120 menit lamanya aku tercengang di
koridor Timur, tepatnya di depan papan pengumuman.
Sungguh
mengejutkan, tak bisa berkata apa-apa saat melihat nama yang tertulis sebagai
juara terbaik lomba cipta puisi yang diikuti seluruh mahasiswa.
"Selamat, ya," ucap seorang
pria mengejutkanku.
"Tunggu, suara ini sungguh tak
asing. Suara yang membuatku enggan untuk menoleh. Aku membenci suara ini,"
gumamku dalam hati. Lidah terasa kelu, tak mampu membalas suara itu.
"Tak kusangka puisimu menjadi yg
terbaik. Apa yang sebenarnya mereka lihat dari puisi ini? Bagiku puisi ini tak
lebih dari sebuah tulisan kosong, hampa, dan tak berobjek," dia
melanjutkan ucapannya.
"Kau benar, tulisan ini memang
kosong, hampa, dan tak berobjek," sergahku, sebal. Tanpa menatapnya, kemudian
berbalik arah dan beranjak pergi. Tepat dilangkah ketiga, waktu seoalah memainkan
emosi jiwa dan menahanku seketika.
"Kau.. berhentilah mengucapkan
kata-kata kasar padaku. Kau pikir, aku menulis tentang bagaimana rasa jatuh
cinta, padahal tidak pernah jatuh cinta. Kau pikir, aku menulis tentang patah
hati, tapi tak mungkin patah hati jika tak kumiliki seseorang yang kudamba.
Begitukah maksudmu?" Aku menggigit bibir bawahku, menahan seluruh emosi
tangis yang mulai berontak dalam hati.
"Dengar, ya... " aku mulai
berbicara kembali.
"Sejak kau memutuskan untuk menikah
dengannya, hatiku telah patah tepat diteriakan "SAH" yang ditujukan
bukan kepadaku. Sejak saat itu pula, aku menemukan diriku tenggelam bersama
luka-luka yang tak akan sembuh walau harus dirawat hingga menginap. Semua
tawaku kau ambil alih. Tak sadarkah? Bahwa kamulah objek dalam puisiku. Puisi
tentang bagaimana aku jatuh hati, cemburu, memujamu hingga bagaimana kamu
mematahkan segalanya."
0 komentar:
Posting Komentar