Sumber gambar : https://i.pinimg.com
“Tapi Nay mau
shalat Pa, Nay sekarang seorang muslim” jawabku penuh ketakutan.
Tidak
terima dengan semua yang telah kulakukan, tangan besar papa yang katanya
berfungsi untuk melindungi telah dilabuhkan ke wajahku dengan begitu keras
hingga membuat kepala pusing dan pipi menjadi
merah. Papa yang selalu sabar, kini
telah menamparku. Mama hanya menatap tajam, tanpa ada rasa
kasihan sedikit pun.
Mendengar suara
gaduh, ibuk
datang menerobos masuk ke kamarku
diikuti Pak Arman yang saat itu juga mendengar keributan di dalam kamar.
“Ini semua pasti
ulah kamu,
Bu Aminah” omel mama, ketus seperti biasa.
“Aku akan
melaporkan tindakanmu ini ke polisi,” ancam papa
kepada ibuk. Tentu saja mama dan papa menyalahkan ibuk karena beliaulah
yang paling dekat denganku.
“Ma, Pa, jangan salahkan Ibuk.
Nay sendirilah yang memaksa Ibuk untuk
mengislamkan Nay”
rayuku.
“Urungkan
semua niat kamu ini, dan kembali menjadi Nayla yang dulu lagi!” Mama melotot
kejam.
“Mulai
hari ini, Bu Aminah saya pecat. Silakan tinggalkan rumah ini sekrang juga. Biarkan
kami menyelesaikan masalah keluarga kami. Kamu tak perlu ikut campur.” Mama
melanjutkan ucapannya.
“Saya
akan pergi dari sini, tapi tolong jangan memukul Nayla lagi. Dia memang bukan
darah daging saya, tapi dia sudah bersama dengan saya sejak kecil.” Wajah Ibuk
menatap iba ke arahku.
“Inilah
yang kutakutkan sejak dulu. Sebenarnya kami tak pernah setuju orang muslim
menjadi pengasuhnya Nayla. Kamu masih tetap kami izinkan di sini karena
almarhum nenek Nayla sangat menyukaimu dan di akhir hayatnya dia meminta kamu
yang harus mengasuh Nayla. Tapi lihat, apa yang kaulakukan pada keluargaku?” Papa
membentak.
“Mama,
Papa, tolong hentikan! Apa pun yang terjadi, keputusan ini tidak akan Nay rubah”
ucapku, tegas.
“Baiklah jika
itu maumu, tolong pergi dari rumah ini jika kamu tak mau mematuhi kami lagi!” Mata mama menyorotkan
ancaman.
Aku langsung
membayangkan apa yang akan terjadi jika benar-benar
diusir dari rumah ini? Oleh keluargaku sendiri.
Bagaimana mungkin
bisa hidup tanpa biaya dari mereka. Rasanya
seperti melihat kegelapan di alam bawah sadarku.
“Nay tetap tidak akan
meninggalkan Islam.
Nay akan pergi ikut dengan
Ibuk. Untuk biaya hidup dan kuliah, Nay bisa cari kerja”
jawabku spontan,
namun pasti.
Seisi ruang
menjadi hening, mama
dan papa tak ambil pusing.
Mereka benar-benar membuangku dari keluarga.
***
“Assalamu’alaikum, Nayla. Bangunlah, Nak.
Ayo kita sholat subuh berjamaah”
Mataku
perlahan terbuka, tak begitu lebar tapi terlihat jelas sebuah tangan lembut
diulurkan ke arahku.
“Ibuk
... wa’alaikumsalam” bibirku
tersenyum tipis.
“Kalau
masih pusing, Nay shalat sambil duduk saja ya!”
“Sudah
baikan kok, Buk.” Kugapai tangan ibuk yang diulurkan, dan bersama-sama kami
shalat berjamaah.
Tiga
bulan lebih 15 hari, tak terasa aku
menjalani kehidupan bersama keluarga baru yaitu Ibuk dan Asma. Gadis dengan nama
panjang Asma Nur Aini adalah anak tunggal, sedangkan ayahnya sudah meninggal
sejak Asma masih kecil. Saat kecil dulu, Asma di titipkan di rumah saudara yang
tak jauh dari tempat tinggalnya, sedangkan ibuk harus menginap dan merawatku di
rumah. Sungguh sebuah anugerah bagi ibuk memiliki anak seperti Asma. Dia sangat
memahami keadaan ibuk. Ikhlas jika ibuk merawat anak orang lain sedangkan dia
sendiri hanya bertemu dengan ibuk di hari libur saja.
Saat
ini aku harus hidup mandiri, tinggal di rumah kecil milik ibuk yang letakknya
di pinggiran kota Jakarta. Tak mudah meninggalkan semua kemewahan yang
terlanjur melekat sejak kecil. Sudah lebih dari tiga bulan, namun diriku masih
saja belum mampu beradaptasi. Makanan yang apa adanya, kamar tidur yang sempit,
tidak ada mobil, semua benar-benar di luar ekspektasi. Tentu saja hal itu tak
membuatku menyerah begitu saja.
Setelah semua
ketegangan itu berlalu,
kuingin sejenak bermimpi masuk dalam dunia sendiri dan kenangan lama akan
tertutupi. Setelah lepas dari kesedihan,
hati ini merasa tenang, dan
beban di dada pun
terasa ringan. Mungkin diriku sudah berubah dengan sedikit keberanian. Semua ini adalah
anugerah.
“Asma,
Nayla, sebelum berangkat makanlah dulu!” pinta ibuk.
“Iya,
buk” jawab kua dan Asma serentak.
“Nay,
hari ini ada rencana apa?” tanya Asma.
“Mau
datang di tempat kemarin, siapa tahu bisa diterima bekerja di sana.”
“Emmm
maksud kamu di resto yang bukanya malam hari itu?” Asma mengerutkan dahinya.
“Iyaaa”
Aku tersenyum merayu.
“Tapi
Nay ...” sergah Asma, khawatir.
Cepat-cepat
kupotong ucapannya, “Asma, aku bukanlah kamu yang pintar sekali mengaji dan
memiliki banyak pengetahuan tentang Islam, sehingga banyak orang yang
menginginkan kamu sebagai guru mengajinya.” Aku diam sejenak, “Aku pasti akan
baik-baik saja. Hanya sementara, Asma. Setelah lulus nanti, kita pasti akan
mendapat pekerjaan yang lebih baik.” Senyum merekah kusuguhkan untuk meyakinkan
Asma.
“Apa
pun keputusan kalian, akan Ibuk dukung. Kue yang Ibuk jual juga laku setiap
hari kok” tukas ibuk, memecah suasana perdebatan.
Memang
sederhana, namun terkadang aku justru merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Perhatian,
saling mendukung, kasih sayang, berjuang bersama. Semua itu lengkap ada di
keluarga ini.
0 komentar:
Posting Komentar