Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Jumat, 17 November 2017

Nyanyian dari Surga (bagian 1)

 Sumber gambar: http://islam-today.ru/



Sepi dan hambar. Termangu, menatap album foto keluarga di dalam kamar, tapi tak ada kedamaian di dalamnya. Dengan berat hati, aku membiarkan keadaan terus seperti ini. Tawa yang tak pernah kudengar, perhatian yang lamat-lamat jejaknya semakin temaram dalam angan. Dua jam sepuluh menit. Kulumat habis waktu dengan lamunan. Suara lembut diikuti ketukan pintu kamarlah yang telah menyadarkanku.
“Nayla, ini Asma”
Namaku Nayla Clarissa biasa dipanggil Nay, usia telah menginjak 21 tahun. Saat ini masih menekuni pendidikan di Universitas ternama tahun ke-2, lebih tepatnya semester empat. Merupakan anak tunggal dari golongan keluarga menengah ke atas. Karena terlahir dari golongan menengah ke atas tentulah mama dan papaku sangat sibuk. Masalah kebersihan rumah dan masak-memasak diserahkan kepada pembantu rumah tangga. Ada Pak Arman yang merawat kebun, Mbak Darmi, dan Bu Aminah yang sejak kecil sudah merawatku sebab mama dan papa terlalu sibuk. Karena kedekatan inilah, tanpa sadar kupanggil beliau dengan sebutan ‘ibuk’.
Ibuk adalah seorang muslim yang taat, beliau selalu beribadah tepat waktu, meski mama melarang ibuk membunyikan radio dan televisi jika itu suara adzan untuk menghormati kami yang non muslim. Mama dan papa tidak melarang ibuk untuk beribadah asal di tempat tertutup.
Ibuk memiliki seorang anak perempuan seusia denganku, namanya Asma. Kami kuliah di tempat yang sama dari jalur yang berbeda. Aku masuk  Universitas ternama itu karena dari pihak keluarga memang mampu dan tentunya tidak bodoh. Sedangkan Asma, masuk dengan beasiswa karena mendapat nilai tertinggi dalam tes.
Aku sendiri tak menyangka kalau kami bisa satu kelas. Kami menjadi teman dekat, bahkan seperti saudara dengan satu ibu, yaitu bu Aminah. Asma juga seorang muslim yang taat, sama seperti ibuk, dia cantik dan hijabnya panjang hingga seperut, kadang aku berpikir, “Apa Asma tidak gerah memakai kain panjang di kepala seperti itu, ya?”.
Semenjak kami menjadi teman dekat, Asma sering sekali tidur di rumahku. Di waktu luang seperti saat ini, kami menghabiskan waktu bersama untuk bercanda, bercerita dan belajar.
Sesekali Asma menatap jam dinding, seolah sedang menanti kedatangan,
“Nay, maaf kutinggal shalat dulu ya.”
“Shalat di kamaku saja Asma!” pintaku.
“Aku shalat di kamar Ibuk saja Nay, kalau Mama-mu tahu aku shalat di sini, nanti kamu kena marah.” Asma menolak permintaanku dengan suara khasnya yang kalem.
Tak menyerah begitu saja, aku terus memaksanya agar dia shalat di sini.
“Mama bilang harus di ruang tertutup kan? Jadi boleh dong di kamarku, kan kamarku juga tempat tertutup. Waktu kecil aku juga sering mengintip Ibuk shalat dan mengaji, suara Ibuk lirih tapi membuatku merinding, seperti nyanyian dari surga. Kamu tahu? aku hafal yang biasa dibaca Ibuk. Bismillaa hirrahmaa nirrahim alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin arrahmaanir rahim maaliki yau-middiin. Iyaaka na’budu wa iyyaaka nas ...
“Nay sudah nanti Mama kamu bisa marah kalau dia tahu kamu menghafal surat Al-Qur’an. Iya deh aku shalat di sini, terimakasih ya,” Asma memotong ucapanku, matanya terbelalak. Sesaat ia tercengang.
Aku terus memandangi Asma shalat hingga selesai, kemudian dia mengambil benda seperti gelang mutiara dan memutar-mutarnya sambil membaca Allahu akbar, Subhanallah, Alhamdulillah yahh ,,. kata-kata itu tidak asing bagiku karena sudah sejak kecil, sering melihat Ibuk mengucapkannya setelah selesai shalat.
Setelah Asma selesai shalat aku bertanya padanya, “Kenapa mendengarmu atau Ibuk membaca itu hatiku merasa tenang ya?”
“Subhanallah ...” Asma kembali tercengang untuk kedua kalinya. Seperti dugaan, dia pasti terkejut mendengar pernyataanku itu.
Dari ruang tamu terdengar suara Mama, “Mama pulang… Nay, Mama bawakan sesuatu untukmu.
“Itu suara Mama, ayuk keluar! Lihat apa yang dibawa Mama, siapa tahu enak.” Aku menarik tangan Asma keluar menemui mama.
“Loh, Asma ada di sini?” Mama terlihat tak suka aku dan Asma bersahabat dekat.
“Ini Asma mau pulang bu.”Entah ini perasaanku saja atau memang itulah yang terjadi, wajah Asma saat bertemu mama terlihat berbeda. Aku tak tahu apa dia canggung, apa mungkin karena takut sama mama yang nadanya sedikit galak.
Nay.. aku pulang yaa. Assalamualaikum”
“Loh Asma, ini bakpianya buat kamu” aku membungkus bakpia dari Mama untuknya. Tapi Asma tidak mendengar, dia pergi dengan tergesa-gesa. “Yaa dia pergi, wa’alaikumsalam” aku menjawab salamnya meski punggungnya tak nampak lagi olehku.
Mama garang melihatku, “Nay, apa-apaan kamu ini? Kenapa kamu harus menjawab salamnya”.
“Emmmm,,, di kelas mayoritas muslim Ma, jadi sudah biasa” jawabku tenang sambil mengunyah bakpia keju dari Mama.
“Inilah sebabnya Mama melarangmu untuk kuliah di sana, seharusnya kamu kuliah di Universitas khusus Katolik saja. Mama yang tak bisa mengawasimu jadi hawatir, jika kamu terpengaruh oleh agama mereka” omel Mama.
Sejak saat itu Mama lebih ketat, aku yang dulu jarang sekali beribadah dengan berbagai alasan, kini dilarang alpha beribadah. Ke gereja untuk menghadiri misa itu wajib. Berteman dengan muslim itu tak masalah asal tahu batas, lebih diutamakan berteman dengan seagama, dilarang menyukai atau berpacaran dengan laki-laki yang berbeda agama. Dan masih banyak lagi nasihat-nasihat mama yang kalau ditulis akan jadi setebal KBBI (kamus besar Bahasa Indonesia) 

***
-bersambung-

2 komentar:

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...