Sumber gambar : http://www.katalokal.com/wp-content/uploads/2016/01/3-Secangkir-Kopi1-270x280.jpg
Di Monopole Coffe Lab, aku terduduk,
pendengaran merespon "Payung teduh, Akad" sambil menggenggam segelas
espresso yang sejak tadi masih belum kuseduh karena rasanya yang pahit.
Bodohnya ... telah salah memesan kopi. Tapi tak apa, mungkin dengan pahitnya
espresso bisa meredakan setiap kadar manis berlebih tentangmu yang mulai
membius hati. Tidak, tolong jangan menggeser posisinNya di dalam hatiku!
Bila nanti saatnya t'lah tiba
Kuingin kau menjadi istriku
Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan
Berlarian kesana-kemari dan tertawa
Lagu ini membuat logika melayang
berpetualang, mencoba menangkap melodi-melodi indah yang tergambar di dalamnya.
Duh, tiba-tiba senyumku tersulam rindu tentangnya. Astaghfirulloh ... nurani
memberontak, mengingatkan bahwa semua jenis rindu kecuali padaNya itu menyiksa.
Berjarak denganmu adalah sebuah pilihan, untuk menjaga diriku dan dirimu dari
satu kata yang paling mengerikan, ialah “dosa”.
Jodoh adalah cerminan setiap insan,
laki-laki baik hanya untuk perempuan baik. Lalu bolehkah aku yang telah banyak
dosa ini berharap untuk menjadi bidadari bagi laki-laki baik sepertimu? Ingin
sekali kusampaikan rasa ini, seperti Siti Khadijah yang lebih dulu menyampaikan
maksud hatinya kepada Nabi Muhammad SAW dengan bantuan Nafisah. Kisah yang
sungguh indah. Sayang sekali, aku tak cukup berani untuk itu. Biarlah tetap
seperti ini ... dalam penantian, sembari berusaha memperbaiki diri dan
rutin menyapamu di setiap doa. MerayuNya agar dipantaskan diriku untuk dirimu.
Jika kelak yang datang padaku bukanlah
kamu, kuharap ia adalah laki-laki yang juga baik sepertimu.
“Mimpikah?”
Walau begitu, selagi mimpi ini gratis aku
tak akan pernah berhenti untuk bermimpi. Menyukai laki-laki shalih sepertimu
adalah anugerah, apalagi jika sampai terbalas. Segala puji bagi Allah.
#Fiksi
0 komentar:
Posting Komentar