Sumber gambar : https://rizaliar.files.wordpress.com/2012/10/perjalanan-waktu.jpeg
Akulah sang waktu, penguasa waktu, pengendali waktu.
Tak akan kubiarkan siapa pun mengambil alih, dan akan kurebut kembali jika
seseorang mencurinya. Waktu yang berlalu tentu tak akan bisa kembali lagi.
Walau segalanya telah menghilang, tapi masih ada masa depan. Berjuanglah!
Itulah kutipan dari buku “Sang Waktu” yang selalu
kubaca di perpustakaan sekolah. Di dunia fantasi, hal secama itu bisa kapan pun
terjadi. Waktu yang hidup dan mampu memutarnya sesuka hati untuk kembali ke
masa lalu.
Hari semakin gelap, hujan deras, petir menggelegar
seperti soprano koloratura dramatik yang dinyanyikan secara bersahutan. Aku yang saat ini sedang di
perpustakaan, bergegas kembali ke asrama dengan berlari. Di dalam gelap malam
dan gigil dingin hujan yang sejak tadi menyengat seluruh tubuh, kembali
teringat akan sosok ibu yang tak pernah bisa hilang dari ingatan. Di hari yang
sama dengan hari ini, di suasana yang sama dengan saat ini, ibu meninggal karenaku.
Mengorbankan dirinya demi menyelamatkan anak tercinta dari perampok yang kemudian
menghabisi nyawanya. Seandainya saja aku memiliki ayah, mungkin saja hal
seperti ini tak akan pernah terjadi.
Langkah, napas, dan detak jantung mulai tak beraturan,
air mata yang sejak tadi mengalir bersembunyi dibalik air hujan, pandangan yang
samar seolah akan pingsan. Memang salahku karena berlari di dalam hujan dan
hari yang kramat ini. Langkahku terhenti tepat di depan makam ibu. Ada sosok
laki-laki berjubah hitam menyapaku.
“Akulah sang waktu, penguasa waktu, pengendali waktu.
Tak akan kubiarkan siapa pun mengambil alih, dan akan kurebut kembali jika
seseorang mencurinya. Waktu yang berlalu tentu tak akan bisa kembali lagi,
hanya akulah yang mampu mengembalikannya.” Kata-kata yang diucapnya sama persis
dengan sosok Sang Waktu yang ada di dalam buku.
“A ... apa aku se ... sedang bermim pi?” tanyaku dalam
gagap dan keheranan yang luar biasa.
“Kamu telah lama menderita, dan aku tahu kamu ingin
sekali bertemu dengan ibu yang telah mengorbakan nyawanya untukmu. Aku bisa
mewujudkannya,” tukasnya, meyakinkanku.
“Tolong, pertemukan lagi aku dengan ibuku. Akan kulakukan
apapun untuk Anda.” Tanpa pikir panjang telah kubuat sebuah keputusan.
“Baiklah, kau akna bertemu kembali dengannya. Tapi kau
harus menyerahkan jiwamu kepadaku.”
“Lakukanlah!” kataku, sangat yakin.
Beberapa saat kemudian, setelah berlalunya percakapan
singkat itu. Aku mendengar suara seorang wanita memenggilku. Mungkinkah dia
ibuku?
“Nak, Nak, apa yang kamu lakukan tengah hujan begini? Bangunlah.”
Mataku perlahan terbuka, “Siapa Anda? Anda bukan
ibuku, dan di mana sang waktu? Apa yang terjadi? Kenapa aku tertidur di pinggir
jalan begini?” Banyak pertanyaan terlontar, yang tak seharusnya kutanyakan pada
wanita paruh baya itu.
“Sepertinya kamu pingsan, bangunlah akan kuantar kau
pulang, Nak” tawarnya sambil memegang tanganku hendak membantuku berdiri.
“Jangan sentuh aku,” kataku membentak sambil berlari
meninggalkan wanita itu.
Bodohnya, karena telah terperangkap dalam ilusi masa
lalu yang sejak tadi menghantui. Memang benar, bahwa waktu tak akan bisa
kembali. Walau begitu, di dalam hati ini tetap hidup penyesalan. Jika saja aku
tak lahir, mungkin ibu akan tetap hidup hingga saat ini.
Suara decit ban mobil begitu keras mengagetkan. Aku
menoleh ke arah suara itu berasal, bukan hujan dan gelap saja yang membuat
samar, tapi sinar lampu menyilaukan pandangan tepat berada di depanku.
“Brukkkkk....” Sebuah mobil telah menabrak tubuh
mungilku.
“Ibu, apa seperti ini rasanya terluka? Sakit sekali,
Bu. Ada darah keluar dari kepala dan mulutku, semua tulang rasanya telah patah.
Aku ingin menangis tapi percuma, karena hujan akan segera menghapus air mataku.
Jadi, kuputuskan untuk tersenyum, karena secepatnya akan bertemu denganmu, Ibu.
Mungkin bertemu dengan Sang Waktu bukanlah mimpi, buktinya dengan menyerahkan
jiwa, aku akan segera bertemu dengan Ibu.”
***
Kesepian dan penyesalan yang lamat-lamat tipis
bergelantung di dalam pintu hatiku kini akan segera lenyap. Gigil dingin yang
tadinya begitu menyengat pun tak lagi terasa. Gelap malam dan hujan menjadi
saksi antara keberadaan dan ketiadaan.
Gelap sekali, suara-suara manusia di luar sana sudah
tak terdengar olehku. Hampa dan sesak sekali di sini. Tak ada siapa pun. Tapi,
tak boleh menyerah. Aku akan terus berjalan dalam gelap ini agar bisa berjumpa
kembali dengan ibu.
Terima kasih kuucapkan kepadamu, Sang Waktu
0 komentar:
Posting Komentar