Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Senin, 20 November 2017

Nyanyian dari Surga (bagian 6)


Sumber gambar : http://www.madrassah.co.uk


-Bertemu seorang pembisnis-

“Silakan menikmati hidangannya, Tuan ... Nyonya” Pipiku serasa membeku karena sudah tersenyum lebih dari lima jam selama tiga hari ini. Saat pulang nanti mungkin persediaan senyumanku sudah habis.
“Mbak, loe gak siap-siap pulang? Udah pucet tuh wajah” tegur mbak Pretty yang biasa kupanggil mbak kasir cantik. Memang begitulah bahasanya, sesuai dengan logat bahasa anak Jakarta. Dulu, aku juga sempat menggunakan logat itu, tapi kata ibuk bahasa itu sedikit kasar. Maka kuputuskan untuk tidak memakai bahasa gaul itu lagi meski mayoritas dari teman di kampus memakai bahasa itu.
“Eh tapi sebelum pulang, tolong bantu mbak Weni dan Rio antar pesanan meja 10 ya! Kayaknya para pembisnis sedang dinner bareng teman pembisnisnya. Loe gak keberatan, kan?”
“Iya mbak” Aku mengangguk tersenyum.
Pesanannya adalah masakan khas Jepang seperti, berbagai jenis sushi, sukiyaki, ramen, curry rice, udon, karaage, yakiniku dan, sashimi. Mungkin saja yang pesan adalah turis Jepang. Tapi, mengapa hatiku tiba-tiba jadi gelisah, teringat dengan papa yang sangat suka makanan khas Jepang. Semua hidangan sudah diborong oleh mas Rio dan mbak Weni, aku hanya kebagian membawa ramen.
Langkahku semakin dekat dengan meja nomor 10, kira-kira 15 langkah lagi akan sampai. ah ternyata benar, beberapa di antara mereka adalah orang Jepang. Tepat di langkah ke 12, tiba-tiba semua berubah menjadi seperti bayangan siluet, mata hanya tertuju pada satu titik terang. Pada dia, seorang laki-laki yang sangat kuhormati. Jemari kecil ini gemetar dahsyat hingga sebagian dai kuah ramen telah tumpah.
“Pa ... pa” Mulutku secara reflek memanggil papa yang sedang asik bercengkrama bersama rekan bisnisnya. Papa terlihat bahagia, tanpa beban meski telah mengusirku, darah dagingnya sendiri.
“Nayla, kau ... apa yang sudah kamu lakukan di sini?” Papa sontak berdiri kaget. Mata kami saling beradu. Tak tahan rasanya, sudah pasti rindu itu ada untuk papa tapi malu dan takut untuk mengakuinya.
“Pa ... pa” Mulutku terkunci, jika masih mencoba untuk berbicara, air mata akan tumpah dari wadahnya.
Kanojo wa dare desu ka?” tanya salah satu teman papa dalam bahasa Jepang, menanyakan siapakah diriku ini.
Mōshiwake arimasen Papa hanya mengatakan maaf pada teman bisnisnya, dengan menggunakan bahasa Jepang yang sangat sopan.
“Kamu bikin malu, PERGI .. PERGI DARI HADAPANKU!!!!” Teriak papa seolah mampu memecahkan genderang telinga yang disertai hujan ludah. Debaran jantung mengguncang hingga ke ubun-ubun. Bayangan siluet itu telah robek oleh goncangan murkanya. Hatiku terus berteriak, mencoba membendung rintik air yang jatuh dari mata agar tak berubah menjadi deras. Dengan berat hati kupasung segala hasrat kerinduan. Inilah, kepedihan.
Tanpa banyak bicara, tentu saja aku langsung kembali ke dapur dan secepatnya pulang. Semua teman karyawan yang mengetahui keributan ini tak berani bertanya dan membahasnya, seolah telah jelas siapa yang baru saja kutemui tadi. –bersambung-

***

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...