Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Minggu, 19 November 2017

Nyanyian dari Surga (bagian 4)


Sumber gambar : https://i.pinimg.com


“Tapi Nay mau shalat Pa, Nay sekarang seorang muslim” jawabku penuh ketakutan.
Tidak terima dengan semua yang telah kulakukan, tangan besar papa yang katanya berfungsi untuk melindungi telah dilabuhkan ke wajahku dengan begitu keras hingga membuat kepala pusing dan pipi menjadi merah. Papa yang selalu sabar, kini telah menamparku. Mama hanya menatap tajam, tanpa ada rasa kasihan sedikit pun.
Mendengar suara gaduh, ibuk datang menerobos masuk ke kamarku diikuti Pak Arman yang saat itu juga mendengar keributan di dalam kamar.
“Ini semua pasti ulah kamu, Bu Aminah” omel mama, ketus seperti biasa.
“Aku akan melaporkan tindakanmu ini ke polisi,” ancam papa kepada ibuk. Tentu saja mama dan papa menyalahkan ibuk karena beliaulah yang paling dekat denganku.
Ma, Pa, jangan salahkan Ibuk. Nay sendirilah yang memaksa Ibuk untuk mengislamkan Nay” rayuku.
“Urungkan semua niat kamu ini, dan kembali menjadi Nayla yang dulu lagi!” Mama melotot kejam.
“Mulai hari ini, Bu Aminah saya pecat. Silakan tinggalkan rumah ini sekrang juga. Biarkan kami menyelesaikan masalah keluarga kami. Kamu tak perlu ikut campur.” Mama melanjutkan ucapannya.
“Saya akan pergi dari sini, tapi tolong jangan memukul Nayla lagi. Dia memang bukan darah daging saya, tapi dia sudah bersama dengan saya sejak kecil.” Wajah Ibuk menatap iba ke arahku.
“Inilah yang kutakutkan sejak dulu. Sebenarnya kami tak pernah setuju orang muslim menjadi pengasuhnya Nayla. Kamu masih tetap kami izinkan di sini karena almarhum nenek Nayla sangat menyukaimu dan di akhir hayatnya dia meminta kamu yang harus mengasuh Nayla. Tapi lihat, apa yang kaulakukan pada keluargaku?” Papa membentak.
“Mama, Papa, tolong hentikan! Apa pun yang terjadi, keputusan ini tidak akan Nay rubah” ucapku, tegas.
“Baiklah jika itu maumu, tolong pergi dari rumah ini jika kamu tak mau mematuhi kami lagi!” Mata mama menyorotkan ancaman.
Aku langsung membayangkan apa yang akan terjadi jika benar-benar diusir dari rumah ini? Oleh keluargaku sendiri. Bagaimana mungkin bisa hidup tanpa biaya dari mereka. Rasanya seperti melihat kegelapan di alam bawah sadarku.
Nay tetap tidak akan meninggalkan Islam. Nay akan pergi ikut dengan Ibuk. Untuk biaya hidup dan kuliah, Nay bisa cari kerja” jawabku spontan, namun pasti.
Seisi ruang menjadi hening, mama dan papa tak ambil pusing. Mereka benar-benar membuangku dari keluarga.

***
Assalamu’alaikum, Nayla. Bangunlah, Nak. Ayo kita sholat subuh berjamaah”
Mataku perlahan terbuka, tak begitu lebar tapi terlihat jelas sebuah tangan lembut diulurkan ke arahku.
“Ibuk ... wa’alaikumsalam” bibirku tersenyum tipis.
“Kalau masih pusing, Nay shalat sambil duduk saja ya!”
“Sudah baikan kok, Buk.” Kugapai tangan ibuk yang diulurkan, dan bersama-sama kami shalat berjamaah.
Tiga bulan lebih 15 hari, tak terasa aku menjalani kehidupan bersama keluarga baru yaitu Ibuk dan Asma. Gadis dengan nama panjang Asma Nur Aini adalah anak tunggal, sedangkan ayahnya sudah meninggal sejak Asma masih kecil. Saat kecil dulu, Asma di titipkan di rumah saudara yang tak jauh dari tempat tinggalnya, sedangkan ibuk harus menginap dan merawatku di rumah. Sungguh sebuah anugerah bagi ibuk memiliki anak seperti Asma. Dia sangat memahami keadaan ibuk. Ikhlas jika ibuk merawat anak orang lain sedangkan dia sendiri hanya bertemu dengan ibuk di hari libur saja.
Saat ini aku harus hidup mandiri, tinggal di rumah kecil milik ibuk yang letakknya di pinggiran kota Jakarta. Tak mudah meninggalkan semua kemewahan yang terlanjur melekat sejak kecil. Sudah lebih dari tiga bulan, namun diriku masih saja belum mampu beradaptasi. Makanan yang apa adanya, kamar tidur yang sempit, tidak ada mobil, semua benar-benar di luar ekspektasi. Tentu saja hal itu tak membuatku menyerah begitu saja.
Setelah semua ketegangan itu berlalu, kuingin sejenak bermimpi masuk dalam dunia sendiri dan kenangan lama akan tertutupi. Setelah lepas dari kesedihan, hati ini merasa tenang, dan beban di dada pun terasa ringan. Mungkin diriku sudah berubah dengan sedikit keberanian. Semua ini adalah anugerah.
“Asma, Nayla, sebelum berangkat makanlah dulu!” pinta ibuk.
“Iya, buk” jawab kua dan Asma serentak.
“Nay, hari ini ada rencana apa?” tanya Asma.
“Mau datang di tempat kemarin, siapa tahu bisa diterima bekerja di sana.”
“Emmm maksud kamu di resto yang bukanya malam hari itu?” Asma mengerutkan dahinya.
“Iyaaa” Aku tersenyum merayu.
“Tapi Nay ...” sergah Asma, khawatir.
Cepat-cepat kupotong ucapannya, “Asma, aku bukanlah kamu yang pintar sekali mengaji dan memiliki banyak pengetahuan tentang Islam, sehingga banyak orang yang menginginkan kamu sebagai guru mengajinya.” Aku diam sejenak, “Aku pasti akan baik-baik saja. Hanya sementara, Asma. Setelah lulus nanti, kita pasti akan mendapat pekerjaan yang lebih baik.” Senyum merekah kusuguhkan untuk meyakinkan Asma.
“Apa pun keputusan kalian, akan Ibuk dukung. Kue yang Ibuk jual juga laku setiap hari kok” tukas ibuk, memecah suasana perdebatan.
Memang sederhana, namun terkadang aku justru merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Perhatian, saling mendukung, kasih sayang, berjuang bersama. Semua itu lengkap ada di keluarga ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...