***
Setelah
pelajaran jam ketiga selesai, aku bergegas ke perpustakaan menemui Fahri. Rasa
aneh apa lagi ini, tangan gemetar, jantung berdetak cepat dan tak beraturan. Aku
panik seketika. Di perpustakaan, dia terlihat duduk berdua dengan teman
laki-lakinya di pojok dekat rak yang hanya berisi buku islami. Di depannya ada leptop yang terbuka
dan tumpukan buku.
“Assalamualaikum, Fahri”
“Wa’alaikumsalam, Nayla. Silakan duduk!
Asma pasti sudah pergi ke Pondok Darul Fikri untuk menjar ngaji, ya?” Aku
terkejut karena Fahri bisa tahu tentang kegiatan Asma.
“Iya
Fahri, bagaimana kamu bisa tahu?” tanyaku penasaran.
“Iya
karena kami sudah berteman cukup lama. Dia pernah menceritakannya padaku dulu.
Oh, iya ini buku yang mau aku pinjamkan padamu.” Fahri menyodorkan sebuah buku
yang agak tebal. Aku menerima buku itu dan berterimakasih kepadanya.
“Fahri,
aku harus pergi dulu. Secepatnya kupelajari lalu segera kukembalikan buku ini.
Terima kasih. Assalamualaikum.”
“Iya
Nay, wa’alaikumsalam warahmatullahi
wabarakatu”
Meski
singkat, tapi pertemuan itu membuatku sangat senang. Suaranya saja mampu membuat
jantung berdebar. Ketika wajah tampannya melontarkan senyuman, detak jantung
seakan berhenti seketika. Aku harus berhenti memikirkannya.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 13.50 wib. Kemungkinan sampai di tempat kerja pukul 14.40
wib. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi,
sepertinya ada sms masuk.
Asma : Yang semangat kerjanya, semoga lancar, jangan lupa
berdoa, makan siang dan shalat.
Aku tersenyum membaca sms dari Asma.
Dia adalah saudara yang tiada duanya. Sms darinya kubalas, ‘Terima kasih banyak Asma’ dan tak lupa kuselipkan emot sebuah
ciuman kepadanya.
***
Hari-hari
kujalani dengan penuh perjuangan, kuliah dan bekerja. Memang berat, tapi hal
itu tak menyurutkan semangatku untuk terus berjuang. Bukan bermaksud apa-apa,
hanya tak ingin merepotkan ibuk. Dengan gaji ini, harapan terbesar adalah ingin
sekali membangunkan toko kue buat ibuk. Hampir setiap minggu rasa pusing menghampiri,
mungkin karena dulu adalah anak manja
jadi tak kuat menahan lelahnya bekerja keras seperti sekarang ini.
Minggu
lalu adalah hari ulang tahunku. Bahagia sekali meski hanya bisa kunikmati
dengan kesederhanaan. Asma dan ibuk memberi kado sebuah mukenah berwarna
putih yang sangat bagus. Sepertinya tak ada kado yang lebih baik dari cinta
mereka kepada orang asing sepertiku.
Malam
ini begitu dingin, kami bertiga membuat mie instan dan memakannya bersama-sama.
Entah apa yang membuat ibuk tiba-tiba membahas tentang Fahri.
“Kemrin
Ibuk bersih-bersih kamarnya Nay. Ibuk menemukan buka fiqih, dan novel yang
berjudul Layla Majnun. Waktu Ibuk buka, ternyata itu milik Fahri, jadi
pertanyaannya adalah ada hubungan apakah Nay dengan Fahri, ya?” tanya ibuk
menggoda. Wajahku memerah menahan senyuman yang tiba-tiba merekah.
“Asma,
belain Nay dong!”
“Ndak
mau ah, habisnya Nay tidak mau jujur sama kita sih. Katanya keluarga” Asma mengubah
posisi duduknya, matanya menatapku penasaran. Mirip seorang detektif yang ada
di tivi-tivi.
“Iyaa
deh iya, Nay jujur ya. Nay suka sama Fahri. Nay jatuh cinta karena keshalehannya, Buk. Beberapa hari ini Nayla sering bertemu Fahri untuk meminjam buku-bukunya. Kapa lalu pinjam buku Fiqih, Akhidah Islam dan Novel Layla Majnun” tukasku. Asma dan ibuk tersenyum.
“Asma,
sepertinya Ibuk harus bertemu Ustaz Ahmad untuk menanyakan tentang Nak Fahri”
“Ah
Ibuk, Nay malu” Malu memang, tapi jika boleh berkata, memang itulah yang kuharapkan.
“Tapi Ibuk tidak pernah bercanda loh, Nay” sahut Asma, serius. -Bersambung-
“Tapi Ibuk tidak pernah bercanda loh, Nay” sahut Asma, serius. -Bersambung-
Asyiiik
BalasHapus