada leptop yang terbuka dan tumpukan buku.
Assalamualaikum, Fahri”
Wa’alaikumsalam, Nayla. Silakan duduk! Asma pasti sudah pergi ke Pondok Darul Fikri untuk menjar ngaji, ya?” Aku terkejut karena Fahri bisa tahu tentang kegiatan Asma.
“Iya Fahri, bagaimana kamu bisa tahu?” tanyaku penasaran.
“Iya karena kami sudah berteman cukup lama. Dia pernah menceritakannya padaku dulu. Oh, iya ini buku yang mau aku pinjamkan padamu.” Fahri menyodorkan sebuah buku yang agak tebal. Aku menerima buku itu dan berterimakasih kepadanya.
“Fahri, aku harus pergi dulu. Secepatnya kupelajari lalu segera kukembalikan buku ini. Terima kasih. Assalamualaikum.
“Iya Nay, wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu
Meski singkat, tapi pertemuan itu membuatku sangat senang. Suaranya saja mampu membuat jantung berdebar. Ketika wajah tampannya melontarkan senyuman, detak jantung seakan berhenti seketika. Aku harus berhenti memikirkannya. 
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.50 wib. Kemungkinan sampai di tempat kerja pukul 14.40 wib. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi, sepertinya ada sms masuk.

Asma         : Yang semangat kerjanya, semoga lancar, jangan lupa berdoa, makan siang dan shalat.  
           
            Aku tersenyum membaca sms dari Asma. Dia adalah saudara yang tiada duanya. Sms darinya kubalas, ‘Terima kasih banyak Asma’ dan tak lupa kuselipkan emot sebuah ciuman kepadanya.

***

Hari-hari kujalani dengan penuh perjuangan, kuliah dan bekerja. Memang berat, tapi hal itu tak menyurutkan semangatku untuk terus berjuang. Bukan bermaksud apa-apa, hanya tak ingin merepotkan ibuk. Dengan gaji ini, harapan terbesar adalah ingin sekali membangunkan toko kue buat ibuk. Hampir setiap minggu rasa pusing menghampiri, mungkin karena dulu  adalah anak manja jadi tak kuat menahan lelahnya bekerja keras seperti sekarang ini.
Minggu lalu adalah hari ulang tahunku. Bahagia sekali meski hanya bisa kunikmati dengan kesederhanaan. Asma dan ibuk memberi kado sebuah mukenah berwarna putih yang sangat bagus. Sepertinya tak ada kado yang lebih baik dari cinta mereka kepada orang asing sepertiku.
Malam ini begitu dingin, kami bertiga membuat mie instan dan memakannya bersama-sama. Entah apa yang membuat ibuk tiba-tiba membahas tentang Fahri.
“Kemrin Ibuk bersih-bersih kamarnya Nay. Ibuk menemukan buka fiqih, dan novel yang berjudul Layla Majnun. Waktu Ibuk buka, ternyata itu milik Fahri, jadi pertanyaannya adalah ada hubungan apakah Nay dengan Fahri, ya?” tanya ibuk menggoda. Wajahku memerah menahan senyuman yang tiba-tiba merekah.
“Asma, belain Nay dong!”
“Ndak mau ah, habisnya Nay tidak mau jujur sama kita sih. Katanya keluarga” Asma mengubah posisi duduknya, matanya menatapku penasaran. Mirip seorang detektif yang ada di tivi-tivi.
“Iyaa deh iya, Nay jujur ya. Nay suka sama Fahri. Nay jatuh cinta karena keshalehannya, Buk. Beberapa hari ini Nayla sering bertemu Fahri untuk meminjam buku-bukunya. Kapa lalu pinjam buku Fiqih, Akhidah Islam dan Novel Layla Majnun” tukasku. Asma dan ibuk tersenyum.
“Asma, sepertinya Ibuk harus bertemu Ustaz Ahmad untuk menanyakan tentang Nak Fahri”
“Ah Ibuk, Nay malu” Malu memang, tapi jika boleh berkata, memang itulah yang kuharapkan. 
“Tapi Ibuk tidak pernah bercanda loh, Nay” sahut Asma, serius. -Bersambung-

1 komentar:

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...