Sumber :https://qycha.files.wordpress.com/2014/11/5b.png
Pagi
menjelma siang, kala ketika matahari mulai meninggi sepenggalah, di tempat
yang paling damai. Taman kampus. Pancaran
sinar yang menyengat di bulan Juni ini, tampaknya membuat pipi Dewi merona. Entah
karena sinar mentari atau karena ada laki-laki pujaannya yang sedang terduduk
di tempat itu.
Alam,
teman satu kelas Dewi yang telah membuat ia jatuh sejatuh-jatuhnya pada rasa
tak berwujud. Berbadan tinggi ramping, putih, dan tampan. Dialah icon kelas.
"Aku
menyukaimu. Menyukai keseluruhan dirimu. Napasku terasa sesak tanpa adanya kamu
di dekatku. Rindu ini kian menggebu hingga menyentuh ruang hampa dalam hati,"
ucap Dewi tiba - tiba, sambil menatap tajam kedua bola mata Alam.
Alam
tersenyum tipis menanggapi ungkapan itu, "Kamu sangat baik, tapi maaf hatiku masih saja tertutup. Bukan hanya untuk Dewi, tapi semua
wanita. Setidaknya, sampai dia hilang dari ingatanku." Alam memalingkan
muka darinya, melangkah semakin jauh, kian menjauh.
Percakapan
itu mengakhiri segalanya. Segala bentuk perasaan yang begitu lama tersimpan di
hati. Wajah Dewi tertunduk, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Air
matanya mengalir perlahan, membasahi wajah gadis pemilik senyuman manis itu. Jiwanya seolah terbang melanglang, terhempas,
jatuh kemudian mati. Sadis.
"Apa
menyatakan rasa itu salah? Tak masalah jika kamu menolakku, setidaknya jangan
biarkan aku menatapmu dari belakang untuk yang kesekian kalinya." Dewi
berbisik kepada angin yang dengan setia menghiburnya, berharap sang angin
menyampaikan pengaduan itu.
Sesuatu
yang sangat mengejutkan telah terjadi. Ia berlari mengejar Alam, sepertinya harga
diri sudah tak berlaku lagi.
“Tunggu”
Dewi menarik tangan Alam. “Kamu butuh waktu berapa lama lagi untuk melupakan
dia? Satu tahun? Dua tahun? Tiga atau lima tahun? Apa aku sangat mengganggumu?
Apa kamu hanya menjadikan dia sebagai alasan untuk melarikan diri dariku?”
kata-kata yang tak terduga keluar dari bibirnya yang kian rapuh.
“Kamu
kenapa, Wi? Apa kamu sudah gila?” Alam terheran.
“Kamu
benar, bahwa aku sudah gila. Sejak awal jatuh cinta pada laki-laki sepertimu
adalah kesalahan besar bagi perempuan biasa sepertiku. Harusnya aku tak pernah
bodoh hanya karena seorang pria. Walau begitu, aku tetap tak bisa menahan
perasaanku. Izinkan aku menunggumu.” Suaranya parau.
“Sekali
lagi maaf, Wi. Sejujurnya sedikit pun aku tak berniat melupakannya,” Kata Alam, tegas.
Sinar wajah Dewi semakin redup, sangat
terlihat bahwa ia telah benar-benar terjatuh. Semilir angin sedikit berdesing seolah
menghibur, ia tersenyum pahit kemudian berjalan berputar arah. Menyerah adalah jalan yang terbaik, karena saingan terbesarnya adalah kenangan yang hidup mengintimidasi perasaan Alam.
0 komentar:
Posting Komentar