“Tapi
... ?” tanyaku, penasaran.
“Nayla
jatuh cinta pada apa yang kubaca, sesuatu yang mampu membuat tentram jiwamu.
Jatuh cinta pada agamaku.” Fahri melanjutkan ucapannya.
Bibirku tertahan
tak bisa berkata. Ucapannya merambat
keseluruh saraf dan perlahan meluluhkan hati. Fahri menatap miris, aku
hanya berbalik kemudian
pergi. Secara tak langsung Fahri
sudah menolakku tapi entah mengapa tak
ada rasa sedih sama sekali.
Mungkinkah apa
yang dikatakannya itu benar? Bahwa aku telah jatuh cinta pada agamanya. Pada
apa yang dia baca saat itu? Terus mencoba mencari-cari
jawaban dari semua ini. Aku semakin sering beribadah, pergi ke gereja setiap minggu, tapi kenapa
hati masih begitu kosong?
Semakin gelap di hati, perasaan lunglai tergeletak pasrah.
Aku berusaha
dengan keras mengenyahkan kebimbangan
ini. Hati dan pikiran terus dihantui dengan bacaan-bacaan kitab orang muslim.
Selama ini, ibuk
selalu membaca Al-Qur’an dengan pelan untuk menghormati keluargaku yang non muslim.
Sehingga aku tak pernah mengalami kejadian ini sebelumnya.
Rasa penasaran
begitu besar, kuputuskan untuk
mengotak-atik internet mencari tahu tentang Islam,
mencari makna dari bacaan-bacaan kitab Al-Qur’an. Membuka youtube mendengarkan ayat-ayat
itu lagi, sekedar memastikan. Mungkin saja perasaanku telah salah.
“Bagaimana
mungkin jika kitab Al-Qur’an
adalah buatan manusia? Jika isinya adalah sebuah kebenaran di masa lalu dan
masa depan,” pikirku setelah membaca artikel-artikel
itu. Tangisku pecah, seperti hujan di bulan Desember, sangat deras. Tidak ada lagi kata yang mampu keluar dari tuturku perihal kitab itu. Perasaan yang entah apa kian menyeruak menusuk ke jantung. Ini adalah waktu paling lama bagiku mengambil
sebuah keputusan.
***
Perubahan
drastis terjadi, aku
mulai menolak ke gereja tanpa pejelasan apa-apa. Sebenarnya masih belum mengerti apa yang sedang kualami. Perasaan yang makin bergejolak. Asma sangat hawatir, dia terus mempertanyakan kejadian ini.
“Nay,
buka pintu kamarmu. Tolong Nay, cerita padaku apa yang sudah terjadi. Sudah
empat hari kamu absen, selalu mengunci diri di kamar dan kamu terus
menghindariku. Apa aku sudah menyakiti hatimu, Nay? Kumohon bicaralah!” Suara
Asma semakin berat. Sebelum dia menangis, aku memutuskan untuk membuka pintu
dan akan menceritakan semua padanya.
“Masukkah,
ada hal penting yang ingin kuceritakan.” Aku menarik tangannya masuk ke dalam
kamar lalu mengunci pintu.
“Asma, aku telah jatuh
cinta,” Air mata masih saja betah menemaniku.
“Kamu jatuh
cinta? Pada siapa? Fahri?
Tidak mungkin Nay, Mama kamu
bisa marah. Fahri
itu seorang muslim.” Asma mengusap air
mataku, suaranya lembut. Menenangkan.
“Awalnya memang
aku mengira telah jatuh cinta padanya.
Ternyata bukan Asma,
aku telah jatuh cinta pada agamamu,” paparku.
“Subhanallah, Nay” Asma tertegun mendengarnya, matanya berbinar penuh iba. Dia memelukku seketika.
“Tolong aku Asma, aku mau menjadi
muslim sepertimu” air mata tak bisa berhenti membasahi pipi.
“Tapi … aku takut Nay” jawab Asma, bingung.
“Kumohon!
Asma adalah sahabatku, pasti tahu ini adalah keputusan terhebat dalam hidupku.
Tapi lihatlah, aku akan menanggung segala risikonya nanti. Kumohon tolong aku!”
pintaku, memelas.
Asma
tak tega melihatku, akhirnya kami datang menemui ibuk dan menceritakan kejadian ini. Ibuk
memelukku dengan isak tangis
yang tak terbendung.
“Nayla
anak Ibuk, apa Nayla sudah mantap, nak? Sudah yakin? Sudah memikirkan apa yang
akan terjadi setelah Mama dan Papa Nayla tahu?” Ibuk bertanya, mempertegas
keputusanku.
“Nayla
sangat yakin Ibuk” jawabku, mantap.
Tanpa pertanyaan
lagi, ibuk menyetujuinya dan berjanji apapun
yang terjadi ibuk
akan selalu dipihakku.
Ibuk meminta
guru agama Asma
untuk mengislamkanku tanpa sepengetahuan Mama dan Papa. Di Masjid Istiqlal, dengan
membaca dua kalimat syahadat,
aku pun telah menjadi seorang muslim. Ingin
sekali berhijab seperti Asma,
tapi ibuk melarang sampai Mama dan Papa tahu tentang semua ini.
***
Sejenak
kutatap cermin, menata kain panjang di kepala ‘seperti jilbab’. Sesekali kucubit
pipiku untuk memastikan bahwa semua ini bukanlah mimpi. Tentang jiwa yang
sempat kukhawatirkan telah berdusta, kini telah menemukan tempatnya. Ia tak
pernah berdusta. Islam adalah agama yang hebat. Agama yang sangat menjunjung
tinggi kum hawa. Menganggap kami itu cantik, kami ratu, kami mahal. Makanya dengan
berhijab tidak sembarang orang bisa melihat.
Saat ini Mama
dan Papa masih keluar kota karena bisnisnya. Jadi aku harus menunda keinginanku
untuk berhijab. Setiap hari
belajar untuk mendalami agama Islam. Belajar mengaji, bahkan diam-diam belajar berpuasa senin
dan kamis seperti Asma.
Hari
ini adalah puasa pertamaku, benar-benar
berat. Aku hampir saja menyerah. Tubuh mulai lemas, tatapan ini terus mengarah ke jam dinding yang ada tepat di atas pintu kamar.
Sedangkan waktu masih menunjukkan pukul 15.00 wib, aku berfikir untuk menunggu azan
maghrib dengan shalat ashar terlebih dahulu kemudian mengaji.
Baru
memulai takbir rakaat kedua. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka diikuti jeritan
dahsyat dari Mama dan Papa. Mereka datang
tiga hari lebih cepat dari dugaanku.
“Astaga, Nayla. Apa yang sudah
kamu lakukan?” Mama berteriak sambil menarik mukenahku. Tentu saja shalatku
jadi terhenti.
“Nay sedang
shalat Ma, Nay juga sedang berpuasa. Mama dan Papa jangan berteriak, Nay akan
jelaskan semua setelah Nay selesai shalat” mendengar itu Mama dan Papa semakin
murka. Aku mencoba tenang walau sejujurnya sangat takut.
“Lepaskan
mukenahmu sekarang juga, kamu ini bukan seorang muslim!” tatapan Papa tajam menyulutkan murka. Jari telunjuk kanan papa menuding tepat ke wajahku. –bersambung-
0 komentar:
Posting Komentar