Sumber gambar : https://aafuadycom.files.wordpress.com/2017/06/azab.jpg?w=672&h=372&crop=1
Di balkon lantai 4 hotel tempatku
menginap akan menjadi saksi perjumpaan yang menghadirkan sebuah titik hitam
pada hatinya yang putih. Setitik hitam itu adalah kebencian. Mungkin ini terdengar omong kosong, tapi akan
kubuktikan itu dalam beberapa menit kedepan.
“Kenapa kamu tidak suka membaca, Ren? Bukankah
membaca itu dapat menambah wawasan?” tanya Suci kepadaku.
“Aku sudah membaca banyak sekali buku. Kini,
membaca jadi kegiatan yang sangat membosankan. Aku tidak menemukan sesuatu yang
kucari di buku-buku yang kamu bilang dapat menambah wawasan.” tukasku, sinis.
“Lalu apa maksud dari tidak menemukan
sesuatu yang kamu cari?” Ia mengerutkan dahinya, penasaran.
“Tidak ada kebenaran di dunia ini,
bagiku. Manusia hanya menyukai kebahagiaan walau itu berasal dari ketidakjujuran.
Munafik. Ah, sama, aku juga begitu.” Aku menghela napas, ada rasa malas
menjawab pertanyaan itu.
“Apa sih yang kamu maksud?” tukasnya,
sebal.
“Tidak ada manusia yang sempurna,
kalaupun ada tentu bukan aku. Tidak mungkin manusia itu 100% jahat, dan tidak
pula 100% baik. Termasuk aku dan dirimu. Buku-buku itu menghibur, juga menambah
wawasan. Membuat yang tidak tahu menjadi tahu, baik perihal dunia maupun
akhirat. Sekali lagi kukatakan, bukan itu yang kucari. Butuh sebuah proses dan
waktu yang lama jika hanya mengandalkan bacaan-bacaan seperti itu, seperti menangkap
angin menggunakan kedua tanganmu. Hah, bodoh.” Aku berhenti bicara sejenak, menyeruput
kopi yang sudah tak panas lagi.
“Lalu??” tanyanya seolah masih tak puas
dengan jawabanku.
“Aku ingin membaca buku yang paling di
cari oleh manusia serakah di dunia ini.”
“Bu ... buku apa itu?” tanyanya,
terbata. Aku melihat ada tumpukan rasa penasaran di penjuru bola matanya.
“Dalam eskatologi Islam, ada tangan
kanan Tuhan yang tugasnya adalah mencatat amal manusia? Kau tahu? Yah, dialah Raqib
dan Atid. Sebelum mati, aku ingin mencuri buku catatan milikNya yang dijaga
oleh Raqib dan Atid, membacanya dan menghapus semua catatan merah dibuku itu, diam-diam
akan kukembalikan lagi. Mati ... dan masuk surga.” Aku berhenti berkata,
mengambil sebatang rokok dan menghisapnya. Kemudian melanjutkan ucapanku karena
tak tahan melihat wajah penasaran gadis lugu yang kupacari ini.
“Aku yakin kamu pasti mengira bahwa aku
sangat aneh dan serakah juga sangat buruk dalam mengartikan hidup ini. Memang iya.
Serakah, telah bercampur dengan pembuluh arteri
pulmonalis menuju paru-paru, menjadi sebuah napas yang kuhembuskan, dan meracuni
udara. Saat manusia mengirupnya, ia akan terkontaminasi oleh serakah yang
kuciptakan.” Aku tertawa begitu keras.
“Kamu bukan manusia!” Suci menamparku
tiba-tiba. Tatapannya hampa, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia
dengar, berharap apa yang kulakukan ini adalah kalap.
Memilih mengatakan sebuah analogi buruk
kepadanya, agar dia membenciku. Alasannya cukup simpel, hanya tak ingin dia
terkontaminasi keserakahan yang telah bertahta dalam hatiku.
0 komentar:
Posting Komentar