“Silakan
menikmati hidangannya, Tuan ... Nyonya” Pipiku serasa membeku karena sudah tersenyum
lebih dari lima jam selama tiga hari ini. Saat pulang nanti mungkin persediaan
senyumanku sudah habis.
“Mbak,
loe gak siap-siap pulang? Udah pucet tuh wajah” tegur mbak Pretty yang biasa
kupanggil mbak kasir cantik. Memang begitulah bahasanya, sesuai dengan logat
bahasa anak Jakarta. Dulu, aku juga sempat menggunakan logat itu, tapi kata
ibuk bahasa itu sedikit kasar. Maka kuputuskan untuk tidak memakai bahasa gaul
itu lagi meski mayoritas dari teman di kampus memakai bahasa itu.
“Eh
tapi sebelum pulang, tolong bantu mbak Weni dan Rio antar pesanan meja 10 ya!
Kayaknya para pembisnis sedang dinner bareng
teman pembisnisnya. Loe gak keberatan, kan?”
“Iya
mbak” Aku mengangguk tersenyum.
Pesanannya
adalah masakan khas Jepang seperti, berbagai jenis sushi, sukiyaki, ramen, curry
rice, udon, karaage, yakiniku dan, sashimi.
Mungkin saja yang pesan adalah turis Jepang. Tapi, mengapa hatiku tiba-tiba
jadi gelisah, teringat dengan papa yang sangat suka makanan khas Jepang. Semua hidangan
sudah diborong oleh mas Rio dan mbak Weni, aku hanya kebagian membawa ramen.
Langkahku
semakin dekat dengan meja nomor 10, kira-kira 15 langkah lagi akan sampai. ah ternyata
benar, beberapa di antara mereka adalah orang Jepang. Tepat di langkah ke 12,
tiba-tiba semua berubah menjadi seperti bayangan siluet, mata hanya tertuju
pada satu titik terang. Pada dia, seorang laki-laki yang sangat kuhormati.
Jemari kecil ini gemetar dahsyat hingga sebagian dai kuah ramen telah tumpah.
“Pa
... pa” Mulutku secara reflek memanggil papa yang sedang asik bercengkrama
bersama rekan bisnisnya. Papa terlihat bahagia, tanpa beban meski telah
mengusirku, darah dagingnya sendiri.
“Nayla,
kau ... apa yang sudah kamu lakukan di sini?” Papa sontak berdiri kaget. Mata
kami saling beradu. Tak tahan rasanya, sudah pasti rindu itu ada untuk papa
tapi malu dan takut untuk mengakuinya.
“Pa
... pa” Mulutku terkunci, jika masih mencoba untuk berbicara, air mata akan
tumpah dari wadahnya.
“Kanojo wa dare desu ka?” tanya salah satu teman papa dalam bahasa Jepang,
menanyakan siapakah diriku ini.
“Mōshiwake arimasen” Papa hanya mengatakan maaf pada teman bisnisnya, dengan
menggunakan bahasa Jepang yang sangat sopan.
“Kamu
bikin malu, PERGI .. PERGI DARI HADAPANKU!!!!” Teriak papa seolah mampu
memecahkan genderang telinga yang disertai hujan ludah. Debaran jantung
mengguncang hingga ke ubun-ubun. Bayangan siluet itu telah robek oleh goncangan
murkanya. Hatiku terus berteriak, mencoba membendung rintik air yang jatuh dari
mata agar tak berubah menjadi deras. Dengan berat hati kupasung segala hasrat
kerinduan. Inilah, kepedihan.
Tanpa
banyak bicara, tentu saja aku langsung kembali ke dapur dan secepatnya pulang. Semua
teman karyawan yang mengetahui keributan ini tak berani bertanya dan
membahasnya, seolah telah jelas siapa yang baru saja kutemui tadi. –bersambung-
***
0 komentar:
Posting Komentar