Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Rabu, 22 November 2017

Nyanyian dari Surga (bagian 8)


Sumber gambar : http://www.ummi-online.com




***
Seperti biasa, bemo akan selalu setia mengantar kami. Meski awalnya tak nyaman bagiku, tapi lama-lama jadi terbiasa juga. Berdebar rasanya kembali ke masjid tempat di mana aku mengucap dua kalimat syahadat. Masjid yang besar dan sangat indah dengan warna putih sebagai ciri khasnya. Masjid bergaya modern dengan dinding dan lantai berlapis marmer, dihiasi ornamen geometrik dari baja antikarat. Kudengar, arsitek dari bangunan ini adalah seorang non muslim, sungguh luar biasa. Selain itu, pintu masuknya saja ada tujuh dan masing-masing diberi nama berdasarkan Asmaul Husna, yaitu Al Fattah, As salam, Ar Rozzaq, Al Quddus, Al Malik, Al Ghaffar, dan Ar Rahman. Masjid yang sangat besar hingga puluhan ribu orang bisa masuk ke dalamnya. Jika sudah masuk ke dalam masjid ini, rasanya tak ingin keluar. Sungguh menenangkan.
“Nay, berhenti bertingkah seolah kamu belum pernah masuk kemari! Di depan ada Ustaz Ahmad Dzulfikri” Mendengar ucapan Asma, aku langsung bersikap patuh dan tenang, agar tidak membuat malu Asma dan ibuk.
Pengajian sudah dimulai, kami telat 15 menitan. Meski sudah berangkat lebih awal, tapi tetap telat karena bapak sopirnya harus mengganti ban bemo yang bocor di jalan tadi. Jamaah yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, baik yang sudah nenek-nenek, ibu-ibu sosialita, dan para pemuda dan pemudi, semua mendengarkan ceramah dengan khidmat.
“Sayang sekali Ustaz Ahmad sudah berusia 45 tahun, andai saja tidak jauh dariku usianya dan masih single, pasti aku sudah bilang ke ibuk untuk dinikahkan di usia muda.” Pikiran konyol mulai meluber kemana-mana, sebisa mungkin aku menahan tawa agar Asma tak menyadarinya.

“Banyak sekali manusia yang menyalahgunakan kalimat “Mencintai karena Allah. Sering juga kalimat itu diucapkan oleh seseorang tanpa ada niatan untuk menikah. Maka, apa yang sedemikian itu bisa disebut mencintai karena Allah? Nah, jamaah tentu sudah tahu jawabannya.
Sebelum pembahasan saya lanjutkan, apa ada yang bertanya?”

“Jadi mencintai laki-laki sebelum menikah itu tidak boleh kah, Pak Ustaz?” Tanpa sadar, aku mengacungkan tangan dan bertanya. Semua tatapan memandang kearahku. Sepertinya pertanyaan ini sangat memalukan. Duh, wajah langsung memerah dan tertunduk.
“Maaf pak Ustaz, kami tadi telat sehingga tidak tahu pembahasan sebelumnya. Jadi maksud saudara saya adalah, bolehkah kita jatuh cinta pada laki-laki sebelum halal, dan karena laki-laki itu tidak tahu bolehkan kita memberitahunya?” terang Asma kepada Ustaz Ahmad, membenarkan pertanyaanku.
“Thaks” Bisikku kepada Asma.
“Urwel” jawabnya. Dia membalas degan senyuman khasnya yang manis.
“Boleh. Asalkan akhwat jatuh cinta dengan keshalihannya. Kemudian katakan pada walimu, agar wali para akhwat-lah yang menyampaikan kepada  ikhwan ataupun kepada keluarga ikhwan tersebut. Ini dibenarkan, meski pihak akhwat yang lebih dulu menyatakan rasanya jika ingin dinikahi. Hal ini juga terjadi kepada Siti Khadijah ketika jatuh hati dengan Rasulullah karena keshalihannya.” terang Ustaz Ahmad.
Waktu telah berlalu selama 60 menit, dan acara telah selesai. Rasanya menenangkan sekali. Begitu banyak yang belum kuketahui perihal Islam, tentu saja aku berharap semoga berjodoh dengan laki-laki shaleh seperti di dalam cerita Ustaz Ahmad tadi. Agar ia mampu membimbing diri yang masih sangat jauh dari kata baik ini.
Assalamualaikum Ustaz Ahmad, ini salam dari Ibuk” Asma memberikan bingkisan dari ibuk kepada Ustaz Ahmad dan diterima dengan senang hati.
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu, terima kasih banyak Nak Asma. Dan Nayla, ya?” jawab Ustaz. Aku tersenyum dan mengangguk malu.
Assalamualaikum Asma, Nayla” Sapa seorang laki-laki yang suaranya sangat khas di telingaku. Jantungku berdetak tak wajar.
“Fahri? Apa yang kamu lakukan di sini?” Ya Tuhan, malu sekali. Ternyata Fahri ada di sini. Jika tahu sejak tadi, mungkin aku tidak akan bertanya seperti tadi.
Fahri tersipu meledek, “Memang kenapa? Nay malu soal yang tadikah? Ah, maaf-maaf hanya bercanda. Iya aku di sini menemani Abah”
“Abah?” Aku terkejut.
Tak kusangka, Ustaz Ahmad adalah abahnya Fahri. Jika tahu begini aku tak akan mau mengikuti pengajian. Masih sangat malu dengan kejadian lalu, perihal pernyataan cinta kepada Fahri yang ternyata itu hanya salah paham. Nasi telah menjadi bubur, jadi ... sudahlah tak perlu memikirkannya dengan serius.
“Kami pamit dulu, Asma, Nayla. Assalamualaikum” Fahri berpamitan.
Wa’alaikumsalam” jawabku dan Asma, serentak. 

Takdirkah? Pertemuan dengan laki-laki shalih seperti Fahri? Suaranya yang merdu hingga membekukanku. Wajahnya yang tampan dan lembut sekali tuturnya. Tinggi dan putih. Astaghfirulloh. Apa yang sudah coba kubayangkan ini.
“Nay, yuk kita pulang! Bantu Ibuk buat kue” Ajak Asma, membangunkanku dari lamunan.
Sudahlah, jika memang ini takdir. Maka kami pasti akan kembali dipertemukan. Jodoh adalah sesuatu yang tak bisa kutebak, hanya DIA yang tahu dan sudah menuliskannya di lauhul mahfudz. Saat ini fokus untuk memperbaiki diri, agar jodohku kelak baik agamanya seperti Ustaz Ahmad atau mungkin seperti Fahri lebih tepatnya. Ah, wajahku jadi merona. –bersambung-

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...