Pagi ini, di kota yang terletak di pesisir bagian barat laut Pulau
Jawa, yaitu Jakarta si Kota Metropolitan. Begitu hangat kurasa,padahal masih
pukul 06.00 wib. Ah, mungkin karena sang surya sedang menatap tajam kearahku. Jalanan
yang tak memiliki celah bagi mobil untuk menyalip, bangunan tinggi tanpa spasi.
Jika aku jadi mereka aku pasti sudah roboh karena kehabisan napas. Banyak
sekali tuan dan puan berpakaian rapi membawa amplop coklat, ada yang wajahnya
penuh semangat, ada pula yang pucat pasi. Yah, tiap apa yang kulewati di sini,
pasti punya makna tersendiri.
Dari dalam mobil
mataku terus terjaga,
menoleh ke kanan dan ke kiri. Siapa pun
yang melihat, pasti berpikir aku sedang mencari-cari sesuatu.
“Sedang mencari
apa non?” tanya pak Arman yang sejak tadi mengawasiku dari sepion mobil.
“Pak Arman, turunkan
saya di sini!” pintaku pada pak Arman.
“Kenapa non? Kan
ini masih jauh dari kampus non?” tanya pak Arman, heran. Karena jarak ke kampus memang
masih sekitar 200 m.
“Itu ada Asma dan Rara. Aku akan
berjalan kaki dengan mereka.” sembari berkata, aku membuka pintu mobil dan
turun menghampiri Asma
yang sedang asik berjalan dengan Rara sambil berbincang pelan.
“Assalamualaikum
Asma, Rara” Mereka terdiam, tak langsung menjawab
salamku. Mungkin karena mereka sedikit terkejut.
“Ehm…. Kenapa
tidak dijawab? Bukankah salam itu wajib untuk dijawab?"
“Wa’,,,
Wa’alaikumsalam” jawab mereka, gagap.
“Nay, sejak
kapan kamu jadi seperti ini?” tanya Asma,
heran.
“Entahlah Asma,” jawabku tenang
dengan senyum tipis di bibir.
Kami bertiga
berjalan bersama sembari berbincang-bincang, tak terasa kami sudah ada di depan
kampus. Rara berjalan ke kanan, menuju kelas Management, sedangkan aku dan Asma
kearah kiri menuju kelas Akutansi.
Kuliah pertama
selesai pukul 10.00 wib, sedangkan matakuliah kedua baru dimulai pukul 12.15
wib. Sambil menunggu matakuliah kedua, kami biasanya ke perpustakaan mencari
bahan untuk tugas kuliah.
“Nay, duluan
saja ya! Nanti aku menyusul ke Perpus,” pinta Asma kepadaku sambil memasukkan buku-bukunya
ke dalam tas. Aku hanya mengangguk karena sudah
tahu kebiasaan Asma.
Dia pasti ke masjid untuk shalat Dhuha.
Tiga
puluh dua menit aku menunggu akhirnya Rara
datang.
“Hai Nay,,, Asma masih di masjid?” tanya Rara.
“Iya" jawabku
sedikit resah.
“Hellooo
Nay, kamu kenapa? Kamu sakit?” Rara sedikit hawatir dengan diriku yang tidak
seperti biasanya.
“Entahlah,
Ra. Tiba-tiba aku gelisah tapi tidak tahu mengapa.” Tidak
tahu apa yang terjadi padaku, tapi mendengar Asma shalat, rasanya ingin sekali
mengintipnya. Semakin hari perasaanku menjadi semakin aneh, semakin nyaman
melihat Asma maupun ibuk saat sedang shalat.
Tak tahan dengan hasrat yang dipenuhi rasa penasaran ini, akhirnya aku menyusul Asma.
“Aduh, kenapa
denganku? Sudah sejak lama Asma
selalu ke masjid untuk shalat. Tapi kenapa akhir-akhir ini aku begitu penasaran.
Sejak kapan jadi tertarik dengan agamanya? Seolah ada sesuatu yang menarik ke
dalam ruang bawah sadar, sesuatu yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata” kataku, sembari berlari menuju masjid kampus.
Di depan masjid
langkah ini terhenti, aku merasa dilanda
gelombang perasaan aneh yang terus menghantam saat mendengar suara ini, suara
yang melantunkan kalimat yang tak asing bagiku.
“Suara? Suara merdu siapa yang sedang
bernyanyi ini? Ini bukanlah nyanyian biasa, ini adalah nyanyian dari surga.” Air mata mulai berontak
tak kuasa bertahan dan perlahan mulai membanjiri pipi.
Begitu penasarannya, seolah kaki memiliki
mata dan keinginan sendiri masuk ke dalam masjid
mencari-cari di mana suara itu berasal. Setelah menemukan asal suara itu, semua anggota tubuhku sedikitpun tak bergeming.
Sunggung menjerat, membuatku sepenuhnya terjerat.
“Siapa laki-laki
itu?”
“Namanya Fahri, Muhammad Fahri”
jawab Asma membangunkanku dari jeratan.
“Asma, sejak kapan kamu di
sebelahku?”
“Seharusnya aku
yang bertanya, kenapa Nay ada di sini? Kenapa Nay menangis?” Asma bertanya balik. Aku membisu, tak bisa menjawab.
Bagitu gundahnya hingga aku bolos matakuliah kedua. Di
tangga ketika hendak turun, secara kebetulan
berpapasan dengan laki-laki yang bernama Fahri,
sungguh jantung berdebar begitu keras hingga takut jika dia
mendengarnya. Hanya mampu menatapnya dari kejauhan, nanar di kedua bola mata
seakan terkesiap jatuh. Aku mendengus pasrah, masih termangu menatap punggungnya yang kian menjauh.
Hatiku semakin
gundah saat tiba di rumah. Entah
mengapa memori di kepala terus mengingat kejadian itu, alunan yang begitu
menyejukkan hati. Apakah
aku menyukainya? Tapi, dia seorang muslim. Terus
terjaga bukan karena keinginanku sendiri tapi mata inilah yang enggan terpejam.
sumber gambar : https://lahanduta.files.wordpress.com/
***
Beberapa hari berlalu,
namun memori di kepala tetap mengingat kejadian itu, hingga dengan penuh
keberanian aku datang menemui Fahri.
“Kenalkan namaku
Nayla, dari program studi
Akutansi. Setelah mendengarmu
membaca kitab, emmm maksudku Al-Qur’an, aku tidak berhenti memikirkanmu.
Sepertinya aku telah jatuh cinta padamu,” ungkapku kepada Fahri dengan penuh
keyakinan.
Fahri
memandangku heran, tatapannya begitu
teduh. Namun tak tampak rasa terkejut sama
sekali di wajahnya atas pengakuanku.
“Kamu Nayla
temannya Asma, kan?
Aku tahu kamu non muslim,
tapi dengarkan aku baik-baik. Sepertinya Nayla telah salah menduga. Nayla tidak
jatuh cinta kepadaku tapi ...” ucapannya
terpotong.
-bersambung-
Wew...bikin penasaran...hiks hiks
BalasHapusJadi teringat bukunya Asama nadia