“Fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara negara” (Klausul dalam Pasal 34 ayat 1)
Katanya sih demikian, tapi nyatanya?
Pasal 34 ayat (1) adalah hafalan UUD ‘45
yang paling kusukai semasa sekolah dulu, sebab kalimatnya yang cukup singkat. Jika
saja dulu sudah paham tentang makna dari pasal tersebut, mungkin aku tak akan menyukainya.
Siapa juga sih yang mau mengidolakan klausal yang isinya hanya sebuah janji
tanpa adanya bukti? Laki-laki yang hanya obral janji saja kutolak, apalagi sebuah
klausal sakral negara. Mengerikan.
Tinggal di pinggir jalan dan sungai, di kolong
jembatan, atau bahkan tinggal secara ilegal di stasiun-stasiun. Apa seperti itu
yang dinamakan “dipelihara negara”? Susah makan, susah tidur, berselimut luka,
tubuhnya disayat oleh dingin ketika hujan. Tak cukup di sini, rumah mereka penguasa
leburkan. Mereka sadar bahwa mereka
salah, tanah itu bukan milik mereka, tapi mereka juga bisa berbenah. Tuntutan pun,
penguasa tak perduli. Sungguh malang. Padahal berada di atas bumi pertiwi
yang sama, tapi diperlakukan berbeda hanya karena mereka rakyat jelata.
“Penguasa berkata akan menyejahterakan
mereka. Benarkah? Sejahtera di bagian mananya?” Jika saja diizinkan menulis
pertanyaan untuk penguasa, sepertinya pertanyaan itu akan melebihi tebalnya kamus
KBBI. Menangis rasanya jika membahas klausal dalam pasal 34 ayat 1 ini.
Yang berdasi dengan hobi lawasnya, yaitu mengantongi uang milik rakyat. Mungkinkah uang yang sudah mereka kantongi
seharusnya cukup untuk memberi sedikit makan pada fakir dan anak terlantar? Entahlah...
“Tuan penguasa, kudoakan Anda sehat selalu. Berhati-hatilah, karena terlalu
banyak makanan manis yang masuk ke tubuh Anda. Tenang saja, saya tak bermaksud
jahat, hanya sedikit nyinyir dalam doa.” Andai saja bisa kusampaikan itu pada
penguasa.
Pagi ini kulihat acara di televisi. Para
penguasa muncul dengan orasi tingkat dewa, mengesankan. Ah, retorika negeriku,
ada-ada saja. Aku terdiam, tiba-tiba isi logikaku penuh akan pertanyaan, “Berapa
duitkah yang harus kukeluarkan untuk membeli orasi para penguasa itu?” Lagi-lagi
mereka menyinggung bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara. Tuhan, aku tertawa tapi mataku bercucuran air mata.
0 komentar:
Posting Komentar