Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Selasa, 24 Oktober 2017

Pasal 34 ayat 1



“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara  negara” (Klausul dalam Pasal 34 ayat 1)

Katanya sih demikian, tapi nyatanya?
Pasal 34 ayat (1) adalah hafalan UUD ‘45 yang paling kusukai semasa sekolah dulu, sebab kalimatnya yang cukup singkat. Jika saja dulu sudah paham tentang makna dari pasal tersebut, mungkin aku tak akan menyukainya. Siapa juga sih yang mau mengidolakan klausal yang isinya hanya sebuah janji tanpa adanya bukti? Laki-laki yang hanya obral janji saja kutolak, apalagi sebuah klausal sakral negara. Mengerikan.
Tinggal di pinggir jalan dan sungai, di kolong jembatan, atau bahkan tinggal secara ilegal di stasiun-stasiun. Apa seperti itu yang dinamakan “dipelihara negara”? Susah makan, susah tidur, berselimut luka, tubuhnya disayat oleh dingin ketika hujan. Tak cukup di sini, rumah mereka penguasa leburkan.  Mereka sadar bahwa mereka salah, tanah itu bukan milik mereka, tapi mereka juga bisa berbenah. Tuntutan pun, penguasa tak perduli. Sungguh malang. Padahal berada di atas bumi pertiwi yang sama, tapi diperlakukan berbeda hanya karena mereka rakyat jelata.
“Penguasa berkata akan menyejahterakan mereka. Benarkah? Sejahtera di bagian mananya?” Jika saja diizinkan menulis pertanyaan untuk penguasa, sepertinya pertanyaan itu akan melebihi tebalnya kamus KBBI. Menangis rasanya jika membahas klausal dalam pasal 34 ayat 1 ini.  
Yang berdasi dengan hobi lawasnya, yaitu mengantongi uang milik rakyat. Mungkinkah uang yang sudah mereka kantongi seharusnya cukup untuk memberi sedikit makan pada fakir dan anak terlantar? Entahlah... “Tuan penguasa, kudoakan Anda sehat selalu. Berhati-hatilah, karena terlalu banyak makanan manis yang masuk ke tubuh Anda. Tenang saja, saya tak bermaksud jahat, hanya sedikit nyinyir dalam doa.” Andai saja bisa kusampaikan itu pada penguasa.
Pagi ini kulihat acara di televisi. Para penguasa muncul dengan orasi tingkat dewa, mengesankan. Ah, retorika negeriku, ada-ada saja. Aku terdiam, tiba-tiba isi logikaku penuh akan pertanyaan, “Berapa duitkah yang harus kukeluarkan untuk membeli orasi para penguasa itu?” Lagi-lagi mereka menyinggung bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Tuhan, aku tertawa tapi mataku bercucuran air mata.

Bolehkan sedikit berharap ada setitik putih pada hitamnya warna di negeriku ini?

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...