sumber gambar : google.com
Berusia 10 tahun, berwajah imut
dengan rambut dikepang mirip seperti “Elsa”, tokoh dalam film kesukaannya. Berkulit
kuning langsat, dan berbadan mungil seperti pisang ulin. Hampir setiap hari
sepulang sekolah, selalu memakai kaos oblong kesukaannya yang bergambar Frozen.
Ulin dan mamanya tinggal di tempat
terpencil, jaraknya 3 kilometer menuju pemukiman. Di sebuah rumah yang
ukurannya hanya 3x4 meter dan satu kamar mandi di dalamnya. Hanya ada alas
karpet untuk tidur, dua bantal bergambar Frozen
berserakan di lantai. Di pojokan, tepat di sebelah pintu kamar mandi ada sebuah mesin
jahit dan lemari kecil yang penuh dengan stiker Frozen, di situlah tersimpan pakaian hasil jahitan mamanya. Sebuah
jam dinding bergambar Frozen digantungkan
di atas pintu kamar mandi, itu adalah salah satu benda favoritnya.
Malam semakin larut, rintik-rintik hujan
juga tak kunjung berhenti, iramanya yang nyaring seolah beraransemen dengan suara
mesin jahit milik bu Risa, mama Ulin yang masih tetap terlihat cantik di
usianya yang menginjak 36 tahun. Detik jam terus berputar dengan konsisten, menambah
kemerduan pada aransemen malam ini. Ditambah lagi, suara nyanyian Ulin yang
dilantunkan dengan merdu, sedangkan tangan kidalnya asik menggambar “Elsa”, tokoh
utama film Frozen di selembar kertas.
“Satu, satu, aku sayang Mama. Dua, dua,
juga sayang Ayah. Tiga, tiga, sayang adik kakak. Satu, dua, tiga, sayang
semuanya. Satu, dua, tiga, sayang semuanya ... ”
“Ini sudah malam, Nak. Lekaslah tidur!”
titah mama kepada Ulin dengan sabarnya, sambil sibuk menjahit pakaian pesanan
pelanggan.
“Ma ... Mama, bagaimana rasanya punya
seorang Ayah, Ma?” tanya gadis pecinta Frozen
itu, tak mengindahkan perintah mamanya.
“Ahhhhh ... sudah larut sekali,
sepertinya Mama harus berhenti bekerja.” Bu Risa mengalihkan pembicaraan. Wajahnya
pucat pasi, bibir bergetar diiringi napas yang keluar masuk tak beraturan.
Perasaannya menjadi gelisah, terbang melanglang menelanjangi pikiran. Ia mematikan
lampu, kemudian bergegas tidur. Air mata yang mulai merebak bersembunyi di
dalam gelapnya ruangan.
“Mama, kenapa dimatikan lampunya? Ulin
sedang menggambar ‘Elsa’, Ma.” Protes Ulin. Tapi, mamanya sama sekali tak
menjawab.
Karena takut gelap, akhirnya Ulin
berhenti menggambar dan lekas tidur di samping mamanya.
***
Langit kembali dirujuk matahari, sisa
dingin semalam masih terasa, menjadikan sejuk kota Buana. Terlihat gadis
pencinta Frozen itu tengah
bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Entah apa yang terjadi, dia yang biasanya
sangat antusias jadi terlihat muram.
“Ada apa, Nak?” tanya mama, heran.
Ulin menghela napas panjang, lalu
menghembuskannya perlahan sambil berkata, “Ma, Ulin tidak terlalu suka
kehidupan di luar rumah. Ulin di rumah saja ya? Bantu-bantu mama.” Suaranya
menjadi berat.
“Ada apa, Sayang? Ulin cerita sama
Mama, ya!” tanya mama, hawatir.
“Teman-teman panggil Ulin dengan
sebutan pisang. Mama sih, ngasih nama kok mirip pisang.” Bibirnya cemberut. Ulin
terdiam sejenak, lalu melanjutkan ucapannya, “Ma, sebenarnya bukan karena itu
Ulin malas sekolah. Tapi karena mereka terus bertanya siapa nama Ayah Ulin. Kalau
tanya Mama, pasti Mama marah. Ulin jadi bingung harus jawab apa, Ma.” Suaranya
parau, matanya merebak berbinar. Ia seperti sedang menahan tangis.
Mama langsung memeluknya, “Maafkan
Mama sayang, maafkan Mama.” Meski Ulin sudah hampir menangis, mamanya tetap
saja membisu.
***
Ulin, anak dengan status sosial
menengah ke bawah bisa bersekolah di sekolahan elit, semua orang pasti menganggap
ia beruntung karena pintar, tapi bencana bagi Ulin karena dia selalu dipandang
sebelah mata oleh teman-temannya. Dari sekian banyaknya siswa hanya satu yang
tidak pernah menganggap Ulin berbeda, dialah Prasetya. Kakak kelas di tingkat enam.
Mereka sudah pernah bertemu sebelum Ulin masuk ke sekolah elit ini. Waktu itu Prass
terjebak di bawah pohon, tidak bisa pulang karena kondisi hujan deras. Ulin
yang kebetulan lewat, memberinya sebuah payung sambil berkata,
“Lihatlah wajahmu pucat hanya karena air
hujan. Pakailah payungku.” Ulin melemparkan payungnya ke arah Prass, kemudian
ia berlari tanpa sedikit pun menoleh. Entah saat itu apa yang diucapkan Prass,
Ulin tak mendengarnya.
Saat mereka berada di satu atap sekolah
yang sama, Prass selalu ingin berteman baik dengan Ulin. Setiap hari ia pergi
ke perpustakaan hanya untuk mengajak Ulin berbicara.
Kegiatan Ulin saat istirahat hanya
membaca buku di perpustakaan, kadang ia datang hanya untuk menggambar “Elsa”,
tokoh disney kesukaannya. Kali ini,
Ulin di dalam kelas sendirian. Ia merasa jika di dalam kelas, Prass tidak akan
mengajaknya bicara. Dia terlalu takut dengan teman-temannya yang kebanyakan
adalah anak orang kaya.
Triana, seorang anak perempuan berambut
panjang yang biasa dipanggil dengan sebutan ketua kelas tiba-tiba menggebrak
bangku Ulin hingga mengejutkannya, “Heh, pisang Ulin, harus berapa kali aku
berkata. Aku ini butuh biodata semua anak di kelas, untuk mengikuti study tour bulan depan. Kenapa nama Ayahmu
tidak diisi? Apa kamu malu karena nama Ayahmu jelek? Apa kamu benci sama
Ayahmu? Atau kamu itu tidak punya Ayah, seperti di tivi-tivi itu? Anak haram?” Ucapannya
begitu menyakitkan, membuat Ulin sontak menampar Triana. Karena tidak terima,
Triana balas memukul Ulin.
Salah satu anak berlari sambil berteriak,
“Ada yang bertengkar di kelas 1A.” Prass yang mendengar keributan ini langsung berlari
menuju kelas Ulin, ia berusaha melerai. Sesaat kemudian Pak Rio selaku guru BP,
datang. Menarik tangan Ulin, bermaksud menghentikan perkelahian. Seketika semua
terdiam.
“Semuanya bubar! Ulin, cepat minta
maaf kepada Triana!” perintah Pak Rio, membentak. Semua anak termasuk Prass
ikut bubar karena takut pada pak Rio yang terkenal galak.
“Kenapa Ulin saja yang minta maaf?
Triana yang memulainya.” sergahnya, kesal.
“Triana, pergilah ke UKS, untuk
mengobati luka di pipimu. Sedangkan Ulin, ikut Bapak ke ruang BP!” Ulin yang
merasa diperlakukan tidak adil tetap mengikuti perintah Pak Rio. Memasuki
ruangan yang ditakuti oleh semua anak di sekolah.
Pak Rio menutup pintu ruang BP yang
kedap suara itu, menghela napas, menata suaranya yang keras dan menakutkan, “Kamu
itu pintar, masuk dengan beasiswa. Tapi kamu miskin. Sedangkan Triana adalah
anak dari penyumbang terbanyak untuk sekolah ini. Kamu yang hanya bermodal
pintar bisa kapan pun di keluarkan dari sekolah ini.” Napas Pak Rio memburu,
matanya melotot bersama merah wajahnya. Umpama ada cermin mungkin sudah pecah
perkeping-keping.
“Ulin tetap tidak akan minta maaf
kepada Triana, meski Ulin harus dikeluarkan dari sekolah ini.” Tatapannya tajam
menatap Pak Rio, seolah menantang. Ulin melangkahkan kakinya ke belakang sebanyak
dua langkah, kemudian dia membuka pintu dan berlari meninggalkan ruangan
menyeramkan itu.
Bukan hanya meninggalkan ruangan Pak
Rio, tapi Ulin juga pergi meninggalkan sekolah sembari menggendong tas
ranselnya dengan perasaan takut. Ia sadar, cepat atau lambat, ia akan
dikeluarkan dari sekolah karena perbuatannya yang tidak mau mematuhi perintah
Pak Rio.
Di sisi lain, Pak Rio bingung karena
Triana mengadu pada mamanya yang seorang konglomerat itu. Pak Rio mencoba
membujuk mama Triana agar menyelesaikan masalah ini dengan damai. Mama Triana tak
terima, ia mengancam akan melaporkan sekolahan elit ini jika Ulin atau orang tuanya
tidak dihukum. Dengan berat hati, Pak Rio memilih menyelamatkan sekolahan dan memberikan
alamat rumah Ulin kepada nyonya konglomerat.
***
Ulin merasa bersalah, tiba-tiba ia
takut jika mamanya tahu dan kecewa. Terdiam seorang diri di taman bunga yang
jalannya searah dengan rumah Ulin. Di tempat ini juga, ia biasa menggambar Frozen. Ulin mengeluarkan buku
gambarnya, menatapnya lamat-lamat.
“Kamu sangat suka denga ‘Elsa’, ya?”
Suara anak laki-laki membangunkan Ulin dari lamunan.
“Ke, kenapa kamu ada di sini, Kak Prass?”
tanya ulin, terbata karena heran.
“Aku melihatmu keluar dari
sekolahan, lalu mengikutimu. Tenang saja, aku bisa beralasan sakit jika guru
mencariku.” Prass berhenti sejenak, menatap Ulin penuh dengan iba.
“Jadi, kenapa kamu sangat suka dengan
‘Elsa’? Kalau kau menjawabnya, aku akan memberimu stiker Frozen yang terbaru.” Dia melanjutkan ucapannya. Mencoba menghibur.
“Benarkah?” Ekspresi Ulin berubah
180 derajat, nanarnya seolah dipenuhi bintang-bintang.
“Karena Elsa itu berbeda. Dia diisolasikan
karena berbeda dengan yang lainnya. Suatu saat di akhir cerita, ia berhasil
mengubah perbedaan itu menjadi keajaiban dengan sebuah cinta. Ulin berharap,
bisa seperti Elsa, membuat keajaiban untuk Mama suatu hari nanti. Tentu saja
dengan sebuah cinta dari Ulin untuk Mama.” Ulin menjawab serius pertanyaan Prass.
Prass memberikan stiker yang telah
ia janjikan tadi.
“Ulin, biar kuantar pulang. Aku akan
menjelaskan masalah ini ke Mamamu agar kamu tak kena marah.”
***
Dari kejauhan Ulin terheran, mengapa
ada mobil mewah di depan rumahnya. Semakin dekat langkahnya menuju rumah, semakin
terdengar suara adu mulut mamanya dengan seorang wanita.
“Dasar kau, Pelacur ... seenaknya
menjungkirbalikkan rasa.” Teriak seorang wanita dari dalam rumah Ulin.
Mendengar suara itu, Ulin dan Prass
serentak berlari masuk ke dalam rumah.
“Mama, apa yang terjadi? Kenapa ada Triana
dan Mamanya di sini?” tanya Ulin, heran. Ia seperti lupa bahwa tindakannya
itulah yang telah mempertemukan mama dengan orang-orang di masa lalu yang ingin
dilupakan oleh sang mama. Walau bagaimana pun, Ulin tak tahu apa-apa. Mama
tidak pernah menyalahkan Ulin. Mamanya hanya takut jika Ulin tahu kebenarannya,
dan tak bisa lagi hidup dengan normal.
“Oh, jadi kamu yang bernama Ulin?
Gadis berkepang yang sudah melukai wajah cantik anakku. Aku datang ke sini
untuk meminta pertanggungjawaban orangtuamu atas apa yang sudah kamu perbuat. Tak
kusangka, malah bertemu perempuan yang selama ini kucari. Eits, bukan aku saja yang
mencarinya, tapi banyak dari istri konglomerat mencarinya. Dia sudah merayu
banyak sekali laki-laki, paling banyak korbannya adalah konglomerat. Karena
tindakannya ini, rumah tangga orang jadi rusak. Mamamu harus bertanggungjawab,
adikku bunuh diri karena tahu suaminya telah jatuh hati pada paras sok cantik
itu.”
“Hentikan, kumohon hentikan, jangan
melibatkan anak-anak.” Mama Ulin memotong pembicaraan. Napasnya terengah-engah,
tangan kanannya memegang dada seperti seseorang yang habis berlari jauh.
Tangisan Ulin pecah tak terbendung,
“Ma, Mama ... benarkah semua ini?” Hati Ulin seperti ditikam sebuah sabit, perasaannya
hancur karena telah dipermainkan oleh semesta. Dengan samar-samar, sebuah irama
kemarahan menelisik ke dalam relungnya, merubah delusi serupa abu-abu. Jatuh ke
dalam hipnotis kemarahan hingga lupa betapa besar cinta untuk mamanya. Langkahnya
semakin ke belakang mendekati pintu.
Prass mematung, tercengang lengang,
suaranya lenyap ditikam udara yang kian panas di ruangan itu. Tak ada yang bisa
dilakukan oleh anak usia 12 tahun sepertinya. Dia, bagaikan saksi bisu.
“Ulin, kumohon dengarkan Mama, Nak!”
Tangisan mamanya tak lagi menjadi alasan bagi Ulin untuk kembali.
Lamunan Prass pecah, ketika melihat
Ulin berlari meninggalkan rumahnya, ia pun ikut berlari mengejar Ulin.
“Saya berjanji, saya akan mengejar
Ulin dan membawanya pulang.” kata Prass kepada bu Risa, sembari ia bergegas mengejar
Ulin.
Triana dan mamanya ikut pergi dari
rumah Ulin. Nyonya kaya raya itu mengambil handphone
dari dalam tas, menggeser layar kuncinya sambil tersenyum jahat. Seperti akan
merencanakan sesuatu bersama teman-teman konglomeratnya.
***
Prass berlarian mencari Ulin, tak
menghiraukan suara handphone-nya yang
sejak tadi berdering. Karena merasa kesal dengan suara yang tak kunjung
berhenti, ia mengambil Hp dari dalam sakunya, “Iya halo Ma, Prass baik-baik
saja. Prass sedang membantu teman yang dulu pernah menolong Prass. Mama ingat
kan? Anak perempuan yang memberi Prass payung? Berkat bantuannya, Prass tidak
perlu masuk UGD waktu itu. Prass tutup dulu teleponnya.”
Langkahnya tiba-tiba terhenti di pintu taman, tempat dia bertemu dengan Ulin siang tadi. Ia melihat Ulin
menangis di atas ayunan kursi panjang, seorang diri.
“Ayo, pulang! Matahari sudah mulai
menghilang, nanti taman ini jadi gelap loh.” Prass mengulurkan tangannya kepada
Ulin.
“Aku benci sama Mama.” Isak
tangisnya tak berhenti sejak tadi.
Prass menarik kembali tangannya, kemudian
duduk di sebelah Ulin.
“Ulin bilang mencintai Mama, kan?
Lalu mengapa kamu tak mau mendengar penjelasan dari Mama? Walaupun benar bahwa
Mama Ulin adalah seorang tunasusila, tak sepantasnya meninggalkan Mama yang sudah
sebatang kara. Tak maukah, kamu berjuang bersama lagi? Bukankah ‘Elsa’
menyelamatkan adiknya juga dengan sebuah cinta? Aku hanya tak mau Ulin menyesal
nantinya. Mama sudah berubah sejak Ulin ada di dunia ini.”
“Tapi, Mamanya Tiara bilang, ...”
“Percayalah pada Mama kamu, bukan
Mamanya Triana. Laki-laki konglomerat itu juga salah, telah jatuh cinta pada
Mama Ulin yang cantik.” Prass memotong.
Ulin berpikir sesaat, “Kak Prass
benar, mungkin dengan cinta, Ulin bisa menyelamatkan Mama. Aku juga tak akan
pernah menyesal punya Mama mantan seorang pelacur. Mama pasti sudah menjalani
kehidupan yang berat selama ini. Aku harus bertemu kembali, Kak.” Tangisnya
semakin menjadi-jadi, tak terbendung.
***
Dari jauh terlihat pemandangan yang
membuat degup jantung Ulin sesaat seperti terhenti, ada 10 nyonya konglomerat
bergincu merah, memerintah ajudannya melempari rumah Ulin dengan batu dan kayu,
dua di antaranya menyiram rumah menggunakan minyak gas. Satu dari 10 nyonya
konglomerat melempar sebuah korek api yang sudah dinyalakan. Mereka tertawa
jahat bak penyihir yang habis melumat mangsanya, kemudian pergi setelah perutnya
kenyang. Sadis.
Di dalam api yang masih menjalar
kecil, Ulin nekat masuk ke dalam rumah. Prass mencoba menghentikan, tapi tak
bisa karena jarak lari mereka terlalu jauh. Langkah Prass terhenti tepat di
pintu masuk yang telah tertutup api. Ia mengambil Hp, bermaksud meminta bantuan
kepada mamanya.
“Sial, kenapa handphone-ku bisa lowbet.” Tanpa pikir panjang, Prass berlari menuju
pemukiman untuk meminta tolong. Pikirannya tertekan, detak jantungnya berdegup
kencang. Fisik yang lemah membuat kesadarannya kian menghilang dan pingsan di
tengah perjalanan menuju pemukiman.
***
Di dalam rumah yang telah tertutup
oleh api, Ulin melihat mamanya terbaring tak berdaya. Air matanya tak berjeda,
mirip dengan hujan kemarin yang menjadi malam terakhirnya bersama mama.
“Ma, Mama kenapa tidak lari dari
sini? Mama ayo kita keluar, di sini sangat panas.”
“Ulin, maafkan Mama. Maaf karena
sudah melahirkan kamu dari laki-laki yang tak jelas keberadaannya. Maafkan
Mama. Maaf, maaf Ulin. Maafkan Mama. Tolong Ulin keluar, gunakan selimut ini
untuk menutupi tubuhmu, Nak.” Mamanya tak bisa lagi berdiri, penyakit yang
selama ini tak dirasakan, telah benar-benar menghampiri. Pikirannya tak bisa
menahan tekanan lagi.
“Mama, aku ingin hidup. Tapi bersama
dengan Mama. Tutuplah mata Mama, aku akan tidur di samping Mama seperti kemarin-kemarin.
Ulin bersama Mama, dan semua gambar Frozen
kesukaan Ulin.” Ulin berbaring di samping mamanya, mereka saling berpelukan
hingga Si Jago Merah melumat habis rumah beserta isinya.
“Mimpi seorang anak yang ingin
menyelamatkan mamanya dengan sebuah cinta, telah karam. Tenggelam bersama sisa-sisa
kenangan yang mereka simpan dengan rapat. Adakah keadilan? Bagi yang tersisih
seperti mereka? Bahkan semesta tak lagi berpihak pada mereka. Lalu, bagaimana
dengan sang waktu? Apa dia juga tak berpihak?
Peluh dan keluh mengakar merajam
di setiap napas yang mereka hembuskan. Kini, napas tak lagi berhembus. Jadi,
apa mereka sudah bahagia? Entahlah ... semoga di dunia sana mereka menjelma bidadari.
Hidup bahagia seperti impian sang anak kepada mamanya.
Bukankah ini romantis?Bahkan
pengorbanannya, jauh lebih romantis dari Romeo kepada Juliet.
Tragis ...”
tema tulisannya bikin baper.. grrggrrr... -_-
BalasHapus🙁🙁🙁🙁
Hapus