Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Sabtu, 18 November 2017

Nyanyian dari Surga (bagian 2)



Pagi ini, di kota yang terletak di pesisir bagian barat laut Pulau Jawa, yaitu Jakarta si Kota Metropolitan. Begitu hangat kurasa,padahal masih pukul 06.00 wib. Ah, mungkin karena sang surya sedang menatap tajam kearahku. Jalanan yang tak memiliki celah bagi mobil untuk menyalip, bangunan tinggi tanpa spasi. Jika aku jadi mereka aku pasti sudah roboh karena kehabisan napas. Banyak sekali tuan dan puan berpakaian rapi membawa amplop coklat, ada yang wajahnya penuh semangat, ada pula yang pucat pasi. Yah, tiap apa yang kulewati di sini, pasti punya makna tersendiri.
Dari dalam mobil mataku terus terjaga, menoleh ke kanan dan ke kiri. Siapa pun yang melihat, pasti berpikir aku sedang mencari-cari sesuatu.
“Sedang mencari apa non?” tanya pak Arman yang sejak tadi mengawasiku dari sepion mobil.
“Pak Arman, turunkan saya di sini!” pintaku pada pak Arman.
“Kenapa non? Kan ini masih jauh dari kampus non?” tanya pak Arman, heran. Karena jarak ke kampus memang masih sekitar 200 m.
“Itu ada Asma dan Rara. Aku akan berjalan kaki dengan mereka.” sembari berkata, aku membuka pintu mobil dan turun menghampiri Asma yang sedang asik berjalan dengan Rara sambil berbincang pelan.
“Assalamualaikum Asma, Rara” Mereka terdiam, tak langsung menjawab salamku. Mungkin karena mereka sedikit terkejut.
“Ehm…. Kenapa tidak dijawab? Bukankah salam itu wajib untuk dijawab?"
“Wa’,,, Wa’alaikumsalam” jawab mereka, gagap.
“Nay, sejak kapan kamu jadi seperti ini?” tanya Asma, heran.
“Entahlah Asma,” jawabku tenang dengan senyum tipis di bibir.
Kami bertiga berjalan bersama sembari berbincang-bincang, tak terasa kami sudah ada di depan kampus. Rara berjalan ke kanan, menuju kelas Management, sedangkan aku dan Asma kearah kiri menuju kelas Akutansi.
Kuliah pertama selesai pukul 10.00 wib, sedangkan matakuliah kedua baru dimulai pukul 12.15 wib. Sambil menunggu matakuliah kedua, kami biasanya ke perpustakaan mencari bahan untuk tugas kuliah.
“Nay, duluan saja ya! Nanti aku menyusul ke Perpus,” pinta Asma kepadaku sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Aku hanya mengangguk karena sudah tahu kebiasaan Asma. Dia pasti ke masjid untuk shalat Dhuha.
Tiga puluh dua menit aku menunggu akhirnya Rara datang.
“Hai Nay,,, Asma masih di masjid?” tanya Rara.
“Iya" jawabku sedikit resah.
“Hellooo Nay, kamu kenapa? Kamu sakit?” Rara sedikit hawatir dengan diriku yang tidak seperti biasanya.
“Entahlah, Ra. Tiba-tiba aku gelisah tapi tidak tahu mengapa.” Tidak tahu apa yang terjadi padaku, tapi mendengar Asma shalat, rasanya ingin sekali mengintipnya. Semakin hari perasaanku menjadi semakin aneh, semakin nyaman melihat Asma maupun ibuk saat sedang shalat. Tak tahan dengan hasrat yang dipenuhi rasa penasaran ini, akhirnya aku menyusul Asma.
“Aduh, kenapa denganku? Sudah sejak lama Asma selalu ke masjid untuk shalat. Tapi kenapa akhir-akhir ini aku begitu penasaran. Sejak kapan jadi tertarik dengan agamanya? Seolah ada sesuatu yang menarik ke dalam ruang bawah sadar, sesuatu yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata” kataku, sembari berlari menuju masjid kampus.
Di depan masjid langkah ini terhenti, aku merasa dilanda gelombang perasaan aneh yang terus menghantam saat mendengar suara ini, suara yang melantunkan kalimat yang tak asing bagiku.
“Suara? Suara merdu siapa yang sedang bernyanyi ini? Ini bukanlah nyanyian biasa, ini adalah nyanyian dari surga. Air mata mulai berontak tak kuasa bertahan dan perlahan mulai membanjiri pipi. Begitu penasarannya, seolah kaki memiliki mata dan keinginan sendiri masuk ke dalam masjid mencari-cari di mana suara itu berasal. Setelah menemukan asal suara itu, semua anggota tubuhku sedikitpun tak bergeming. Sunggung menjerat, membuatku sepenuhnya terjerat.
“Siapa laki-laki itu?”
“Namanya Fahri, Muhammad Fahri jawab Asma membangunkanku dari jeratan.
Asma, sejak kapan kamu di sebelahku?”
“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa Nay ada di sini? Kenapa Nay menangis?” Asma bertanya balik. Aku membisu, tak bisa menjawab.
Bagitu gundahnya hingga aku bolos matakuliah kedua. Di tangga ketika hendak turun, secara kebetulan berpapasan dengan laki-laki yang bernama Fahri, sungguh jantung berdebar begitu keras hingga takut jika dia mendengarnya. Hanya mampu menatapnya dari kejauhan, nanar di kedua bola mata seakan terkesiap jatuh. Aku mendengus pasrah, masih termangu menatap punggungnya yang kian menjauh.
Hatiku semakin gundah saat tiba di rumah. Entah mengapa memori di kepala terus mengingat kejadian itu, alunan yang begitu menyejukkan hati. Apakah aku menyukainya? Tapi, dia seorang muslim. Terus terjaga bukan karena keinginanku sendiri tapi mata inilah yang enggan terpejam.


sumber gambar : https://lahanduta.files.wordpress.com/
***

Beberapa hari berlalu, namun memori di kepala tetap mengingat kejadian itu, hingga dengan penuh keberanian aku datang menemui Fahri.
“Kenalkan namaku Nayla, dari program studi Akutansi. Setelah mendengarmu membaca kitab, emmm maksudku Al-Qur’an, aku tidak berhenti memikirkanmu. Sepertinya aku telah jatuh cinta padamu,” ungkapku kepada Fahri dengan penuh keyakinan.
Fahri memandangku heran, tatapannya begitu teduh. Namun tak tampak rasa terkejut sama sekali di wajahnya atas pengakuanku.
“Kamu Nayla temannya Asma, kan? Aku tahu kamu non muslim, tapi dengarkan aku baik-baik. Sepertinya Nayla telah salah menduga. Nayla tidak jatuh cinta kepadaku tapi ... ucapannya terpotong.


-bersambung-

1 komentar:

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...