Sepi
dan hambar. Termangu, menatap album foto keluarga di dalam kamar, tapi tak ada
kedamaian di dalamnya. Dengan berat hati, aku membiarkan keadaan terus seperti
ini. Tawa yang tak pernah kudengar, perhatian yang lamat-lamat jejaknya semakin
temaram dalam angan. Dua jam sepuluh menit. Kulumat habis waktu dengan
lamunan. Suara lembut diikuti ketukan pintu kamarlah yang telah menyadarkanku.
“Nayla,
ini Asma”
Namaku Nayla
Clarissa biasa dipanggil Nay, usia telah menginjak 21 tahun. Saat ini masih
menekuni pendidikan di Universitas ternama tahun ke-2, lebih tepatnya semester
empat. Merupakan anak tunggal dari
golongan keluarga menengah ke atas. Karena terlahir dari golongan menengah ke
atas tentulah mama
dan papaku sangat sibuk. Masalah kebersihan
rumah dan masak-memasak
diserahkan kepada pembantu rumah tangga. Ada Pak Arman yang merawat kebun,
Mbak Darmi, dan Bu Aminah yang sejak kecil
sudah merawatku sebab mama dan papa terlalu sibuk. Karena kedekatan inilah, tanpa
sadar kupanggil beliau dengan sebutan ‘ibuk’.
Ibuk adalah
seorang muslim yang taat, beliau selalu beribadah tepat waktu, meski mama melarang ibuk membunyikan radio
dan televisi jika itu suara adzan untuk menghormati kami yang non muslim. Mama
dan papa tidak melarang ibuk untuk beribadah
asal di tempat tertutup.
Ibuk memiliki
seorang anak perempuan seusia denganku, namanya Asma. Kami kuliah di tempat yang sama dari
jalur yang berbeda. Aku masuk
Universitas ternama itu karena dari
pihak keluarga memang mampu dan tentunya tidak bodoh. Sedangkan Asma, masuk dengan beasiswa karena mendapat nilai tertinggi dalam tes.
Aku sendiri tak
menyangka kalau kami bisa satu kelas. Kami menjadi teman dekat, bahkan seperti
saudara dengan satu ibu,
yaitu bu Aminah. Asma
juga seorang muslim yang taat, sama seperti ibuk,
dia cantik dan hijabnya panjang hingga
seperut, kadang aku berpikir, “Apa Asma tidak gerah memakai kain panjang di
kepala seperti itu, ya?”.
Semenjak kami
menjadi teman dekat, Asma
sering sekali tidur di rumahku. Di waktu
luang seperti saat ini, kami menghabiskan waktu
bersama untuk bercanda, bercerita dan belajar.
Sesekali
Asma menatap jam dinding, seolah sedang menanti kedatangan,
“Nay,
maaf kutinggal shalat dulu ya.”
“Shalat di
kamaku saja Asma!”
pintaku.
“Aku shalat di
kamar Ibuk saja Nay, kalau Mama-mu
tahu aku shalat di sini,
nanti kamu kena marah.” Asma
menolak permintaanku dengan suara
khasnya yang kalem.
Tak
menyerah begitu saja, aku terus memaksanya agar dia shalat di sini.
“Mama bilang
harus di ruang tertutup kan? Jadi boleh dong di kamarku, kan kamarku juga
tempat tertutup. Waktu kecil aku juga sering mengintip Ibuk shalat dan mengaji, suara Ibuk lirih tapi
membuatku merinding, seperti nyanyian dari surga. Kamu tahu? aku hafal yang biasa
dibaca Ibuk. Bismillaa hirrahmaa nirrahim
alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin arrahmaanir rahim maaliki yau-middiin. Iyaaka na’budu
wa iyyaaka nas ...”
“Nay sudah nanti
Mama kamu bisa marah kalau dia tahu kamu menghafal surat Al-Qur’an. Iya deh aku
shalat di sini, terimakasih ya,” Asma
memotong ucapanku, matanya
terbelalak. Sesaat ia tercengang.
Aku terus
memandangi Asma
shalat hingga selesai,
kemudian dia mengambil benda seperti gelang mutiara dan memutar-mutarnya sambil
membaca ‘Allahu
akbar, Subhanallah, Alhamdulillah’
yahh ,,. kata-kata itu tidak
asing bagiku karena sudah sejak kecil, sering
melihat Ibuk mengucapkannya setelah selesai shalat.
Setelah Asma selesai shalat aku
bertanya padanya, “Kenapa mendengarmu atau Ibuk membaca itu hatiku merasa
tenang ya?”
“Subhanallah ...” Asma kembali tercengang untuk kedua kalinya.
Seperti dugaan, dia pasti terkejut
mendengar pernyataanku itu.
Dari ruang tamu
terdengar suara Mama, “Mama pulang… Nay, Mama bawakan sesuatu untukmu.”
“Itu
suara Mama, ayuk keluar! Lihat apa yang dibawa Mama, siapa tahu enak.” Aku
menarik tangan Asma keluar menemui mama.
“Loh, Asma ada di sini?” Mama
terlihat tak suka aku dan Asma
bersahabat dekat.
“Ini Asma mau pulang bu.”Entah ini perasaanku saja atau memang itulah yang
terjadi, wajah Asma saat bertemu mama terlihat berbeda. Aku tak tahu apa dia
canggung, apa mungkin karena takut sama mama yang nadanya sedikit galak.
“Nay..
aku pulang yaa. Assalamualaikum”
“Loh Asma, ini bakpianya buat
kamu” aku membungkus bakpia dari Mama untuknya. Tapi Asma tidak mendengar,
dia pergi dengan tergesa-gesa.
“Yaa dia pergi, wa’alaikumsalam”
aku menjawab salamnya meski punggungnya tak nampak lagi olehku.
Mama garang
melihatku, “Nay, apa-apaan kamu ini? Kenapa kamu harus menjawab salamnya”.
“Emmmm,,, di
kelas mayoritas muslim Ma, jadi sudah biasa” jawabku tenang sambil mengunyah
bakpia keju dari Mama.
“Inilah sebabnya
Mama melarangmu untuk kuliah di sana,
seharusnya kamu kuliah di Universitas khusus Katolik saja.
Mama yang tak bisa mengawasimu jadi hawatir, jika kamu terpengaruh oleh agama
mereka” omel
Mama.
Sejak saat itu Mama
lebih ketat, aku
yang dulu jarang sekali beribadah dengan berbagai alasan, kini dilarang
alpha beribadah. Ke gereja untuk menghadiri misa itu wajib. Berteman dengan
muslim itu tak masalah asal tahu batas, lebih diutamakan berteman dengan seagama,
dilarang menyukai atau berpacaran dengan laki-laki yang berbeda agama. Dan
masih banyak lagi nasihat-nasihat mama
yang kalau ditulis akan jadi setebal KBBI (kamus besar Bahasa Indonesia)
***
-bersambung-
Wew...asyiik nih..
BalasHapusDitunggu kelanjutannya
Makasih mbak Wid, semoga bisa sampai 12 part hiihihi
Hapus