Sumber gambar : http://www.ummi-online.com
***
Seperti
biasa, bemo akan selalu setia mengantar kami. Meski awalnya tak nyaman
bagiku, tapi lama-lama jadi terbiasa juga. Berdebar rasanya kembali ke masjid
tempat di mana aku mengucap dua kalimat syahadat. Masjid yang besar dan sangat
indah dengan warna putih sebagai ciri khasnya. Masjid bergaya modern dengan
dinding dan lantai berlapis marmer, dihiasi ornamen geometrik dari baja
antikarat. Kudengar, arsitek dari bangunan ini adalah seorang non muslim,
sungguh luar biasa. Selain itu, pintu masuknya saja ada tujuh dan masing-masing
diberi nama berdasarkan Asmaul Husna,
yaitu Al Fattah, As salam, Ar Rozzaq, Al
Quddus, Al Malik, Al Ghaffar, dan Ar
Rahman. Masjid yang sangat besar hingga puluhan ribu orang bisa masuk ke
dalamnya. Jika sudah masuk ke dalam masjid ini, rasanya tak ingin keluar. Sungguh
menenangkan.
“Nay,
berhenti bertingkah seolah kamu belum pernah masuk kemari! Di depan ada Ustaz
Ahmad Dzulfikri” Mendengar ucapan Asma, aku langsung bersikap patuh dan tenang,
agar tidak membuat malu Asma dan ibuk.
Pengajian
sudah dimulai, kami telat 15 menitan. Meski sudah berangkat lebih awal, tapi tetap
telat karena bapak sopirnya harus mengganti ban bemo yang bocor di jalan tadi. Jamaah
yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, baik yang sudah nenek-nenek, ibu-ibu
sosialita, dan para pemuda dan pemudi, semua mendengarkan ceramah dengan khidmat.
“Sayang
sekali Ustaz Ahmad sudah berusia 45 tahun, andai saja tidak jauh dariku usianya
dan masih single, pasti aku sudah bilang ke ibuk untuk dinikahkan di usia muda.”
Pikiran konyol mulai meluber kemana-mana, sebisa mungkin aku menahan tawa
agar Asma tak menyadarinya.
“Banyak sekali manusia yang menyalahgunakan kalimat “Mencintai
karena Allah. Sering juga kalimat itu diucapkan oleh seseorang tanpa ada
niatan untuk menikah. Maka, apa yang sedemikian itu bisa disebut mencintai
karena Allah? Nah, jamaah tentu sudah tahu jawabannya.
Sebelum pembahasan saya lanjutkan, apa ada yang bertanya?”
“Jadi
mencintai laki-laki sebelum menikah itu tidak boleh kah, Pak Ustaz?” Tanpa sadar,
aku mengacungkan tangan dan bertanya. Semua tatapan memandang kearahku. Sepertinya
pertanyaan ini sangat memalukan. Duh, wajah langsung memerah dan tertunduk.
“Maaf
pak Ustaz, kami tadi telat sehingga tidak tahu pembahasan sebelumnya. Jadi
maksud saudara saya adalah, bolehkah kita jatuh cinta pada laki-laki sebelum
halal, dan karena laki-laki itu tidak tahu bolehkan kita memberitahunya?” terang
Asma kepada Ustaz Ahmad, membenarkan pertanyaanku.
“Thaks”
Bisikku kepada Asma.
“Urwel” jawabnya.
Dia membalas degan senyuman khasnya yang manis.
“Boleh.
Asalkan akhwat jatuh cinta dengan
keshalihannya. Kemudian katakan pada walimu, agar wali para akhwat-lah yang menyampaikan kepada ikhwan ataupun
kepada keluarga ikhwan tersebut. Ini
dibenarkan, meski pihak akhwat yang
lebih dulu menyatakan rasanya jika ingin dinikahi. Hal ini juga terjadi kepada
Siti Khadijah ketika jatuh hati dengan Rasulullah karena keshalihannya.” terang
Ustaz Ahmad.
Waktu
telah berlalu selama 60 menit, dan acara telah selesai. Rasanya menenangkan
sekali. Begitu banyak yang belum kuketahui perihal Islam, tentu saja aku
berharap semoga berjodoh dengan laki-laki shaleh seperti di dalam cerita Ustaz
Ahmad tadi. Agar ia mampu membimbing diri yang masih sangat jauh dari kata baik
ini.
“Assalamualaikum Ustaz Ahmad, ini salam
dari Ibuk” Asma memberikan bingkisan dari ibuk kepada Ustaz Ahmad dan diterima
dengan senang hati.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu, terima
kasih banyak Nak Asma. Dan Nayla, ya?” jawab Ustaz. Aku tersenyum dan mengangguk
malu.
“Assalamualaikum Asma, Nayla” Sapa
seorang laki-laki yang suaranya sangat khas di telingaku. Jantungku berdetak tak
wajar.
“Fahri?
Apa yang kamu lakukan di sini?” Ya Tuhan, malu sekali. Ternyata Fahri ada di
sini. Jika tahu sejak tadi, mungkin aku tidak akan bertanya seperti tadi.
Fahri
tersipu meledek, “Memang kenapa? Nay malu soal yang tadikah? Ah, maaf-maaf
hanya bercanda. Iya aku di sini menemani Abah”
“Abah?”
Aku terkejut.
Tak
kusangka, Ustaz Ahmad adalah abahnya Fahri. Jika tahu begini aku tak akan mau mengikuti
pengajian. Masih sangat malu dengan kejadian lalu, perihal pernyataan cinta
kepada Fahri yang ternyata itu hanya salah paham. Nasi telah menjadi bubur, jadi
... sudahlah tak perlu memikirkannya dengan serius.
“Kami
pamit dulu, Asma, Nayla. Assalamualaikum”
Fahri berpamitan.
“Wa’alaikumsalam” jawabku dan Asma, serentak.
Takdirkah?
Pertemuan dengan laki-laki shalih seperti Fahri? Suaranya yang merdu hingga membekukanku.
Wajahnya yang tampan dan lembut sekali tuturnya. Tinggi dan putih. Astaghfirulloh.
Apa yang sudah coba kubayangkan ini.
“Nay,
yuk kita pulang! Bantu Ibuk buat kue” Ajak Asma, membangunkanku dari lamunan.
Sudahlah,
jika memang ini takdir. Maka kami pasti akan kembali dipertemukan. Jodoh
adalah sesuatu yang tak bisa kutebak, hanya DIA yang tahu dan sudah
menuliskannya di lauhul mahfudz. Saat
ini fokus untuk memperbaiki diri, agar jodohku kelak baik agamanya seperti
Ustaz Ahmad atau mungkin seperti Fahri lebih tepatnya. Ah, wajahku jadi merona.
–bersambung-
0 komentar:
Posting Komentar