Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Sabtu, 07 Oktober 2017

Deepest Heart




 Sumber :https://qycha.files.wordpress.com/2014/11/5b.png


Pagi menjelma siang, kala ketika matahari mulai meninggi sepenggalah, di tempat yang  paling damai. Taman kampus. Pancaran sinar yang menyengat di bulan Juni ini, tampaknya membuat pipi Dewi merona. Entah karena sinar mentari atau karena ada laki-laki pujaannya yang sedang terduduk di tempat itu.
Alam, teman satu kelas Dewi yang telah membuat ia jatuh sejatuh-jatuhnya pada rasa tak berwujud. Berbadan tinggi ramping, putih, dan tampan. Dialah icon kelas.
"Aku menyukaimu. Menyukai keseluruhan dirimu. Napasku terasa sesak tanpa adanya kamu di dekatku. Rindu ini kian menggebu hingga menyentuh ruang hampa dalam hati," ucap Dewi tiba - tiba, sambil menatap tajam kedua bola mata Alam.
Alam tersenyum tipis menanggapi ungkapan itu, "Kamu sangat baik, tapi maaf hatiku masih saja tertutup. Bukan hanya untuk Dewi, tapi semua wanita. Setidaknya, sampai dia hilang dari ingatanku." Alam memalingkan muka darinya, melangkah semakin jauh, kian menjauh.
Percakapan itu mengakhiri segalanya. Segala bentuk perasaan yang begitu lama tersimpan di hati. Wajah Dewi tertunduk, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Air matanya mengalir perlahan, membasahi wajah gadis pemilik senyuman manis itu.  Jiwanya seolah terbang melanglang, terhempas, jatuh kemudian mati. Sadis.
"Apa menyatakan rasa itu salah? Tak masalah jika kamu menolakku, setidaknya jangan biarkan aku menatapmu dari belakang untuk yang kesekian kalinya." Dewi berbisik kepada angin yang dengan setia menghiburnya, berharap sang angin menyampaikan pengaduan itu.
Sesuatu yang sangat mengejutkan telah terjadi. Ia berlari mengejar Alam, sepertinya harga diri sudah tak berlaku lagi.
“Tunggu” Dewi menarik tangan Alam. “Kamu butuh waktu berapa lama lagi untuk melupakan dia? Satu tahun? Dua tahun? Tiga atau lima tahun? Apa aku sangat mengganggumu? Apa kamu hanya menjadikan dia sebagai alasan untuk melarikan diri dariku?” kata-kata yang tak terduga keluar dari bibirnya yang kian rapuh.
“Kamu kenapa, Wi? Apa kamu sudah gila?” Alam terheran.
“Kamu benar, bahwa aku sudah gila. Sejak awal jatuh cinta pada laki-laki sepertimu adalah kesalahan besar bagi perempuan biasa sepertiku. Harusnya aku tak pernah bodoh hanya karena seorang pria. Walau begitu, aku tetap tak bisa menahan perasaanku. Izinkan aku menunggumu.” Suaranya parau.
“Sekali lagi maaf, Wi. Sejujurnya sedikit pun aku tak berniat melupakannya,” Kata Alam, tegas.
            Sinar wajah Dewi semakin redup, sangat terlihat bahwa ia telah benar-benar terjatuh. Semilir angin sedikit berdesing seolah menghibur, ia tersenyum pahit kemudian berjalan berputar arah. Menyerah adalah jalan yang terbaik, karena saingan terbesarnya adalah kenangan yang hidup mengintimidasi perasaan Alam.

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...