Buku-buku itu adalah sesuatu yang mampu membawa pikiran-pikiran ajaibku melayang di atas suara yang mampu menembus waktu.

Sabtu, 21 Oktober 2017

Sang Waktu



Sumber gambar : https://rizaliar.files.wordpress.com/2012/10/perjalanan-waktu.jpeg


Akulah sang waktu, penguasa waktu, pengendali waktu. Tak akan kubiarkan siapa pun mengambil alih, dan akan kurebut kembali jika seseorang mencurinya. Waktu yang berlalu tentu tak akan bisa kembali lagi. Walau segalanya telah menghilang, tapi masih ada masa depan. Berjuanglah!

Itulah kutipan dari buku “Sang Waktu” yang selalu kubaca di perpustakaan sekolah. Di dunia fantasi, hal secama itu bisa kapan pun terjadi. Waktu yang hidup dan mampu memutarnya sesuka hati untuk kembali ke masa lalu.
Hari semakin gelap, hujan deras, petir menggelegar seperti soprano koloratura dramatik yang dinyanyikan secara bersahutan. Aku yang saat ini sedang di perpustakaan, bergegas kembali ke asrama dengan berlari. Di dalam gelap malam dan gigil dingin hujan yang sejak tadi menyengat seluruh tubuh, kembali teringat akan sosok ibu yang tak pernah bisa hilang dari ingatan. Di hari yang sama dengan hari ini, di suasana yang sama dengan saat ini, ibu meninggal karenaku. Mengorbankan dirinya demi menyelamatkan anak tercinta dari perampok yang kemudian menghabisi nyawanya. Seandainya saja aku memiliki ayah, mungkin saja hal seperti ini tak akan pernah terjadi.
Langkah, napas, dan detak jantung mulai tak beraturan, air mata yang sejak tadi mengalir bersembunyi dibalik air hujan, pandangan yang samar seolah akan pingsan. Memang salahku karena berlari di dalam hujan dan hari yang kramat ini. Langkahku terhenti tepat di depan makam ibu. Ada sosok laki-laki berjubah hitam menyapaku.
“Akulah sang waktu, penguasa waktu, pengendali waktu. Tak akan kubiarkan siapa pun mengambil alih, dan akan kurebut kembali jika seseorang mencurinya. Waktu yang berlalu tentu tak akan bisa kembali lagi, hanya akulah yang mampu mengembalikannya.” Kata-kata yang diucapnya sama persis dengan sosok Sang Waktu yang ada di dalam buku.
“A ... apa aku se ... sedang bermim pi?” tanyaku dalam gagap dan keheranan yang luar biasa.
“Kamu telah lama menderita, dan aku tahu kamu ingin sekali bertemu dengan ibu yang telah mengorbakan nyawanya untukmu. Aku bisa mewujudkannya,” tukasnya, meyakinkanku.
“Tolong, pertemukan lagi aku dengan ibuku. Akan kulakukan apapun untuk Anda.” Tanpa pikir panjang telah kubuat sebuah keputusan.
“Baiklah, kau akna bertemu kembali dengannya. Tapi kau harus menyerahkan jiwamu kepadaku.”
“Lakukanlah!” kataku, sangat yakin.
Beberapa saat kemudian, setelah berlalunya percakapan singkat itu. Aku mendengar suara seorang wanita memenggilku. Mungkinkah dia ibuku?
“Nak, Nak, apa yang kamu lakukan tengah hujan begini? Bangunlah.”
Mataku perlahan terbuka, “Siapa Anda? Anda bukan ibuku, dan di mana sang waktu? Apa yang terjadi? Kenapa aku tertidur di pinggir jalan begini?” Banyak pertanyaan terlontar, yang tak seharusnya kutanyakan pada wanita paruh baya itu.
“Sepertinya kamu pingsan, bangunlah akan kuantar kau pulang, Nak” tawarnya sambil memegang tanganku hendak membantuku berdiri.
“Jangan sentuh aku,” kataku membentak sambil berlari meninggalkan wanita itu.
Bodohnya, karena telah terperangkap dalam ilusi masa lalu yang sejak tadi menghantui. Memang benar, bahwa waktu tak akan bisa kembali. Walau begitu, di dalam hati ini tetap hidup penyesalan. Jika saja aku tak lahir, mungkin ibu akan tetap hidup hingga saat ini.
Suara decit ban mobil begitu keras mengagetkan. Aku menoleh ke arah suara itu berasal, bukan hujan dan gelap saja yang membuat samar, tapi sinar lampu menyilaukan pandangan tepat berada di depanku.
“Brukkkkk....” Sebuah mobil telah menabrak tubuh mungilku.
“Ibu, apa seperti ini rasanya terluka? Sakit sekali, Bu. Ada darah keluar dari kepala dan mulutku, semua tulang rasanya telah patah. Aku ingin menangis tapi percuma, karena hujan akan segera menghapus air mataku. Jadi, kuputuskan untuk tersenyum, karena secepatnya akan bertemu denganmu, Ibu. Mungkin bertemu dengan Sang Waktu bukanlah mimpi, buktinya dengan menyerahkan jiwa, aku akan segera bertemu dengan Ibu.”

***

Kesepian dan penyesalan yang lamat-lamat tipis bergelantung di dalam pintu hatiku kini akan segera lenyap. Gigil dingin yang tadinya begitu menyengat pun tak lagi terasa. Gelap malam dan hujan menjadi saksi antara keberadaan dan ketiadaan.
Gelap sekali, suara-suara manusia di luar sana sudah tak terdengar olehku. Hampa dan sesak sekali di sini. Tak ada siapa pun. Tapi, tak boleh menyerah. Aku akan terus berjalan dalam gelap ini agar bisa berjumpa kembali dengan ibu.

Terima kasih kuucapkan kepadamu, Sang Waktu

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman

Aku adalah aku... Bukan kamu juga bukan dia.

BTemplates.com

Seperti Romeo and Juliet

Sumber gambar : google. Com "Kenapa? Bukankah kalau kamu sakit tak akan bisa merawatku?" tanyamu. Badanku terhuyung ke...