Sumber gambar : http://blog.act.id/wp-content/uploads/2015/08/berkah-hujan-kemarau.jpg
Hujan
kedua tapi serasa hujan pertama yang mengguyur wilayah Surabaya dan sekitarnya.
Inilah hawa yang kurindukan, begitu menenangkan. Pagi tadi begitu cerah, bahkan
sangat panas. Bukan hanya panas biasa, tapi keadaan pun juga seolah ikut
memanas. Lagi-lagi perkara pekerjaan, mungkin inilah yang membuat ritme
menulisku jadi terganggu. Menyedihkan.
Aku
tak tahu apa yang terjadi hari ini, bagiku sangat melelahkan hingga terbesit
doa dalam hati, “Tuhan aku rindu hujanMu, semoga malam ini hujan. Setidaknya
bisa kurasakan sejuknya setelah semua penat ini.” Ah, mengejutkan sekali. Malam
ini benar-benar hujan. Entah, mungkin saja hari ini sedikit penat tapi membawa
keberuntungan.
Banyak
yang bilang bahwa 90% dari hujan itu adalah kenangan, sisanya barulah air yang
turun dari langit. Mengapa? Entahlah, aku sendiri tak memiliki kenangan di
waktu hujan. Hanya ada rasa suka saat menatap air yang begitu banyak jumlahnya
turun dari langit. Begitu indah. Mungkin karena memiliki 90% kenangan itulah
mengapa hujan tak pernah habis dibicarakan dalam sajak. Ada yang membenci
hujan, ada yang bilang suka pada hujan, bahkan ada pula yang meganggap hujan
itu seperti sosok seorang “dia” yang telah pergi kemudian datang lagi.
Begitulah,
hujan dengan segala persepsi tentangnya. Aku hanyalah penikmat saja, tak lebih.
Hujan malam ini benar-benar menggoda, dengan segala rasa penat dipikiran dan
tubuh ini, ia menerobos masuk ke alam bawah sadar. Merayu, memanjakan,
dan memikatku untuk terlelap dipelukannya.
Sial,
hujan sudah berhasil merayu. Kulihat jam di laptop yang sejak tadi menyala. Ah,
sepertiya aku tertidur di tengah-tengah kelas komunitas menulis yang kuikuti.
Bukan kusengaja, bukan juga hujan yang salah karena telah merayu, tapi penat
inilah yang membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya pada pelukan hujan malam ini.
Sudah satu jam terjaga setelah berhasil melepaskan diri dari pelukan hujan.
Duduk di depan laptop, termenung menemani senyap-senyap bersama suara rintik
hujan yang kian menghilang dari pendengaran.
Jika
langit adalah sebuah wajah, maka ia saat ini serupa wajah yang begitu
menggemaskan. Cemberut seperti wajah seorang wanita yang meriak murka pada
kekasihnya yang tidak peka. Apa benar seperti itu? Bagaimana kutahu? Padahal
aku sendiri tak pernah mengalaminya. Yahh, tentu saja tak harus mengalaminya,
tapi cukup mengimajinasikannya.
Untuk
penduduk bumi di wilayah Surabaya dan sekitarnya, tidur dan bermimpilah dalam
pelukan hujan. Rasakan apa yang juga kurasakan. Semoga esok kalian semua
terbangun dan kembali merindukan hujan malam ini. Tak tahu lagi harus bagaimana
kuabstraksikan tentang hujan, bagiku ia adalah rangkaian kata terbaik.
0 komentar:
Posting Komentar