Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Senin, 20 November 2017

Nyanyian dari Surga (bagian 5)

Sumber gambar: https://putianggraini.files.wordpress.com/

Turun dari bemo tak bisa langsung di depan rumah, karena rumah kami ada di gang kecil jadi harus jalan dulu sepanjang 100 meter. Aku berlari, jantung berdetak dengan cepat, nadanya bersahutan seperti sebuah parade.
Assalamualaikum Ibuk ... Asma ...” Dadaku turun-naik, napas seolah telah berada diujung tenggorokan, tersengal-sengal.
Wa’alaikumsalam warahmatullah kamu kenapa, Nak?” tanya ibuk, hawatir.
“Nayla bahagia, Buk.” Aku tersenyum tipis.
“Ya Allah Gusti, Ibuk pikir Nayla kenapa” tukas ibuk, lega.
“Asma mana, Buk?” Aku mendekati pintu kamar Asma dan membukanya sembari memanggil-manggil namanya, “Asma .. Nay masuk ya! As ..” ucapanku terpotong.
Fa nuzulum min hamiim, wa tashliyatul jahiim, inna haazaa lahuwa haqqul-yakiin, fa sabbih bismi robbikal ‘azhiim. Shadaqallahul ‘adzhiim” Asma menutup kitab Al-Quran yang baru saja ia baca. Aku mematung, mendengar suara merdu Asma yang sedang membaca Al-Quran.
“Nayla, ada apa?”
“Ah, tadi surah apa yang kamu baca?” tanyaku, penasaran.
“Itu Surah Al Waqiah, Nay. Jika kita mengamalkannya maka kita akan dijauhkan dari kefakiran dan akan di datangkan rezeki yang tak diduga-duga” jawab Asma.
Subhanallah” Aku tertegun.
“Nay, kamu hari ini terlihat bahagia sekali? Ada apa yaa ... ” tanya Asma, menggodaku.
“Ayo keluar, akan kuceritakan ini pada Asma dan Ibuk!” Asma yang masih berbalut mukenah keluar kamar bersamaku.
“Ibuk, Asma, Alhamdulillah Nay dapat kerja” Tawaku pecah saking bahagianya.
Alhamdulillah, Nay sudah diterima di Late Night Restaurant?” tanya Asma, bahagia.
“Iya Asma, dan beruntungnya lagi, aku tidak apa-apa masuk pukul 15.00 dan pulang pukul 22.00 wib loh.”
“Kok bisa?” Asma heran.
“Sebab, pemilik resto itu adalah teman papanya Rara. Dan beliaulah yang merekomendasikanku” Melihat mataku yang seolah dipenuhi dengan bunga-bunga, tangan ibuk menggapai kemudian memelukku.
“Nak, maafkan ibuk. Kamu jadi harus bersusah payah seperti ini” ucapan ibuk memecah kebahagiaan.
“Ibuk, ini adalah hari bahagia, jangan menangis!” Aku mengusap air mata ibuk dan mencium pipinya.
“Sudah malam, Nak. Pergilah ke kamar untuk beristirahat. Besok hari kerja pertamamu, kan? Doa Ibuk selalu menyertai Nayla dan Asma. Semoga kalian berdua bisa memanfaatkan libur semester ini dengan baik. Dengan bekerja juga belajar” titah Ibuk dengan suara khasnya yang menghangatkan hati.
Bahagia, dan sedih bercampur menjadi satu kesatuan. Ucapan ibuk menjadi beban mental untukku, pasti ibuk merasa sangat bersalah melihat anak manja ini tiba-tiba berjuang menggunakan kekuatannya sendiri. Ini semua adalah takdir, sedang takdir bukanlah kebohongan Tuhan.  
Langit malam ini tampak mendung tapi tak hujan meski telah memasuki musim hujan. Aku bergegas menutup tirai jendela kamar, duduk dan menyeduh teh hangat buatan ibuk, dengan begitu terwakililah semua keluhku hari ini. Hangat dan nikmat sekali kurasa. Yah, inilah kesederhanaan yang telah dilupakan kalangan menengah ke atas seperti mama dan papa.

***

“Buk, begini ya cara bikin donat itu? Duh susahnya. Gimana kalau nanti tidak enak, Buk? Nayla tidak jago gini. Tuh, kan .. hasilnya berantakan” Mulutku terus berbicara, sedangkan tangan sibuk membuat adonan kue donat bersama dengan ibuk.
“Tidak apa-apa Nay, nanti lama-lama juga akan terbiasa. Oh iya, nanti Nay berangkat pukul berapa?”
“Pukul 14.00 wib, Buk. Nay mau ikut training dulu. Kenapa, Buk?”
“Tidak apa-apa, Ibuk Cuma ingin memastikan kalau Nay tidak telat nanti. Tapi apa di sana tetap diizinkan untuk berhijab?”
“Iya Ibuk, boleh berhijab kok. Kalau pun tak boleh, Nay pasti akan keluar dari sana” terangku. “Emmm Buk, Nay juga mau dong ikut mengaji di gurunya Asma” Aku melanjutkan ucapanku dengan mengubah topik pembicaraan.
“Iya sayang, Asma dan Ibuk juga berpikir demikian kok. Hari ini nanti Asma mau meminta izin pada gurunya, jadi hari Ahad nanti Nay bisa ikut pengajian bareng Asma” Ibuk tersenyum lembut.
“Asssikkkkk, Upsss .. Alhamdulillah” Melihat tingkahku, ibuk tertawa seketika.

***
Tepat pukul 14.00 wib, aku sampai di sebuah restoran tempatku bekerja. Restoran jenis kelas menengah ke atas, semua yang ada di restoran ini terlihat sangat mewah. Dimulai dari tempat duduk, lampu, vas bunga, guci, piring, gelas, garpu dan sendoknya. Di sini tersedia banyak makanan kelas dunia seperti makanan klasik khas Italy, khas Jepang, Cina dan khas Indonesia sendiri tentunya.
Posisiku di sini hanyalah sebagai waitress. Semua karyawan tahu tentangku yang bekerja sambil kuliah, harapanku saat ini hanyalah; semoga tak ada yang menaruh rasa iri.
Mondar-mandir, dari satu meja ke meja yang lainnya. Mengantar makanan, membersikan meja, menerima komplain pelanggan, sungguh melelahkan. Ingin rasanya menangis dan pergi pulang memeluk dan mengeluh pada ibuk. Tapi mana mungkin? Kalau aku seperti itu, ibuk akan merasa bersalah lagi padaku. Waktu tepat menunjukkan pukul 21.50 wib.
“Jam kerjamu sudah mau habis, bersih-bersihlah, kemudin pulang! Semoga kamu betah ya di sini” kata seorang wanita paruh baya yang bertugas membuat kue di resto ini.
“Iya, Bu Ani. Terima kasih”
Setelah bersih-bersih, aku bergegas pulang. Seperti biasa, bemo selalu setia untuk mengantarkan. Setibanya di rumah, ibuk dan Asma memberikan sambutan yang mampu menghilangkan rasa capek. Mereka menanyakan tentang pekerjaanku hari ini, dan aku bilang bahwa hari ini sangat menyenangkan.
Kali ini bukan teh hangat, tapi coklat panas yang ibu buatkan. Ah, tiba-tiba rintik hujan turun perlahan tapi pasti. Kurasa malam ini tidurku akan damai ditemani dengan sejuknya hawa sebab hujan. Selamat malam Ibuk, Asma, Papa, Mama, dan dunia. –bersambung-

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...