Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Minggu, 05 November 2017

Mama, Aku Ingin Hidup.


sumber gambar : google.com


Berusia 10 tahun, berwajah imut dengan rambut dikepang mirip seperti “Elsa”, tokoh dalam film kesukaannya. Berkulit kuning langsat, dan berbadan mungil seperti pisang ulin. Hampir setiap hari sepulang sekolah, selalu memakai kaos oblong kesukaannya yang bergambar Frozen.



Ulin dan mamanya tinggal di tempat terpencil, jaraknya 3 kilometer menuju pemukiman. Di sebuah rumah yang ukurannya hanya 3x4 meter dan satu kamar mandi di dalamnya. Hanya ada alas karpet untuk tidur, dua bantal bergambar Frozen berserakan di lantai. Di pojokan, tepat di sebelah pintu kamar mandi ada sebuah mesin jahit dan lemari kecil yang penuh dengan stiker Frozen, di situlah tersimpan pakaian hasil jahitan mamanya. Sebuah jam dinding bergambar Frozen digantungkan di atas pintu kamar mandi, itu adalah salah satu benda favoritnya.
Malam semakin larut, rintik-rintik hujan juga tak kunjung berhenti, iramanya yang nyaring seolah beraransemen dengan suara mesin jahit milik bu Risa, mama Ulin yang masih tetap terlihat cantik di usianya yang menginjak 36 tahun. Detik jam terus berputar dengan konsisten, menambah kemerduan pada aransemen malam ini. Ditambah lagi, suara nyanyian Ulin yang dilantunkan dengan merdu, sedangkan tangan kidalnya asik menggambar “Elsa”, tokoh utama film Frozen di selembar kertas.
“Satu, satu, aku sayang Mama. Dua, dua, juga sayang Ayah. Tiga, tiga, sayang adik kakak. Satu, dua, tiga, sayang semuanya. Satu, dua, tiga, sayang semuanya ... ”
“Ini sudah malam, Nak. Lekaslah tidur!” titah mama kepada Ulin dengan sabarnya, sambil sibuk menjahit pakaian pesanan pelanggan.
“Ma ... Mama, bagaimana rasanya punya seorang Ayah, Ma?” tanya gadis pecinta Frozen itu, tak mengindahkan perintah mamanya.
“Ahhhhh ... sudah larut sekali, sepertinya Mama harus berhenti bekerja.” Bu Risa mengalihkan pembicaraan. Wajahnya pucat pasi, bibir bergetar diiringi napas yang keluar masuk tak beraturan. Perasaannya menjadi gelisah, terbang melanglang menelanjangi pikiran. Ia mematikan lampu, kemudian bergegas tidur. Air mata yang mulai merebak bersembunyi di dalam gelapnya ruangan.
“Mama, kenapa dimatikan lampunya? Ulin sedang menggambar ‘Elsa’, Ma.” Protes Ulin. Tapi, mamanya sama sekali tak menjawab.
Karena takut gelap, akhirnya Ulin berhenti menggambar dan lekas tidur di samping mamanya.

***

            Langit kembali dirujuk matahari, sisa dingin semalam masih terasa, menjadikan sejuk kota Buana. Terlihat gadis pencinta Frozen itu tengah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Entah apa yang terjadi, dia yang biasanya sangat antusias jadi terlihat muram.
            “Ada apa, Nak?” tanya mama, heran.
Ulin menghela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan sambil berkata, “Ma, Ulin tidak terlalu suka kehidupan di luar rumah. Ulin di rumah saja ya? Bantu-bantu mama.” Suaranya menjadi berat.
            “Ada apa, Sayang? Ulin cerita sama Mama, ya!” tanya mama, hawatir.
            “Teman-teman panggil Ulin dengan sebutan pisang. Mama sih, ngasih nama kok mirip pisang.” Bibirnya cemberut. Ulin terdiam sejenak, lalu melanjutkan ucapannya, “Ma, sebenarnya bukan karena itu Ulin malas sekolah. Tapi karena mereka terus bertanya siapa nama Ayah Ulin. Kalau tanya Mama, pasti Mama marah. Ulin jadi bingung harus jawab apa, Ma.” Suaranya parau, matanya merebak berbinar. Ia seperti sedang menahan tangis.
            Mama langsung memeluknya, “Maafkan Mama sayang, maafkan Mama.” Meski Ulin sudah hampir menangis, mamanya tetap saja membisu.
           
***
           
            Ulin, anak dengan status sosial menengah ke bawah bisa bersekolah di sekolahan elit, semua orang pasti menganggap ia beruntung karena pintar, tapi bencana bagi Ulin karena dia selalu dipandang sebelah mata oleh teman-temannya. Dari sekian banyaknya siswa hanya satu yang tidak pernah menganggap Ulin berbeda, dialah Prasetya. Kakak kelas di tingkat enam. Mereka sudah pernah bertemu sebelum Ulin masuk ke sekolah elit ini. Waktu itu Prass terjebak di bawah pohon, tidak bisa pulang karena kondisi hujan deras. Ulin yang kebetulan lewat, memberinya sebuah payung sambil berkata,
“Lihatlah wajahmu pucat hanya karena air hujan. Pakailah payungku.” Ulin melemparkan payungnya ke arah Prass, kemudian ia berlari tanpa sedikit pun menoleh. Entah saat itu apa yang diucapkan Prass, Ulin tak mendengarnya.
Saat mereka berada di satu atap sekolah yang sama, Prass selalu ingin berteman baik dengan Ulin. Setiap hari ia pergi ke perpustakaan hanya untuk mengajak Ulin berbicara.
Kegiatan Ulin saat istirahat hanya membaca buku di perpustakaan, kadang ia datang hanya untuk menggambar “Elsa”, tokoh disney kesukaannya. Kali ini, Ulin di dalam kelas sendirian. Ia merasa jika di dalam kelas, Prass tidak akan mengajaknya bicara. Dia terlalu takut dengan teman-temannya yang kebanyakan adalah anak orang kaya.
Triana, seorang anak perempuan berambut panjang yang biasa dipanggil dengan sebutan ketua kelas tiba-tiba menggebrak bangku Ulin hingga mengejutkannya, “Heh, pisang Ulin, harus berapa kali aku berkata. Aku ini butuh biodata semua anak di kelas, untuk mengikuti study tour bulan depan. Kenapa nama Ayahmu tidak diisi? Apa kamu malu karena nama Ayahmu jelek? Apa kamu benci sama Ayahmu? Atau kamu itu tidak punya Ayah, seperti di tivi-tivi itu? Anak haram?” Ucapannya begitu menyakitkan, membuat Ulin sontak menampar Triana. Karena tidak terima, Triana balas memukul Ulin.
Salah satu anak berlari sambil berteriak, “Ada yang bertengkar di kelas 1A.” Prass yang mendengar keributan ini langsung berlari menuju kelas Ulin, ia berusaha melerai. Sesaat kemudian Pak Rio selaku guru BP, datang. Menarik tangan Ulin, bermaksud menghentikan perkelahian. Seketika semua terdiam.
            “Semuanya bubar! Ulin, cepat minta maaf kepada Triana!” perintah Pak Rio, membentak. Semua anak termasuk Prass ikut bubar karena takut pada pak Rio yang terkenal galak.
            “Kenapa Ulin saja yang minta maaf? Triana yang memulainya.” sergahnya, kesal.
            “Triana, pergilah ke UKS, untuk mengobati luka di pipimu. Sedangkan Ulin, ikut Bapak ke ruang BP!” Ulin yang merasa diperlakukan tidak adil tetap mengikuti perintah Pak Rio. Memasuki ruangan yang ditakuti oleh semua anak di sekolah.
            Pak Rio menutup pintu ruang BP yang kedap suara itu, menghela napas, menata suaranya yang keras dan menakutkan, “Kamu itu pintar, masuk dengan beasiswa. Tapi kamu miskin. Sedangkan Triana adalah anak dari penyumbang terbanyak untuk sekolah ini. Kamu yang hanya bermodal pintar bisa kapan pun di keluarkan dari sekolah ini.” Napas Pak Rio memburu, matanya melotot bersama merah wajahnya. Umpama ada cermin mungkin sudah pecah perkeping-keping.
            “Ulin tetap tidak akan minta maaf kepada Triana, meski Ulin harus dikeluarkan dari sekolah ini.” Tatapannya tajam menatap Pak Rio, seolah menantang. Ulin melangkahkan kakinya ke belakang sebanyak dua langkah, kemudian dia membuka pintu dan berlari meninggalkan ruangan menyeramkan itu.
            Bukan hanya meninggalkan ruangan Pak Rio, tapi Ulin juga pergi meninggalkan sekolah sembari menggendong tas ranselnya dengan perasaan takut. Ia sadar, cepat atau lambat, ia akan dikeluarkan dari sekolah karena perbuatannya yang tidak mau mematuhi perintah Pak Rio.
            Di sisi lain, Pak Rio bingung karena Triana mengadu pada mamanya yang seorang konglomerat itu. Pak Rio mencoba membujuk mama Triana agar menyelesaikan masalah ini dengan damai. Mama Triana tak terima, ia mengancam akan melaporkan sekolahan elit ini jika Ulin atau orang tuanya tidak dihukum. Dengan berat hati, Pak Rio memilih menyelamatkan sekolahan dan memberikan alamat rumah Ulin kepada nyonya konglomerat.

***

            Ulin merasa bersalah, tiba-tiba ia takut jika mamanya tahu dan kecewa. Terdiam seorang diri di taman bunga yang jalannya searah dengan rumah Ulin. Di tempat ini juga, ia biasa menggambar Frozen. Ulin mengeluarkan buku gambarnya, menatapnya lamat-lamat.
            “Kamu sangat suka denga ‘Elsa’, ya?” Suara anak laki-laki membangunkan Ulin dari lamunan.
            “Ke, kenapa kamu ada di sini, Kak Prass?” tanya ulin, terbata karena heran.
            “Aku melihatmu keluar dari sekolahan, lalu mengikutimu. Tenang saja, aku bisa beralasan sakit jika guru mencariku.” Prass berhenti sejenak, menatap Ulin penuh dengan iba.
“Jadi, kenapa kamu sangat suka dengan ‘Elsa’? Kalau kau menjawabnya, aku akan memberimu stiker Frozen yang terbaru.” Dia melanjutkan ucapannya. Mencoba menghibur.
            “Benarkah?” Ekspresi Ulin berubah 180 derajat, nanarnya seolah dipenuhi bintang-bintang.
            “Karena Elsa itu berbeda. Dia diisolasikan karena berbeda dengan yang lainnya. Suatu saat di akhir cerita, ia berhasil mengubah perbedaan itu menjadi keajaiban dengan sebuah cinta. Ulin berharap, bisa seperti Elsa, membuat keajaiban untuk Mama suatu hari nanti. Tentu saja dengan sebuah cinta dari Ulin untuk Mama.” Ulin menjawab serius pertanyaan Prass.
            Prass memberikan stiker yang telah ia janjikan tadi.
            “Ulin, biar kuantar pulang. Aku akan menjelaskan masalah ini ke Mamamu agar kamu tak kena marah.”

***

            Dari kejauhan Ulin terheran, mengapa ada mobil mewah di depan rumahnya. Semakin dekat langkahnya menuju rumah, semakin terdengar suara adu mulut mamanya dengan seorang wanita.
“Dasar kau, Pelacur ... seenaknya menjungkirbalikkan rasa.” Teriak seorang wanita dari dalam rumah Ulin.
            Mendengar suara itu, Ulin dan Prass serentak berlari masuk ke dalam rumah.
            “Mama, apa yang terjadi? Kenapa ada Triana dan Mamanya di sini?” tanya Ulin, heran. Ia seperti lupa bahwa tindakannya itulah yang telah mempertemukan mama dengan orang-orang di masa lalu yang ingin dilupakan oleh sang mama. Walau bagaimana pun, Ulin tak tahu apa-apa. Mama tidak pernah menyalahkan Ulin. Mamanya hanya takut jika Ulin tahu kebenarannya, dan tak bisa lagi hidup dengan normal.
            “Oh, jadi kamu yang bernama Ulin? Gadis berkepang yang sudah melukai wajah cantik anakku. Aku datang ke sini untuk meminta pertanggungjawaban orangtuamu atas apa yang sudah kamu perbuat. Tak kusangka, malah bertemu perempuan yang selama ini kucari. Eits, bukan aku saja yang mencarinya, tapi banyak dari istri konglomerat mencarinya. Dia sudah merayu banyak sekali laki-laki, paling banyak korbannya adalah konglomerat. Karena tindakannya ini, rumah tangga orang jadi rusak. Mamamu harus bertanggungjawab, adikku bunuh diri karena tahu suaminya telah jatuh hati pada paras sok cantik itu.”
            “Hentikan, kumohon hentikan, jangan melibatkan anak-anak.” Mama Ulin memotong pembicaraan. Napasnya terengah-engah, tangan kanannya memegang dada seperti seseorang yang habis berlari jauh.
            Tangisan Ulin pecah tak terbendung, “Ma, Mama ... benarkah semua ini?” Hati Ulin seperti ditikam sebuah sabit, perasaannya hancur karena telah dipermainkan oleh semesta. Dengan samar-samar, sebuah irama kemarahan menelisik ke dalam relungnya, merubah delusi serupa abu-abu. Jatuh ke dalam hipnotis kemarahan hingga lupa betapa besar cinta untuk mamanya. Langkahnya semakin ke belakang mendekati pintu.
            Prass mematung, tercengang lengang, suaranya lenyap ditikam udara yang kian panas di ruangan itu. Tak ada yang bisa dilakukan oleh anak usia 12 tahun sepertinya. Dia, bagaikan saksi bisu.
            “Ulin, kumohon dengarkan Mama, Nak!” Tangisan mamanya tak lagi menjadi alasan bagi Ulin untuk kembali.
            Lamunan Prass pecah, ketika melihat Ulin berlari meninggalkan rumahnya, ia pun ikut berlari mengejar Ulin.
            “Saya berjanji, saya akan mengejar Ulin dan membawanya pulang.” kata Prass kepada bu Risa, sembari ia bergegas mengejar Ulin.
            Triana dan mamanya ikut pergi dari rumah Ulin. Nyonya kaya raya itu mengambil handphone dari dalam tas, menggeser layar kuncinya sambil tersenyum jahat. Seperti akan merencanakan sesuatu bersama teman-teman konglomeratnya.

***

            Prass berlarian mencari Ulin, tak menghiraukan suara handphone-nya yang sejak tadi berdering. Karena merasa kesal dengan suara yang tak kunjung berhenti, ia mengambil Hp dari dalam sakunya, “Iya halo Ma, Prass baik-baik saja. Prass sedang membantu teman yang dulu pernah menolong Prass. Mama ingat kan? Anak perempuan yang memberi Prass payung? Berkat bantuannya, Prass tidak perlu masuk UGD waktu itu. Prass tutup dulu teleponnya.”
            Langkahnya tiba-tiba terhenti di pintu taman, tempat dia bertemu dengan Ulin siang tadi. Ia melihat Ulin menangis di atas ayunan kursi panjang, seorang diri.
            “Ayo, pulang! Matahari sudah mulai menghilang, nanti taman ini jadi gelap loh.” Prass mengulurkan tangannya kepada Ulin.
            “Aku benci sama Mama.” Isak tangisnya tak berhenti sejak tadi.
            Prass menarik kembali tangannya, kemudian duduk di sebelah Ulin.
            “Ulin bilang mencintai Mama, kan? Lalu mengapa kamu tak mau mendengar penjelasan dari Mama? Walaupun benar bahwa Mama Ulin adalah seorang tunasusila, tak sepantasnya meninggalkan Mama yang sudah sebatang kara. Tak maukah, kamu berjuang bersama lagi? Bukankah ‘Elsa’ menyelamatkan adiknya juga dengan sebuah cinta? Aku hanya tak mau Ulin menyesal nantinya. Mama sudah berubah sejak Ulin ada di dunia ini.”
            “Tapi, Mamanya Tiara bilang, ...”
            “Percayalah pada Mama kamu, bukan Mamanya Triana. Laki-laki konglomerat itu juga salah, telah jatuh cinta pada Mama Ulin yang cantik.” Prass memotong.
            Ulin berpikir sesaat, “Kak Prass benar, mungkin dengan cinta, Ulin bisa menyelamatkan Mama. Aku juga tak akan pernah menyesal punya Mama mantan seorang pelacur. Mama pasti sudah menjalani kehidupan yang berat selama ini. Aku harus bertemu kembali, Kak.” Tangisnya semakin menjadi-jadi, tak terbendung.

***

            Dari jauh terlihat pemandangan yang membuat degup jantung Ulin sesaat seperti terhenti, ada 10 nyonya konglomerat bergincu merah, memerintah ajudannya melempari rumah Ulin dengan batu dan kayu, dua di antaranya menyiram rumah menggunakan minyak gas. Satu dari 10 nyonya konglomerat melempar sebuah korek api yang sudah dinyalakan. Mereka tertawa jahat bak penyihir yang habis melumat mangsanya, kemudian pergi setelah perutnya kenyang. Sadis.
            Di dalam api yang masih menjalar kecil, Ulin nekat masuk ke dalam rumah. Prass mencoba menghentikan, tapi tak bisa karena jarak lari mereka terlalu jauh. Langkah Prass terhenti tepat di pintu masuk yang telah tertutup api. Ia mengambil Hp, bermaksud meminta bantuan kepada mamanya.
            “Sial, kenapa handphone-ku bisa lowbet.” Tanpa pikir panjang, Prass berlari menuju pemukiman untuk meminta tolong. Pikirannya tertekan, detak jantungnya berdegup kencang. Fisik yang lemah membuat kesadarannya kian menghilang dan pingsan di tengah perjalanan menuju pemukiman.
           
***
           
            Di dalam rumah yang telah tertutup oleh api, Ulin melihat mamanya terbaring tak berdaya. Air matanya tak berjeda, mirip dengan hujan kemarin yang menjadi malam terakhirnya bersama mama.
            “Ma, Mama kenapa tidak lari dari sini? Mama ayo kita keluar, di sini sangat panas.”
            “Ulin, maafkan Mama. Maaf karena sudah melahirkan kamu dari laki-laki yang tak jelas keberadaannya. Maafkan Mama. Maaf, maaf Ulin. Maafkan Mama. Tolong Ulin keluar, gunakan selimut ini untuk menutupi tubuhmu, Nak.” Mamanya tak bisa lagi berdiri, penyakit yang selama ini tak dirasakan, telah benar-benar menghampiri. Pikirannya tak bisa menahan tekanan lagi.
            “Mama, aku ingin hidup. Tapi bersama dengan Mama. Tutuplah mata Mama, aku akan tidur di samping Mama seperti kemarin-kemarin. Ulin bersama Mama, dan semua gambar Frozen kesukaan Ulin.” Ulin berbaring di samping mamanya, mereka saling berpelukan hingga Si Jago Merah melumat habis rumah beserta isinya.
           
“Mimpi seorang anak yang ingin menyelamatkan mamanya dengan sebuah cinta, telah karam. Tenggelam bersama sisa-sisa kenangan yang mereka simpan dengan rapat. Adakah keadilan? Bagi yang tersisih seperti mereka? Bahkan semesta tak lagi berpihak pada mereka. Lalu, bagaimana dengan sang waktu? Apa dia juga tak berpihak?

Peluh dan keluh mengakar merajam di setiap napas yang mereka hembuskan. Kini, napas tak lagi berhembus. Jadi, apa mereka sudah bahagia? Entahlah ... semoga di dunia sana mereka menjelma bidadari. Hidup bahagia seperti impian sang anak kepada mamanya.

Bukankah ini romantis?Bahkan pengorbanannya, jauh lebih romantis dari Romeo kepada Juliet.

Tragis ...”

2 komentar:

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...