Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Sabtu, 18 November 2017

Nyanyian dari Surga (bagian 3)

Sumber gambar : http://islamidia.com


“Tapi ... ?” tanyaku, penasaran.
“Nayla jatuh cinta pada apa yang kubaca, sesuatu yang mampu membuat tentram jiwamu. Jatuh cinta pada agamaku.” Fahri melanjutkan ucapannya.
Bibirku tertahan tak bisa berkata. Ucapannya merambat keseluruh saraf dan perlahan meluluhkan hati. Fahri menatap miris, aku hanya berbalik kemudian pergi. Secara tak langsung Fahri sudah menolakku tapi entah mengapa tak ada rasa sedih sama sekali.
Mungkinkah apa yang dikatakannya itu benar? Bahwa aku telah jatuh cinta pada agamanya. Pada apa yang dia baca saat itu? Terus mencoba mencari-cari jawaban dari semua ini. Aku semakin sering beribadah, pergi ke gereja setiap minggu, tapi kenapa hati masih begitu kosong? Semakin gelap di hati, perasaan lunglai tergeletak pasrah.
Aku berusaha dengan keras mengenyahkan kebimbangan ini. Hati dan pikiran terus dihantui dengan bacaan-bacaan kitab orang muslim. Selama ini, ibuk selalu membaca Al-Qur’an dengan pelan untuk menghormati keluargaku yang non muslim. Sehingga aku tak pernah mengalami kejadian ini sebelumnya.
Rasa penasaran begitu besar, kuputuskan untuk mengotak-atik internet mencari tahu tentang Islam, mencari makna dari bacaan-bacaan kitab Al-Qur’an. Membuka youtube mendengarkan ayat-ayat itu lagi, sekedar memastikan. Mungkin saja perasaanku telah salah.
“Bagaimana mungkin jika kitab Al-Qur’an adalah buatan manusia? Jika isinya adalah sebuah kebenaran di masa lalu dan masa depan,” pikirku setelah membaca artikel-artikel itu. Tangisku pecah, seperti hujan di bulan Desember, sangat deras. Tidak ada lagi kata yang mampu keluar dari tuturku perihal kitab itu. Perasaan yang entah apa kian menyeruak menusuk ke jantung. Ini adalah waktu paling lama bagiku mengambil sebuah keputusan.

***

Perubahan drastis terjadi, aku mulai menolak ke gereja tanpa pejelasan apa-apa. Sebenarnya masih belum mengerti apa yang sedang kualami. Perasaan yang makin bergejolak. Asma sangat hawatir, dia terus mempertanyakan kejadian ini.
“Nay, buka pintu kamarmu. Tolong Nay, cerita padaku apa yang sudah terjadi. Sudah empat hari kamu absen, selalu mengunci diri di kamar dan kamu terus menghindariku. Apa aku sudah menyakiti hatimu, Nay? Kumohon bicaralah!” Suara Asma semakin berat. Sebelum dia menangis, aku memutuskan untuk membuka pintu dan akan menceritakan semua padanya.
“Masukkah, ada hal penting yang ingin kuceritakan.” Aku menarik tangannya masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu.
Asma, aku telah jatuh cinta,” Air mata masih saja betah menemaniku.
“Kamu jatuh cinta? Pada siapa? Fahri? Tidak mungkin Nay, Mama kamu bisa marah. Fahri itu seorang muslim.” Asma mengusap air mataku, suaranya lembut. Menenangkan.
“Awalnya memang aku mengira telah jatuh cinta padanya. Ternyata bukan Asma, aku telah jatuh cinta pada agamamu,” paparku.
“Subhanallah, NayAsma tertegun mendengarnya, matanya berbinar penuh iba. Dia memelukku seketika.
“Tolong aku Asma, aku mau menjadi muslim sepertimu” air mata tak bisa berhenti membasahi pipi.
“Tapi … aku takut Nay” jawab Asma, bingung.
“Kumohon! Asma adalah sahabatku, pasti tahu ini adalah keputusan terhebat dalam hidupku. Tapi lihatlah, aku akan menanggung segala risikonya nanti. Kumohon tolong aku!” pintaku, memelas.
Asma tak tega melihatku, akhirnya kami datang menemui ibuk dan menceritakan kejadian ini. Ibuk memelukku dengan isak tangis yang tak terbendung.
“Nayla anak Ibuk, apa Nayla sudah mantap, nak? Sudah yakin? Sudah memikirkan apa yang akan terjadi setelah Mama dan Papa Nayla tahu?” Ibuk bertanya, mempertegas keputusanku.
“Nayla sangat yakin Ibuk” jawabku, mantap.
Tanpa pertanyaan lagi, ibuk menyetujuinya dan berjanji apapun yang terjadi ibuk akan selalu dipihakku.
Ibuk meminta guru agama Asma untuk mengislamkanku tanpa sepengetahuan Mama dan Papa. Di Masjid Istiqlal, dengan membaca dua kalimat syahadat, aku pun telah menjadi seorang muslim. Ingin sekali berhijab seperti Asma, tapi ibuk melarang sampai Mama dan Papa tahu tentang semua ini.

***

Sejenak kutatap cermin, menata kain panjang di kepala ‘seperti jilbab’. Sesekali kucubit pipiku untuk memastikan bahwa semua ini bukanlah mimpi. Tentang jiwa yang sempat kukhawatirkan telah berdusta, kini telah menemukan tempatnya. Ia tak pernah berdusta. Islam adalah agama yang hebat. Agama yang sangat menjunjung tinggi kum hawa. Menganggap kami itu cantik, kami ratu, kami mahal. Makanya dengan berhijab tidak sembarang orang bisa melihat.
Saat ini Mama dan Papa masih keluar kota karena bisnisnya. Jadi aku harus menunda keinginanku untuk berhijab. Setiap hari belajar untuk mendalami agama Islam. Belajar mengaji, bahkan diam-diam belajar berpuasa senin dan kamis seperti Asma.
Hari ini adalah puasa pertamaku, benar-benar berat. Aku hampir saja menyerah. Tubuh mulai lemas, tatapan ini terus mengarah ke jam dinding yang ada tepat di atas pintu kamar. Sedangkan waktu masih menunjukkan pukul 15.00 wib, aku berfikir untuk menunggu azan maghrib dengan shalat ashar terlebih dahulu kemudian mengaji.
Baru memulai takbir rakaat kedua. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka diikuti jeritan dahsyat dari Mama dan Papa. Mereka datang tiga hari lebih cepat dari dugaanku.
Astaga, Nayla. Apa yang sudah kamu lakukan?” Mama berteriak sambil menarik mukenahku. Tentu saja shalatku jadi terhenti.
“Nay sedang shalat Ma, Nay juga sedang berpuasa. Mama dan Papa jangan berteriak, Nay akan jelaskan semua setelah Nay selesai shalat” mendengar itu Mama dan Papa semakin murka. Aku mencoba tenang walau sejujurnya sangat takut.
“Lepaskan mukenahmu sekarang juga, kamu ini bukan seorang muslim!” tatapan Papa tajam menyulutkan murka. Jari telunjuk kanan papa menuding tepat ke wajahku.  –bersambung-

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...