Sumber gambar : https://scontent-sea1-1.cdninstagram.com/t51.2885-15/s480x480/e35/c0.95.1080.1080/14705103_285141808555089_1192198383528312832_n.jpg?ig_cache_key=MTQxNDUwNjAzMDMzOTI3NzI4Ng%3D%3D.2.c
“Ana
uhibbuki fillah (aku mencintaimu karena Allah).” Hari ini di sebuah taman,
dengan menggenggam 1000 nyali kuungkap segala rasa kepada Nayla. Saat itu jantung
terasa hampir saja keluar dari tata letaknya, menegangkan. Nayla, gadis yang cantik
dengan balutan jilbab panjangnya, lembut dalam bertutur. Meski berasal dari
keluarga para kyai, ia tak pernah sombong, selalu sederhana dalam berpakaian.
Yah, dialah teman masa kecil yang kehadirannya enggan berpindah dari hati juga
ingatanku.
“Apa kau berharap aku menjawab, ‘ahabbakalladzi ahbabtani lahu (Semoga Allah menyertaimu yang telah
mencintaiku karena Allah)’. Maaf, tak sepantasnya kamu mengucapkan kalimat itu untukku, seorang lawan
jenis yang bukanlah halalmu. Jika kamu ingin mengenalku lebih jauh, datanglah
ke rumah, temui Abahku. Mintalah izin darinya.” Dia menutup buku yang dibacanya,
berdiri, kemudian pergi dari hadapanku.
“Tuhan, apa Engkau sedang mengujiku? Bagaimana
mungkin diriku yang seperti ini berani datang ke rumahnya. Hafalanku pas-pasan,
membaca Surah Al-Kafirun saja terkadang bingung dengan ayat ‘wa laa ana’aabidum maa abattum’ yang
diapit dua ayat kembar. Lantas bagaimana ini?” gumamku, lirih.
Cukuplah sudah aku bermimpi tentangnya, terlalu
mustahil untuk menjadi nyata, ditambah lagi denganku yang tak pernah bisa
terbangun dalam mimpi jika itu tentang dia. Tatapannya adalah perangkap, lalu
senyumnya memenjarankan. Sial, sial, sial ... itu terlalu indah.
0 komentar:
Posting Komentar