Turun
dari bemo tak bisa langsung di depan rumah, karena rumah kami ada di gang kecil
jadi harus jalan dulu sepanjang 100 meter. Aku berlari, jantung berdetak dengan
cepat, nadanya bersahutan seperti sebuah parade.
“Assalamualaikum Ibuk ... Asma ...” Dadaku
turun-naik, napas seolah telah berada diujung tenggorokan, tersengal-sengal.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah kamu
kenapa, Nak?” tanya ibuk, hawatir.
“Nayla
bahagia, Buk.” Aku tersenyum tipis.
“Ya
Allah Gusti, Ibuk pikir Nayla kenapa” tukas ibuk, lega.
“Asma
mana, Buk?” Aku mendekati pintu kamar Asma dan membukanya sembari memanggil-manggil
namanya, “Asma .. Nay masuk ya! As ..” ucapanku terpotong.
“Fa nuzulum min hamiim, wa tashliyatul
jahiim, inna haazaa lahuwa haqqul-yakiin, fa sabbih bismi robbikal ‘azhiim. Shadaqallahul
‘adzhiim” Asma menutup kitab Al-Quran yang baru saja ia baca. Aku mematung,
mendengar suara merdu Asma yang sedang membaca Al-Quran.
“Nayla,
ada apa?”
“Ah,
tadi surah apa yang kamu baca?” tanyaku, penasaran.
“Itu
Surah Al Waqiah, Nay. Jika kita mengamalkannya maka kita akan dijauhkan dari
kefakiran dan akan di datangkan rezeki yang tak diduga-duga” jawab Asma.
“Subhanallah” Aku tertegun.
“Nay,
kamu hari ini terlihat bahagia sekali? Ada apa yaa ... ” tanya Asma,
menggodaku.
“Ayo
keluar, akan kuceritakan ini pada Asma dan Ibuk!” Asma yang masih berbalut
mukenah keluar kamar bersamaku.
“Ibuk,
Asma, Alhamdulillah Nay dapat kerja”
Tawaku pecah saking bahagianya.
“Alhamdulillah, Nay sudah diterima di Late
Night Restaurant?” tanya Asma, bahagia.
“Iya
Asma, dan beruntungnya lagi, aku tidak apa-apa masuk pukul 15.00 dan pulang
pukul 22.00 wib loh.”
“Kok
bisa?” Asma heran.
“Sebab,
pemilik resto itu adalah teman papanya Rara. Dan beliaulah yang
merekomendasikanku” Melihat mataku yang seolah dipenuhi dengan bunga-bunga,
tangan ibuk menggapai kemudian memelukku.
“Nak,
maafkan ibuk. Kamu jadi harus bersusah payah seperti ini” ucapan ibuk memecah
kebahagiaan.
“Ibuk,
ini adalah hari bahagia, jangan menangis!” Aku mengusap air mata ibuk dan
mencium pipinya.
“Sudah
malam, Nak. Pergilah ke kamar untuk beristirahat. Besok hari kerja pertamamu,
kan? Doa Ibuk selalu menyertai Nayla dan Asma. Semoga kalian berdua bisa
memanfaatkan libur semester ini dengan baik. Dengan bekerja juga belajar” titah
Ibuk dengan suara khasnya yang menghangatkan hati.
Bahagia,
dan sedih bercampur menjadi satu kesatuan. Ucapan ibuk menjadi beban mental
untukku, pasti ibuk merasa sangat bersalah melihat anak manja ini tiba-tiba
berjuang menggunakan kekuatannya sendiri. Ini semua adalah takdir, sedang
takdir bukanlah kebohongan Tuhan.
Langit
malam ini tampak mendung tapi tak hujan meski telah memasuki musim hujan. Aku
bergegas menutup tirai jendela kamar, duduk dan menyeduh teh hangat buatan ibuk,
dengan begitu terwakililah semua keluhku hari ini. Hangat dan nikmat sekali
kurasa. Yah, inilah kesederhanaan yang telah dilupakan kalangan menengah ke
atas seperti mama dan papa.
***
“Buk,
begini ya cara bikin donat itu? Duh susahnya. Gimana kalau nanti tidak enak,
Buk? Nayla tidak jago gini. Tuh, kan .. hasilnya berantakan” Mulutku terus
berbicara, sedangkan tangan sibuk membuat adonan kue donat bersama dengan ibuk.
“Tidak
apa-apa Nay, nanti lama-lama juga akan terbiasa. Oh iya, nanti Nay berangkat pukul
berapa?”
“Pukul
14.00 wib, Buk. Nay mau ikut training
dulu. Kenapa, Buk?”
“Tidak
apa-apa, Ibuk Cuma ingin memastikan kalau Nay tidak telat nanti. Tapi apa di
sana tetap diizinkan untuk berhijab?”
“Iya
Ibuk, boleh berhijab kok. Kalau pun tak boleh, Nay pasti akan keluar dari sana”
terangku. “Emmm Buk, Nay juga mau dong ikut mengaji di gurunya Asma” Aku
melanjutkan ucapanku dengan mengubah topik pembicaraan.
“Iya
sayang, Asma dan Ibuk juga berpikir demikian kok. Hari ini nanti Asma mau
meminta izin pada gurunya, jadi hari Ahad nanti Nay bisa ikut pengajian bareng
Asma” Ibuk tersenyum lembut.
“Asssikkkkk,
Upsss .. Alhamdulillah” Melihat
tingkahku, ibuk tertawa seketika.
***
Tepat
pukul 14.00 wib, aku sampai di sebuah restoran tempatku bekerja. Restoran jenis
kelas menengah ke atas, semua yang ada di restoran ini terlihat sangat mewah.
Dimulai dari tempat duduk, lampu, vas bunga, guci, piring, gelas, garpu dan
sendoknya. Di sini tersedia banyak makanan kelas dunia seperti makanan klasik
khas Italy, khas Jepang, Cina dan khas Indonesia sendiri tentunya.
Posisiku
di sini hanyalah sebagai waitress.
Semua karyawan tahu tentangku yang bekerja sambil kuliah, harapanku saat ini
hanyalah; semoga tak ada yang menaruh rasa iri.
Mondar-mandir,
dari satu meja ke meja yang lainnya. Mengantar makanan, membersikan meja,
menerima komplain pelanggan, sungguh melelahkan. Ingin rasanya menangis dan
pergi pulang memeluk dan mengeluh pada ibuk. Tapi mana mungkin? Kalau aku
seperti itu, ibuk akan merasa bersalah lagi padaku. Waktu tepat menunjukkan
pukul 21.50 wib.
“Jam
kerjamu sudah mau habis, bersih-bersihlah, kemudin pulang! Semoga kamu betah ya
di sini” kata seorang wanita paruh baya yang bertugas membuat kue di resto ini.
“Iya,
Bu Ani. Terima kasih”
Setelah
bersih-bersih, aku bergegas pulang. Seperti biasa, bemo selalu setia untuk
mengantarkan. Setibanya di rumah, ibuk dan Asma memberikan sambutan yang mampu
menghilangkan rasa capek. Mereka menanyakan tentang pekerjaanku hari ini, dan
aku bilang bahwa hari ini sangat menyenangkan.
Kali
ini bukan teh hangat, tapi coklat panas yang ibu buatkan. Ah, tiba-tiba rintik hujan
turun perlahan tapi pasti. Kurasa malam ini tidurku akan damai ditemani dengan
sejuknya hawa sebab hujan. Selamat malam Ibuk, Asma, Papa, Mama, dan dunia. –bersambung-
0 komentar:
Posting Komentar